Oleh : Pita ( Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) wacana peluncuran kurikulum tersebut sebagai bagian dari upaya menyusun ulang orientasi pendidikan keagamaan di Indonesia. Kemunculan kurikulum ini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi bertujuan menanamkan nilai-nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak dini. Forum-forum pelatihan untuk guru yang diadakan oleh berbagai organisasi, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) pun mulai dijalankan untuk menunjang terlaksananya Kurikulum Berbasis Cinta tersebut.
Dikutip dari amnesia.id (13/09/2025) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Banjarmasin menyelenggarakan Pelatihan Guru Aswaja dan Ke-NU-an dengan mengusung tema “Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah”, di Sekretariat Pacanau Banjarmasin, Kamis (4/9). Para peserta mendapatkan materi tentang prinsip-prinsip Aswaja, metode pengajaran ke-NU-an, serta strategi penerapan kurikulum berbasis cinta yang menekankan nilai kasih sayang, toleransi, dan moderasi beragama di lingkungan sekolah.
Ide kemunculan kurikulum ini pada dasarnya berangkat dari keresahan bahwa dunia pendidikan yang semakin jauh dari ruh kasih sayang, kepedulian, dan nilai kemanusiaan. Sehingga sekolah sebagai penunjang keberhasilan pendidikan suatu bangsa diharapkan ikut berperan untuk menjalankannya.
Namun sayangnya, disisi pencapaian tersebut dalam sistem sekuler kapitalis, guru diposisikan bukan sebagai pendidik ruhani dan pembentuk peradaban, melainkan sebagai aparatur teknis yang menjalankan instruksi kurikulum negara. Akhir dari pendidikan dijadikan sebagai anjang untuk meraih pekerjaan semata, sehingga orientasi terhadap nilai-nilai tersebut mulai diabaikan perlahan.
Terlebih usungan kurikulum berbasis cinta dalam pelatihan guru tersebut, cinta yang dimaksud bisa tereduksi menjadi sekedar pendekatan emosional semata tanpa arah ideologis, akibatnya pelatihan yang diberi hanya menghasilkan pendidik yang “ramah” tetapi tetap terbelenggu kurikulum sekuler yang materialistis.
Sistem pendidikan ala kapitalis tak lebih sebagai pencetak generasi yang orientasi hidupnya pada materi semata, pendidikan yang dijalankan dan diajarkan tidak lebih ujung-ujungnya adalah untuk meraih kesuksesan dunia saja, namun abai terhadap nilai-nilai agama. Sistem kapitalis yang standar hidupnya adalah dunia maka orientasi nya terhadap nilai-nilai agama sering kali dipisahkan bahkan tidak diambil, menjadikan nilai-nilai agama hanya sebatas kepentingan semata hal ini tentu yang dihasilkan adalah generasi-generasi yang bermental materialis.
Kurikulum berbasis cinta hanyalah jargon kosong jika tetap berjalan dalam kerangka sekuler yang materialistis, hal ini hanya sebatas menjalankan saja namun hasilnya tidak ada. Bahkan Guru dalam sistem sekuler akan terus terjebak dalam administrasi dan tekanan ekonomi, sementara ruh pendidikan yang sesungguhnya mati suri. Sehingga kata sejahtera untuk Guru pun diabaikan begitu saja.
Berbeda dengan sistem islam, islam melalui khilafah memandang guru dengan kedudukan mulia. Tidak hanya sebatas tenaga sebagai penunjang aparatur negara, tetapi sebagai pendidik yang siap dengan sedia mendidik generasi dengan periayahan yang luar biasa.
Pendidikan yang diberikan dengan pemahaman yang ideologis maka generasi pun tidak hanya sukses dunia namun akhirat pun juga.
Riayah yang dilakukan oleh guru dan juga negara kepada masyarakatnya melalui pendidikan, maka fasilitas dan kualitas yang diberikan untuk pendidikan dijamin sepenuhnya. Guru tidak dianggap sebagai beban negara seperti sekarang, namun justru dari jasa para guru negara memberikan yang terbaik.
Islam memandang pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam membangun peradaban, peradaban yang baik lahir dari pendidikan yang baik. Tidak hanya pendidikan di dalam rumah yang dilakukan oleh para orang tua namun juga pendidikan yang dilakukan oleh guru dari sekolah. Orientasi pendidikan bertujuan membentuk syaksiyah Islamiyah, dimana memiliki kepribadian yang berdasarkan islam. Kurikulum yang berbasis Aqidah, penanaman nilai-nilai agama yang tidak hanya sebatas ibadah saja namun pemahaman bahwasanya agama islam sebagai idiologi yang mengatur seluruh kehidupan dunia.
Negara islam atau Khilafah, menanamkan cinta yang hakiki dan menjadikan ruh pendidikan yang cinta kepada Allah dan RasulNya, cinta kepada ilmu yang benar, dan cinta kepada generasi penerus umat. Ilmu yang diajarkan bermanfaat untuk umat yang akan menyongsong peradaban gemilang, sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah islam. Seperti Shalahuddin Al Ayyubi, Muhammad Al- Fatih, dan para ulama-ulama hebat pada masanya, mereka hadir dalam sistem islam yang menerapkan aturan-aturan sang pencipta, dan menjadikan pendidikan yang paling utama untuk membentuk generasi-generasi yang bertakwa, berprestasi dan bermanfaat.
Maka, solusi hakiki dari krisis pendidikan bukan sekadar pelatihan guru dengan jargon cinta, tetapi mengembalikan seluruh sistem pendidikan pada kerangka Islam di bawah naungan Khilafah. Khilafah dengan kepemimpinan yang berlandaskan aturan Allah SWT makan menjadikan kehidupan sebenar-benarnya rahmat bagi seluruh alam.