
Medan, 22 Agustus 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap menonjolkan diri sebagai “wakil rakyat” yang mendengar aspirasi publik. Mereka memamerkan sistem pengaduan online modern, lengkap dengan nomor tiket, dashboard progres, dan alur birokrasi digital. Namun di balik gemerlap teknologi dan jargon modernisasi, terungkap paradoks serius, bahwa sistem yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat malah berubah menjadi labirin yang menjerat suara rakyat, sementara anggaran puluhan miliar rupiah yang digelontorkan tampak lebih sebagai simbol formalitas daripada instrumen nyata.
Ruben Cornelius Siagian, kritikus publik dan warga Jawa Barat, menjadi salah satu yang vokal menyoroti ketidakberesan ini. Ia mengajukan pengaduan agar RUU Masyarakat Adat segera diresmikan ke UUD, sebuah tuntutan yang jelas mendesak dan menyangkut hak konstituen serta pengakuan hukum atas masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan. Namun, hampir dua tahun berlalu, pengaduannya tetap mandek di meja pimpinan DPR, sementara sistem pengaduan online hanya menampilkan status “Berkas diteruskan ke Ketua DPR.” Nomor tiket yang diberikan pun hanyalah simbol digital tanpa makna, bukan jaminan bahwa aspirasi rakyat benar-benar ditindaklanjuti.
Alur pengaduan DPR apakah omong kosong?
Ruben, dalam berbagai kesempatan, menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan simbol hilangnya tanggung jawab moral DPR. Sistem yang dirancang untuk mempermudah alur aspirasi rakyat, nyatanya mempersulitnya. Dari pimpinan DPR ’! Alat Kelengkapan Dewan (AKD) ’! Sekretariat Jenderal ’! Ketua DPR, rantai birokrasi yang panjang justru menjadi penghambat, bukan penyelesaian. “Alih-alih mempermudah rakyat, DPR membangun labirin administrasi yang membingungkan dan melelahkan,” kata Ruben.
Ironi semakin tajam ketika menilik kondisi finansial anggota DPR. Sementara rakyat menunggu respons yang tak kunjung datang, anggota DPR menikmati kenaikan gaji hingga Rp 3 juta per hari, ditambah tunjangan dan kompensasi penghapusan fasilitas rumah dinas. Ruben menyoroti ketimpangan ini dengan pedas bahwa “Aspirasi rakyat nyangkut, tapi kantong wakil rakyat terus tebal. Prioritas DPR jelas lebih condong pada kemewahan pejabat daripada empati dan tanggung jawab moral.”
Menurut Ruben, sistem pengaduan DPR, yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan hak konstituen, ternyata hanyalah panggung formalitas digital. Anggaran miliaran rupiah yang dialokasikan tidak menghasilkan perubahan nyata bagi rakyat. Alih-alih menindaklanjuti RUU Masyarakat Adat yang mendesak, pimpinan DPR seolah menutup mata terhadap aspirasi publik, membiarkan janji formal tetap kosong.
Labirin Birokrasi
Fenomena ini, kata Ruben, memperlihatkan hilangnya integritas moral DPR. Lembaga yang seharusnya menjadi penyalur suara rakyat kini menjadi simbol janji yang tidak ditepati. Sistem pengaduan digital, yang dibangun dengan biaya besar, hanya berfungsi sebagai alat legitimasi formalitas, bahwa “Kami mendengar, tapi tidak bertindak.” Rakyat yang mempercayai sistem ini sering kali tidak mengetahui sejauh mana pengaduan mereka ditindaklanjuti, sehingga mereka hanya diberikan harapan digital, yang kenyataannya hanyalah ilusi.
Lebih dari itu, Ruben menekankan bahwa kasusnya bukan satu-satunya. Berbagai pengaduan yang menyangkut isu sosial, hak konstituen, dan kebijakan publik mendesak sering kali menemui nasib yang sama, bahwa tersangkut di meja pimpinan atau tersedak birokrasi. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pengaduan DPR bukan sarana memberdayakan rakyat, melainkan instrumen legitimasi politik yang menutupi kekosongan respons nyata.
Paradoks DPR, menurut Ruben, tidak hanya soal sistem pengaduan, tapi juga soal prioritas dan budaya institusi. Alih-alih mendengar dan menindaklanjuti aspirasi rakyat, DPR lebih sibuk mengamankan tunjangan, fasilitas, dan posisi strategis. Kritik terhadap lembaga ini sering dianggap sebagai gangguan atau noise politik, bukan panggilan moral untuk memperbaiki sistem. Hasilnya, rakyat yang seharusnya merasa diwakili justru terpinggirkan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana DPR bisa disebut sebagai perwakilan rakyat ketika aspirasi publik yang sahih terjebak di meja pimpinan selama bertahun-tahun? Bagaimana rakyat bisa mempercayai sistem pengaduan yang nominalnya modern tetapi kenyataannya stagnan? Menurut Ruben, paradoks ini mengikis kepercayaan publik, menciptakan skeptisisme, bahkan frustrasi terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.
DPR, dengan sistem pengaduan yang canggih namun stagnan, telah membangun ilusi demokrasi digital. Mereka memamerkan kemodernan, tapi esensi dari peran mereka, yang menjadi jembatan aspirasi rakyat tapi dibiarkan kosong. Sistem yang seharusnya memperpendek jarak antara rakyat dan pengambil kebijakan justru memperpanjang birokrasi dan menciptakan ilusi kepedulian. Janji-janji digital menjadi senjata formalitas politik yang menutupi kenyataan pahit bahwa rakyat tetap menunggu, sementara wakil rakyat tetap menikmati kemewahan mereka.
Ruben juga menegaskan bahwa fenomena ini menunjukkan hilangnya empati dan tanggung jawab moral DPR. Janji-janji formal hanya memperkuat kesan bahwa sistem pengaduan DPR adalah alat untuk menyamarkan ketidakpedulian. Sementara rakyat yang mengharapkan tindakan nyata melihat harapan mereka diserahkan ke dunia digital yang steril dan tidak efektif.
Paradoks DPR menjadi semakin memalukan ketika dibandingkan dengan urgensi isu. RUU Masyarakat Adat bukan hanya simbol legislasi, tapi juga pengakuan hukum atas hak konstituen yang selama ini terpinggirkan. Mandeknya pengaduan ini bukan sekadar kegagalan teknis, tapi juga kegagalan moral. DPR tampaknya lebih peduli pada protokol formal dan angka anggaran daripada pada aspirasi manusia yang nyata.
Dalam hal ini, sistem pengaduan DPR menjadi cermin kelemahan institus, meski menghabiskan anggaran besar untuk platform digital, aspirasi rakyat tetap stagnan. Alih-alih menindaklanjuti pengaduan yang sahih, DPR membiarkan harapan publik menguap dalam labirin birokrasi. Sistem modern hanyalah simbol kosong, janji digital tanpa tindakan.
Paradoks ini menunjukkan satu kesimpulan tajam, bahwa DPR membangun sistem untuk rakyat, menghabiskan anggaran besar, tapi untuk rakyat? Hanya ilusi. Janji digital tidak pernah menggantikan tanggung jawab moral, dan formalitas birokrasi tidak bisa menutupi kenyataan pahit bahwa aspirasi rakyat nyangkut di meja pimpinan.
Jika DPR ingin benar-benar menjadi wakil rakyat, menurut Ruben, perlu revolusi budaya birokrasi dan transparansi. Sistem pengaduan harus dievaluasi secara kritis, dengan fokus pada tindakan nyata, bukan sekadar simbol formalitas digital. Anggaran miliaran rupiah seharusnya menghasilkan hasil yang bisa dirasakan rakyat, bukan hanya layar dashboard yang menunjukkan status tanpa progres.
Pada akhirnya, kasus Ruben Cornelius Siagian hanyalah salah satu dari banyak bukti. DPR saat ini berdiri di atas paradoks moral dan institusional, bahwa membangun sistem canggih, memamerkan modernisasi, tapi aspirasi rakyat yang sahih tetap terjebak. Dengan semua fasilitas, tunjangan, dan gaji fantastis anggotanya, DPR telah menunjukkan satu kenyataan pahit: formalitas digital tidak pernah bisa menggantikan tindakan nyata untuk rakyat.
Ruben menutup kritiknya dengan pertanyaan retoris yang tajam, bahwa “Jika DPR benar-benar peduli pada rakyat, mengapa aspirasi sahih bisa bertahun-tahun tersangkut di meja pimpinan? Bukankah sistem pengaduan digital seharusnya mempermudah, bukan menghalangi hak rakyat?” Pertanyaan itu seakan menampar wajah institusi legislatif yang selama ini lebih nyaman dalam formalitas daripada tindakan nyata.