Selasa, September 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pertumbuhan Untuk Siapa? Menguak Jurang di Balik Numerasi Ekonomi

by Mata Banua
1 September 2025
in Opini
0
D:\2025\September 2025\2 September 2025\8\Edi Setiawan.jpg
Edi Setiawan (Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA)

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,12 persen pada kuartal kedua 2025 semestinya menjadi kabar baik yang menandakan pulihnya ekonomi nasional. Namun di balik gegap gempita capaian makro tersebut, suara masyarakat terdengar lirih. Harga bahan pokok tak kunjung turun, daya beli stagnan, dan utang rumah tangga kian membengkak. Banyak keluarga merasa tidak ikut bergerak dalam geliat pertumbuhan, seakan-akan statistik yang membaik tidak mengalir ke dapur mereka. Ironisnya, ketika pertumbuhan ekonomi dijadikan indikator utama keberhasilan, pertanyaan mendasar “untuk siapa pertumbuhan itu?” justru semakin jarang diajukan.

Selama lima tahun terakhir, ekonomi menunjukkan tren pemulihan ekonomi pasca pandemi. Dari kontraksi “2,07 persen pada 2020, ekonomi tumbuh menjadi 3,69 persen (2021), kemudian 5,31 persen (2022), hingga stabil di kisaran 5 persen sepanjang 2023–2025. Namun, dalam stabilitas itu tersembunyi ketimpangan struktural. Di Jakarta misalnya, Gini Ratio telah mencapai 0,441—menandakan ketimpangan yang kian melebar. Meski angka kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47 persen, hampir 40 persen warga masih berada dalam status rentan miskin—kelompok yang sewaktu-waktu dapat tergelincir kembali oleh fluktuasi harga atau kehilangan pekerjaan.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

DPR Mewakili Rakyat Untuk “Senang”, Bukti Cacatnya Sistem Politik

1 September 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Bully Berakhir Tragis

1 September 2025
Load More

Kondisi mencemaskan, konsumsi rumah tangga kini ditopang oleh utang yang kian besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pinjaman digital per Juni 2025 mencapai Rp 83,2 triliun, meningkat 28 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar peminjam adalah usia produktif 20–35 tahun. Ini menunjukkan konsumsi tak lagi didorong oleh pendapatan riil, melainkan oleh utang jangka pendek yang rapuh dan rentan gagal bayar. Perekonomian rumah tangga Indonesia ibarat berjalan di atas utang, bukan ditopang oleh kenaikan produktivitas atau upah.

Di sektor ketenagakerjaan, lebih dari separuh angkatan kerja masih berada di sektor informal tanpa perlindungan sosial yang memadai. Sementara itu, aliran investasi yang selama ini menjadi harapan transformasi ekonomi justru melambat. Pada semester pertama 2025, penanaman modal asing (PMA) menurun 7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Perdagangan luar negeri, ketimpangan juga tampak. Ekspor Indonesia melemah 4,1 persen, sementara impor bahan pangan naik 7,3 persen. Ini mencerminkan lemahnya ketahanan pangan dan rendahnya substitusi impor. UMKM lokal kesulitan menembus pasar ekspor karena terbentur sertifikasi, logistik, dan rendahnya literasi numerasi digital. Padahal, bila diberdayakan secara tepat, UMKM dapat menjadi tulang punggung ekspor rakyat. Sayangnya, hanya sekitar 13 persen UMKM yang berorientasi ekspor, dan sebagian besar masih menjual bahan mentah, bukan produk bernilai tambah.

Perlunya rebalancing insentif perdagangan. Struktur tarif ekspor dan impor harus lebih cerdas. Turunkan tarif ekspor untuk produk hilirisasi UMKM dan naikkan tarif impor untuk barang konsumsi non-esensial yang dapat diproduksi di dalam negeri. Kebijakan tarif tidak boleh semata-mata berwatak proteksionis, tetapi harus menjadi alat strategis untuk menciptakan nilai tambah domestik.

Langkah berikutnya adalah membangun Digital Export Accelerator—platform nasional yang menyediakan sistem terpadu untuk ekspor UMKM, mulai dari standarisasi, logistik, sistem pembayaran internasional, hingga promosi lintas negara. Akselerator ini akan mendorong ekspor rakyat secara digital, menciptakan ekosistem perdagangan yang kompetitif dan inklusif, bukan hanya mengandalkan korporasi besar.

Selain itu, Indonesia perlu memperkuat Ekosistem Impor tertarget, yakni sistem pengendalian impor yang hanya membuka keran untuk barang modal, teknologi bersih, dan bahan baku strategis. Barang konsumsi yang dapat diproduksi lokal harus dikendalikan melalui sistem berbasis data real-time, dengan integrasi teknologi seperti blockchain dan artificial intelligence (AI). Di sinilah tarif dan teknologi bekerja sama dalam memperkuat posisi tawar ekonomi nasional.

Dalam konteks ekonomi digital, dominasi platform global membuat pelaku lokal kesulitan bersaing. Oleh karena itu, ide Koperasi Merah Putih Digital layak diwujudkan. Koperasi ini akan menjadi ruang digital bersama bagi pelaku UMKM daring, pekerja aplikasi, dan konsumen lokal, dengan sistem yang dimiliki oleh anggota dan algoritma yang transparan. Pemerintah cukup menyediakan kerangka hukum dan standar teknis, tanpa perlu mengelola langsung.

Koperasi digital ini dapat menyediakan layanan logistik, transaksi, pemasaran, hingga pembiayaan dengan prinsip gotong royong digital. Ini menjadi cara baru untuk membumikan koperasi di era digital sekaligus menumbuhkan ekonomi solidaritas berbasis teknologi. Bila koperasi konvensional kesulitan menjangkau generasi muda, maka koperasi digital bisa menjadi sarana transformasi ekonomi berbasis partisipasi.

Dalam kerangka keadilan sosial, sudah saatnya Indonesia memiliki Dana Stabilitas Sosial Nasional, yang dihimpun dari surplus ekspor sumber daya alam (SDA), dividen BUMN, dan pungutan karbon. Dana ini berfungsi sebagai jaring pengaman sosial permanen, terutama saat krisis. Model seperti Sovereign Wealth Fund di Norwegia terbukti mampu menjamin masa depan sosial ekonomi warganya. Indonesia pun bisa melakukan hal serupa dengan nikel, batu bara, dan sawit sebagai basisnya. Dana ini bukan bentuk kemurahan hati negara, melainkan investasi pada stabilitas jangka panjang bangsa.

Keadilan fiskal menjadi tiang utama. Pajak digital yang progresif harus diperkuat, karena saat ini kontribusinya masih di bawah 1,2 persen terhadap PDB. Ekonomi digital menghasilkan nilai besar, namun kontribusi fiskalnya minim. Pajak kekayaan dan insentif fiskal bagi UMKM perlu diperbarui agar distribusi lebih adil. Di sisi lain, sistem pajak harus didigitalisasi dan diintegrasikan lintas platform: dari marketplace, perbankan, hingga DJP, agar semua transaksi digital tercatat dan dapat diawasi.

Aparat pajak dan masyarakat harus ditingkatkan literasi numerasinya, agar pajak tidak dipersepsi sebagai beban, tetapi sebagai alat gotong royong. Pemerintah juga perlu membangun Indeks Ketahanan Ekonomi Rumah Tangga yang tak hanya mengukur pendapatan, tetapi juga utang, kebutuhan dasar, dan risiko keuangan keluarga. Indeks ini akan membantu pemerintah merancang kebijakan sosial yang lebih presisi.

Kolaborasi antara BPS, OJK, dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk membuat dashboard ketahanan rumah tangga berbasis wilayah, yang terbuka dan dapat menjadi rujukan intervensi ekonomi dan sosial. Hanya dengan memahami titik lemah di level keluarga, kebijakan makro bisa benar-benar menyentuh kehidupan nyata rakyat.

Indonesia memang tumbuh, tetapi pertumbuhan saja tidak cukup. Kita membutuhkan ekonomi yang bukan hanya bertumbuh cepat, tetapi juga berakar kuat. Bukan hanya melesat, tetapi juga menjangkau. Bila pertumbuhan hanya menaikkan angka PDB tanpa menurunkan ketimpangan dan memperkuat rumah tangga, maka pertumbuhan itu akan kehilangan legitimasi.

Pertanyaan penting yang perlu kita ajukan kembali: untuk siapa pertumbuhan itu? Jika 70 juta orang tetap berada di sektor informal, jika utang rumah tangga melonjak tapi investasi produktif stagnan, dan jika harga pangan terus naik melebihi upah, maka rakyat hanya menjadi penonton dalam narasi pertumbuhan. Sudah saatnya Indonesia menggeser cara pandang: dari mengejar angka, menjadi membangun harapan. Numerasi pertumbuhan harus bermuara pada kesejahteraan—nyata, adil, dan berkelanjutan.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA