Kamis, September 4, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Darah di Jalan Raya: Kebengisan Polisi dan Ancaman bagi Demokrasi

by Mata Banua
3 September 2025
in Opini
0
D:\2025\September 2025\4 September 2025\8\8\Hasnah Mega Putri.jpg
Hasnah Mega Putri S.IP (Guru Pendidikan Pancasila)

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh peristiwa tragis yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat demo di Jakarta. Dia tidak membawa senjata, tidak pula berteriak lantang di barisan demonstran, dia hanya berada di lokasi pada waktu yang salah dan kehilangan nyawanya. Kendaraan taktis yang dibeli menggunakan uang rakyat, yang seharusnya digunakan untuk melindungi rakyat, malah digunakan untuk melindas dan menindas rakyat. Video yang beredar menunjukkan warga berteriak histeris sambil berusaha menolong, namun kendaraan tetap melaju. Kapolres akhirnya meminta maaf, tujuh anggota Brimob ditahan, tapi kemarahan publik sudah terlanjur membuncah. Gelombang protes pun merebak di Surabaya, Yogyakarta, Bandung, hingga Makassar. Bagi keluarga Affan, permintaan maaf polisi tidak akan mengembalikan anak dan tulang punggung keluarga. Tragedi ini menjadi simbol telanjang betapa nyawa rakyat begitu murah di hadapan aparat bersenjata.

Affan bukan satu-satunya. Data lembaga independen menunjukkan pola kekerasan yang sistemik dan berulang: KontraS (Juli 2023 – Juni 2024) mencatat 645 kasus kekerasan polisi, menewaskan 38 orang dan melukai 759 lainnya. Dari angka itu, 35 kasus adalah pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) dengan 37 korban jiwa. Amnesty International Indonesia menemukan 116 kasus kebrutalan polisi sepanjang tahun lalu, mencakup penembakan tanpa proses hukum, penyiksaan, hingga intimidasi. Laporan BenarNews mencatat 622 peristiwa kekerasan oleh aparat dalam setahun terakhir, dengan 187 korban tewas dan lebih dari 1.300 luka-luka. Angka-angka ini tidak bisa lagi disembunyikan dengan narasi “oknum”. Ini jelas budaya kekerasan yang berakar.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Memaknai Rabiul Awal sebagai Momentum Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW

3 September 2025
D:\2025\September 2025\4 September 2025\8\8\saudah.jpg

Aksi Damai di Banjarmasin: Suara Rakyat Tersampaikan Tanpa Perusakan

3 September 2025
Load More

Korban Kekerasan: Dari Jurnalis, Mahasiswa Hingga Pelajar

Tidak hanya demonstran yang jadi korban. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama demo Omnibus Law 2020, mulai dari kamera dirampas, pemukulan, hingga intimidasi. Padahal, tugas jurnalis adalah menyampaikan fakta pada publik. Wartawan dipaksa menghapus foto ataupun vidio yang merekam tindakan represif aparat. Tujuannya jelas, untuk menutupi bukti kekerasan mereka agar tidak viral. Ada juga jurnalis yang ditembak gas air mata langsung kearahnya, meski jelas mengenakan rompi dan id pers. Kekerasan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap kebebasan pers yang merupakan pilar utama demokrasi.

Mahasiswa juga sering menjadi sasaran karena mereka berada di garis depan protes kebijakan pemerintah. Aparat kerap menanggapi aksi damai dengan kekerasan fisik maupun represif. Kasus pada tahun 2019 “Gelombang Reformasi Dikorupsi”, ribuan mahasiswa turun kejalan menolak RKUHP dan revisi UU KPK. Aparat merespon dengan gas air mata, water canon, pemukulan dan penangkapan massal. Menurut Komnas HAM, ada 390 mahasiswa luka-luka dalam aksi tersebut. Bahkan beberapa ada yang meninggal, salah satunya Imam Wahyudi di Kendari. Kasus pada tahun 2020 “Demo Omnibus Law”, ribuan pelajar dan mahasiswa ditangkap. Banyak yang mengalami pemukulan, ditendang, bahkan dipaksa jongkok berjam-jam di kantor polisi. Padahal sebagian besar hanyalah pelajar SMA yang ikut turun tanpa kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik yang mereka terima, tapi juga kekerasan psikologis, dimana kebanyakan dari mereka yang ditangkap sering dipaksa mengaku sebagai perusuh atau aktor politik bayaran, padahal mereka hanya menyuarakan aspirasinya.

Ada pola umum yang sering terlihat dalam kasus ini, brutalnya aparat di lapangan dengan melakukan kekerasan kepada masa aksi, penangkapan massal tanpa prosedur hukum yang jelas, kriminalisasi mahasiswa yang dituduh perusuh, jurnalis dianggap provokator dan aparat yang seakan kebal hukum, karena banyak kasus yang jarang diselesaikan, aparat hanya meminta maaf, lalu dimaafkan dan dipindah tugaskan. Pola ini sangat bahaya apabila tetap dibiarkan. Mahasiswa adalah wakil suara rakyat. Kalau mereka dibungkam dengan kekerasan, ruang demokrasi akan semakin sempit. Jurnalis adalah mata publik. Kalau mereka diintimidasi, kebenaran di lapangan tidak akan pernah sampai ke masyarakat.

Pola ini juga menunjukkan bahwa masalah bukan terletak pada individu, melainkan institusi. KontraS menyebutkan setidaknya ada tiga akar persoalan: budaya kekerasan warisan Orde Baru yang belum pernah benar-benar dihapus, pengawasan yang lemah, baik internal maupun eksternal. Propam sering hanya jadi “pencuci dosa,” bukan penegak disiplin, ego sektoral Polri cenderung resisten terhadap kritik dan menutup diri dari reformasi. Ironisnya, setelah 26 tahun reformasi 1998, masyarakat justru menyaksikan wajah polisi yang semakin brutal, seakan janji “reformasi Polri” hanya fatamorgana.

Fenomena police brutality bukan hanya di Indonesia. Amerika Serikat pun pernah diguncang kasus George Floyd (2020), ketika seorang pria kulit hitam tewas ditekan lehernya oleh polisi Minneapolis. Tragedi itu memicu protes global dan lahirnya gerakan Black Lives Matter. Bedanya, di banyak negara lain, kasus serupa memicu reformasi kebijakan seperti kewajiban body camera di tubuh polisi atau pembentukan komisi independen. Di Indonesia, meski korban terus berjatuhan, reformasi menyeluruh justru tak kunjung lahir.

Gelombang kritik publik terhadap kebrutalan polisi terus membesar. Dari jalanan hingga media sosial, suara rakyat sama: muak dan marah. Komentar netizen setelah kasus Affan misalnya penuh dengan kalimat: “Polisi bukan pelindung, tapi pembunuh rakyat” dan “Kami sudah tidak percaya.” dan banyaknya template di instagram terkait kecaman dan kritikan terhadap polisi. Kemarahan ini bukan hanya emosi sesaat. Ia adalah akumulasi dari luka panjang dari tragedi Trisakti, Semanggi, Kanjuruhan, sampai Affan. Polisi yang seharusnya jadi penjaga keamanan, kini justru dipandang sebagai sumber ketakutan.

Jalan Reformasi Bukan Lagi Opsi, Tapi Keharusan

Untuk menghentikan spiral kekerasan ini, solusi setengah hati tidak cukup. Dibutuhkan reformasi struktural yang berani:

1.Pengawasan independen: Bentuk komisi pengawas eksternal seperti Independent Police Complaints Commission di Inggris.

2.Transparansi kasus: Semua pelanggaran harus diproses di pengadilan umum, bukan sekadar etik internal.

3.Bodi kamera wajib: Setiap polisi yang bertugas lapangan harus memakai kamera yang tak bisa dimatikan manual.

4.Pendidikan HAM berkelanjutan: Anggota Polri wajib menjalani pelatihan HAM, bukan sekadar formalitas.

5.Revisi UU Polri: Agar akuntabilitas tidak hanya jargon, tapi mengikat secara hukum.

Kebengisan polisi adalah ancaman nyata terhadap demokrasi. Mereka merenggut nyawa, melumpuhkan suara rakyat, dan merusak kepercayaan pada negara. Setiap kali gas air mata ditembakkan ke arah massa damai, setiap kali seorang jurnalis dipukul, setiap kali seorang anak SMA ditangkap tanpa alasan, demokrasi kita sedikit demi sedikit mati. Sudah waktunya kita berhenti percaya bahwa kekerasan adalah “resiko” menjaga keamanan. Keamanan sejati hanya lahir dari keadilan dan akuntabilitas. Jika polisi terus kebal hukum, maka rakyatlah yang akan terus membayar dengan darah. Dan satu pertanyaan penting masih menggantung: Jika polisi bukan lagi pelindung rakyat, lalu siapa yang akan melindungi kita?

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA