
JAKARTA – Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyampaikan, berdasarkan hasil tinjauan Kenaikan Harga minyakita di berbagai daerah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), bahkan mencapai Rp 16.700 – Rp 17.000, sementara tertinggi di Papua dan wilayah timur hingga Rp20.000.
“Kenaikan harga dirasakan meski nominal tidak terlalu besar, tapi mempengaruhi masyarakat secara luas,” ujar Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI Reynaldi Sarijowan, dalam keterangannya, Kamis.
Menurutnya, fenomena ini dinilai tidak logis karena Indonesia adalah produsen sawit terbesar, namun tetap sulit mendapatkan minyak goreng terjangkau di dalam negeri.
Disisi lain pihaknya juga menyoroti permasalahan Tata Kelola dan Regulasi. Banyaknya regulasi dan intervensi pemerintah (termasuk DMO) dipandang justru menciptakan hambatan dalam sistem pasar minyak goreng.
Permendag Nomor 18 tahun 2024 dibahas sebagai salah satu regulasi yang dinilai memerlukan evaluasi, karena proses hul ke hilir minyak goreng tidak terselesaikan.
“Peran swasta dalam produksi dan distribusi minyak dinilai menyebabkan sulitnya kontrol pemerintah terhadap harga dan ketersediaan,” ujarnya.
IKAPPI pun menyarankan perlunya pelibatan semua pihak (pemerintah, BUMN, swasta) dalam diskusi menyeluruh tata kelola minyak goreng.
“Pemerintah disarankan memberi peran lebih besar kepada BUMN, misalnya menunjuk 1-3 BUMN untuk memproduksi dan mengontrol distribusi minyak kita agar pengawasan lebih mudah dan efektif. Seperti contoh ID Food hanya mendapatkan kurang lebih 7% dari jumlah distribusi yg disalurkan,” ujarnya.
Dengan peran BUMN yang ditingkatkan, pemerintah dapat lebih mudah mengontrol harga dan distribusi, serta menekan praktik bundling antara minyak subsidi dan produk premium. Sementara Swasta cenderung sulit dikontrol, baik dari sisi produksi maupun distribusi, dan sering terjadi praktik bandling atau distributornya menambah harga.
Di pasar ditemukan praktik “bundling” yakni pedagang hanya bisa mengambil minyak kita jika juga membeli minyak premium. Beberapa distributor menaikkan harga sehingga harga di konsumen semakin tinggi.
Stok minyak goreng sebenarna tersedia, namun karena pola sistem distribusi seperti ini yg melibatkan D1 (Distributor 1) bahkan sampai dengan D3 baru sampai ke pasar, harga akan naik.
Ia pun mengusulkan agar mengevaluasi kembali Permendag 18 tahun 2024 terkait tata kelola minyak kita dari hulu ke hilir. Tingkatkan peran dan tanggung jawab BUMN dalam memproduksi serta mendistribusikan minyak Kita. IKAPPI juga meminta agar melibatkan seluruh pihak dalam diskusi tata kelola minyak goreng, dari pemerintah, BUMN hingga pelaku pasar, serta memperketat pengawasan pada distribusi dan praktik “bundling” di pasar. lp6/mb06