Rabu, September 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Waktu untuk Berbenah

by Mata Banua
2 September 2025
in Opini
0
D:\2025\September 2025\3 September 2025\8\8\Wira Dika Orizha Piliang.jpg
Wira Dika Orizha Piliang (Peneliti Imparsial)

Tulisan ini dibuat pada malam aksi demonstrasi (28/08) yang mencabik rasa kemanusiaan siapapun yang melihatnya. Pada pelbagai platform media sosial, terpantau bahwa aksi demonstrasi yang terjadi tidak terlepas dari aksi represif aparat. Mirisnya, beberapa konten foto dan video merekam jelas rantis—akronim dari kendaraan taktis, milik brimob menabrak dan melindas warga sipil, hingga meregang nyawa. Rantis adalah kendaraan militer atau kepolisian yang dirancang khusus untuk kondisi ekstrem, seperti medan berat dan gangguan keamanan, dan digunakan untuk mendukung operasi tempur, pengamanan VIP, hingga penanganan konflik.

Sebagai salah satu ciri adanya praktik demokrasi dalam suatu negara, aksi demonstrasi merupakan salah satu wujud nyata dari praktik HAM, khususnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen internasional HAM. Namun, dalam praktiknya aksi demonstrasi di Indonesia masih sering berujung pada tindakan represif aparat kepolisian: pembubaran paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, intimidasi, hingga kriminalisasi peserta aksi. Fenomena ini memperlihatkan adanya jarak antara prinsip hukum yang menjamin kebebasan berekspresi dengan praktik aparat di lapangan

Artikel Lainnya

D:\2025\September 2025\3 September 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg

Ihwal Kekhawatiran Indonesia Menuju Otoritarianisme 2.0

2 September 2025
D:\2025\September 2025\2 September 2025\8\Edi Setiawan.jpg

Pertumbuhan Untuk Siapa? Menguak Jurang di Balik Numerasi Ekonomi

1 September 2025
Load More

Fakta Sejarah

Kita perlu merefleksikan kembali peristiwa reformasi, yang tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dipicu oleh berbagai krisis multidimensi. Krisis ekonomi yang melumpuhkan masyarakat, krisis kepercayaan terhadap pemerintah orde baru, serta krisis politik yang ditandai dengan tuntutan mundurnya Presiden Soeharto kala itu menjadi deretan pelik peristiwa reformasi. Namun, momentum besar reformasi justru meletup akibat tindakan represif aparat negara terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang menyuarakan perubahan.

Puncaknya terjadi pada Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998, ketika aparat keamanan menembaki mahasiswa Universitas Trisakti yang sedang melakukan aksi damai menuntut reformasi. Empat mahasiswa gugur ditembak, puluhan lainnya terluka, menjadi ekses negatif dalam sejarah reformasi. Peristiwa berdarah ini memicu gelombang kemarahan publik yang semakin meluas. Alih-alih meredam situasi, tindak kekerasan aparat justru memperkuat solidaritas mahasiswa dan rakyat, memunculkan gelombang demonstrasi yang lebih besar di berbagai daerah.

Dalam hari-hari berikutnya, represivitas aparat kembali terlihat dengan adanya penangkapan, penghilangan paksa aktivis, serta aksi brutal dalam menghadapi unjuk rasa. Rangkaian kekerasan inilah yang menyingkap wajah otoritarianisme orde baru dipenghujung kekuasaannya. Akibatnya, tekanan moral, politik, dan sosial semakin menguat, hingga akhirnya Presiden Soeharto menyatakan pengunduran diri pada 21 Mei 1998.Dengan demikian, sejarah mencatat bahwa reformasi 1998 tidak bisa dilepaskan dari tindakan represif aparat. Kekerasan negara yang dimaksudkan untuk membungkam justru menjadi pemantik bagi lahirnya era baru demokrasi di Indonesia.

Hari ini kita masih menyaksikan pola serupa. Pelbagai aksi protes masyarakat sipil kerap berhadapan dengan tindakan represif: pembubaran demonstrasi, intimidasi, kriminalisasi aktivis, hingga kekerasan fisik oleh aparat yang mengakibatkan hilangnya nyawa masyarakat sipil. Situasi ini menandakan bahwa negara masih sering merespons aspirasi rakyat dengan pendekatan keamanan ketimbang dialog demokratis.Bukan tidak mungkin, aksi-aksi represif yang diperlihatkan aparat dalam menyikapi aksi demonstrasi belakangan ini, juga semakin memperkuat masyarakat sipil, dan menjadi bom waktu bagi catatan sejarah baru ke depannya.

Jika pola ini terus berulang, ia berpotensi menjadi katalis bagi lahirnya gelombang perlawanan baru. Sejarah membuktikan, semakin besar represi, semakin besar pula peluang munculnya solidaritas rakyat. Setiap tindakan kekerasan negara yang melukai rakyat sesungguhnya menanam benih kemarahan kolektif. Ketika rasa takut berubah menjadi keberanian bersama, maka yang lahir bukan sekadar protes sporadis, melainkan sebuah revolusi sosial-politik yang mampu mengguncang struktur kekuasaan.Dengan demikian, aksi represif aparat hari ini tidak hanya sekadar pelanggaran HAM, tetapi juga tanda bahaya bagi keberlanjutan demokrasi.

Reformasi Polri

Jalan menuju perubahan besar bisa kembali terbuka. Pertanyaannya hanya satu: apakah negara akan belajar dari sejarah, atau justru mengulanginya hingga revolusi benar-benar tak terhindarkan? Praktik demokrasi kita seolah menemui jalan buntu, dan ditarik mundur ke sebelum era reformasi. Pada titik ini, urgensi reformasi kepolisian benar-benar dibutuhkan. Sebagai institusi yang memiliki mandat menjaga keamanan dan ketertiban, kepolisian dituntut untuk menempatkan perlindungan HAM sebagai landasan utama dalam setiap penanganan aksi demonstrasi.

Reformasi kepolisian menjadi penting karena tiga alasan utama. Pertama, ia merupakan syarat mutlak bagi konsolidasi demokrasi. Demokrasi hanya dapat tumbuh jika kebebasan berekspresi dilindungi, bukan dibungkam. Selanjutnya, reformasi kepolisian akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi negara. Kepolisian yang menjunjung HAM akan dipandang bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan pelindung rakyat. Ketiga, kepolisian yang profesional dan humanis akan mengurangi potensi konflik antara aparat dan warga, sekaligus mencegah terulangnya tragedi-tragedi berdarah seperti yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.

Dengan demikian, reformasi kepolisian dalam konteks perlindungan HAM bukan sekadar agenda teknis, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa aksi demonstrasi benar-benar dihormati sebagai hak warga negara. Hanya dengan kepolisian yang menghargai HAM, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang sehat dan beradab.Reformasi bukan hanya menyangkut aspek struktural atau teknis, melainkan juga menyentuh budaya kelembagaan kepolisian agar lebih humanis, transparan, dan akuntabel. Tanpa reformasi yang mendalam, kepolisian akan terus terjebak pada paradigma keamanan yang menempatkan rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai pemilik kedaulatan.

Pada akhirnya, tindakan represif aparat pada pelbagai aksi demonstrasi bukan hanya kegagalan pengamanan, melainkan pelanggaran hak fundamental rakyat dalam menyuarakan aspirasinya. Peristiwa ini menuntut refleksi mendalam dan reformasi struktural—agar ruang demokrasi tetap demokratis, dan bukan menegaskan dominasi kekuatan. Kita telah sampai kepada titik krisis demokrasi yang sebenarnya—ujung tanduk praktik berdemokrasi dan bernegara. Semua kekuatan sipil harus selalu mengawal agenda reformasi kepolisian hingga benar-benar terjadi. Jika tidak, demokrasi jelas diambang karam. Waktunya untuk berbenah.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA