Rabu, September 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Ihwal Kekhawatiran Indonesia Menuju Otoritarianisme 2.0

by Mata Banua
2 September 2025
in Opini
0
D:\2025\September 2025\3 September 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg
Gennta Rahmad Putra (Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Andalas)

Belum bulat setahun masa pemerintahan presiden Prabowo (2024-2029), partai politik dan elite sudah sibuk mengurusi hiruk pikuk menuju kontestasi 2029. Manuver Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah contoh nyata. Bukannya mengurus permasalahan bangsa yang semakin mengkhawatirkan, para elite kekuasaan sibuk memikirkan nasibnya di 2029. Selain itu, publik juga dibuat heboh dengan naiknya tunjangan rumah DPR mencapai 50 juta yang berakhir ujuk rasa besar-besaran di seluruh daerah di Indonesia. Namun, peristiwa ini jika ditinjau lebih lanjut membentuk gambaran yang mengkhawatirkan.

Konsentrasi kekuasaan yang semakin terkunci di tangan segelintir elite. Perubahan regulasi yang kebut semalam, putusan kontroversial, sampai pada manuver politik yang abai terhadap partisipasi publik bukan lagi sekadar gejala kemunduran demokrasi. Hal ini merupakan tanda-tanda lahirnya model baru yaitu “Otoritarianisme2.0”. Sebagian khalayak mungkin melihat fenomena hari ini sebagai nostalgia Era Orde Baru, namun ada beberapa hal yang mesti dilihat secara lebih dalam.

Artikel Lainnya

D:\2025\September 2025\3 September 2025\8\8\Wira Dika Orizha Piliang.jpg

Waktu untuk Berbenah

2 September 2025
D:\2025\September 2025\2 September 2025\8\Edi Setiawan.jpg

Pertumbuhan Untuk Siapa? Menguak Jurang di Balik Numerasi Ekonomi

1 September 2025
Load More

Berbeda dengan otoritarianismeOrde Baru yang bergantung pada kekerasan fisik, kendali total rezim, dan kontrol tunggal militer. Otoritarianisme 2.0 tampil lebih terbarukandan santun. Pemilu tetap ada, media masih beroperasi, dan kebebasan berekspresi masih terlihat di permukaan. Namun, semua itu dijalankan di bawah desain yang hasilnya sudah bisa diprediksi. Siapa yang berkuasa, akan tetap berkuasa. Ilmuwan politik menyebutnya authoritarianupgrading; strategi memperbarui otoritarianisme agar tetap relevan di era demokrasi prosedural dan teknologi digital(Roberts&Oosterom, 2024). Tidak salah jika di dalam Democracy Report 2025, V-DemInstitute mengklasifikasikan Indonesia sebagai rezim elektoralotokrasi.

Anne Applebaum dalam Autocracy, Inc (2024) mengatakan bahwa kenaifan terbesar parapemuja demokrasi menganggap bahwa otoritarianisme tak akan pernah bisa menundukkannya. Tanpa disadari mereka sudah meng-upgrade diri sedemikian rupa. Bercokol di balik sistem yang kelihatan demokratis melalui pemanfaatan regulasi dan aturan main (hukum). Permasalahan hari ini bukan hanya persoalan etika elite, pencabutan tunjangan dan pencopotan jabatan. Melainkan persoalan fundamental dari sistem, institusi, regulasi (UU) yang masih bercokol dalam tatanan lama dan tak pernah dituntaskan. Selama ini cara mengatasi persoalan hanya sebatas basa basi tindakan dengan tujuan yang masih mempertahankan tatanan dan status quo. Pola dan siklus ini akan terus berulang tanpa adanya kesadaran atas akar masalah sebenarnya.

Gejala-gejala yang Gamblang

Pertama, mengakali dengan pendekatan legislasi atau revisi undang-undang (UU). Revisi UU yang membatasi wewenang lembaga independen, dari KPK hingga MK, adalah bentuk nyata menggergaji fungsiruleoflaw dari dalam. Mengenai gaung revisi UU MK belakangan juga kembali terdengar.

Kedua, kooptasi lembaga legislatif. DPR, alih-alih menjadi pengimbang eksekutif, justru kerap menjadi mitra politik yang memastikan rancangan kebijakan menguntungkan penguasa. Saat ini dapat dikatakan tidak ada partai oposisi di Pemerintahan Presiden Prabowo. Apalagi sejak PDIP telah memproklamirkan diri sebagai pendukung pemerintah. Barangkali ini sebagai bentuk kalkulasi politik dengan penguasa atas Amnesti Hasto Kristianto.

Ketiga, instrumentalisasiinstitusi hukum. Aparat penegak hukum, dari kepolisian dan kejaksaan, kerap terlihat lebih cepat menangani lawan politik ketimbang mencari akar persoalan hukum, terutama korupsi. Salah satu buktinya, marak kejadian belakangan terhadap pengungkapan tindak pidana korupsi. Kejaksaan acap kali memamerkan uang sitaan yang terasa kental nuansa populisme hukum dan beraroma politis.

Keempat, mengenai fenomena digital authoritarianism. Pemerintah memanfaatkan kekuatan algoritma dan data besar untuk membentuk opini publik, baik melalui kampanye resmi maupun jejaring buzzer bayaran yang mengaburkan batas antara fakta dan propaganda. Saat ini, pengawasan tidak melulu hadir dalam bentuk intel yang menguntit, melainkan melalui unggahan-unggahan di sosial media, manipulasi trending topik, atau penyaringan informasi yang kita lihat di layar handphone.

Fenomena ciri khas otoritarianisme yang terbarukan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Akan tetapi sudah menjadi tren global saat ini. Hungaria di bawah Viktor Orbán menunjukkan bagaimana pemilu masih tetap berjalan sambil secara bertahap melemahkan kebebasan pers dan peradilan.RecepTayyipErdoðan di Turki memanfaatkan keadaan darurat dan retorika keamanan nasional dengan sentimen berbau agama untuk mengonsolidasikan kekuasaan (Rogenhofer&Panievsky,2020). Bahkan Singapura dan China yang dianggap stabil secara ekonomi pun mempertahankan kekuasaan satu partai selama puluhan tahun melalui kombinasi kebijakan kesejahteraan, meritokrasi, kontrol media, dan aturan hukum yang ketat terhadap oposisi (Ortmann&Thompson, 2016). Tren global ini menegaskan bahwa Otoritarianisme 2.0 bukansoal menghilangkan demokrasi, tetapi mengendalikannya agar selalu mempertahankan status quo yang diinginkan penguasa. Itulah sebabnya para elite partai politik di Indonesia ngotot sekali akan putusan MK tersebut.

Kenapa publik terlambat menyadarinya?

Otoritarianisme jenis terbarukan ini jarang membuat dobrakan besar seperti kudeta militer. Polanya bergerak senyap, melalui perubahan kebijakan yang terdengar teknis, revisi undang-undang yang dikemas rapi dengan nuansa kepentingan bangsa, atau putusan hukum yang dibungkus alasanlegal formal. Publik akan baru menyadari saat ruang kebebasan menyempit, tapi pada saat itu infrastruktur kekuasaan sudah terlalu kuat untuk dilawan. Mengingat inilah penyebab dari lemahnya keberadaan kelompok oposisi dan kalangan masyarakat sipil. Sehingga mekanisme checksandbalances sudah tak ada artinya.

Bahaya terbesarnya bukan hanya hilangnya kebebasan sipil, tetapi terputusnya mekanisme koreksi. Di dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan yang menyimpang dapat dikoreksi oleh media independen, oposisi yang kuat, dan lembaga peradilan yang netral tanpa campur tangan pemerintah. Akan tetapi, dalam Otoritarianisme 2.0semua jalur itu perlahan dimatikan atau dibelokkan. Tentunya hal ini dibungkus dengan narasi kedaulatan rakyat, kepentingan bangsa, dan kesejahteraan bersama. Rakyat tetap memilih, tapi pilihannya terbatas. Rakyat tetap bersuara, tapi suaranya tak bergaung. Inilah pola yang sering disebut sebagai competitiveauthoritarianism. Kelihatan demokratis secara prosedur, namun otoriter secara substansinya (Sana Jaffrey& Eve Warburton, 2024).

Seharusnya masyarakat sipil, akademisi, dan media harus membaca tanda-tanda ini bukan sebagai pola yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari desain besar para elite untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Sejarah membuktikan, di saat tanda-tanda awal diabaikan, koreksi akan datang terlambat dan kita mesti membayarnya dengan harga yang jauh lebih mahal. Kita tidak bisa hanya berharap “akan ada pemimpin baik dan pembawa perubahan” yang menyelamatkan demokrasi. Tren saat ini, awal terjadinya penurunan demokrasi datang dari pemimpin populis yang doyan menggaungkan narasi populisme berbalut kepentingan bangsa dan negara. Sebagaimana diketahui bahwa terminologi populisme bukan hanya persoalan politik, melainkan narasi ini juga berlaku dalam hal ekonomi dan hukum. Menggunakan narasi efisiensi, stabilitas pembangunan, antek asing, pemberantasan korupsi bahkan mengembalikan keadilan rakyat. Demokrasi hanya bertahan jika sistemnya bekerja, bukan bergantung pada kebajikan individu yang kental beraroma populis.

Indonesia kini berada di persimpangan. Kita masih memiliki ruang untuk membalik arah, tetapi waktu tidak akan pernah berpihak jika tanda-tanda ini terus dibiarkan dan dinormalisasikan. Dalam Otoritarianisme 2.0, represi tidak selalu disertai riak teriakan, akan tetapi hadir dalam keheningan yang menormalisasi ketidakadilan dan ketimpangan. Jika kita tidak membunyikan alarm peringatan sekarang, maka kita akan berisiko menjadi penonton yangterlalu terlambat bahwa demokrasi sudah lama pergi dan digantikan oleh sesuatu yang tampak seperti demokrasi, tapi sekadar balutan dari luarnya. Sehingga pola yang terjadi pada pemilu 2024 akan tetap terjadi pada pemilu 2029 nanti.

Sudah saatnya khitah demokrasi dikembalikan kepada tempat yang selayaknya. Hal itu tidak lain adalah kedaulatan rakyat secara real dan menyeluruh.Tentunya ini semua merupakan bentuk alarm peringatan bagi seluruh pihak, terutama elite partai politik. hal ini yang sebetulnya menjadi alarm keras bagi pemerintah dan DPR untuk dapat mewujudkan kepentingan rakyat seadil-adilnya. Jadikan unjuk rasa besar-besar hari ini sebagai bentuk perubahan ke depan yang lebih baik. Baik dalam menata sistem, institusi dan regulasi yang semakin demokratis.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA