Oleh : Mariatul Adawiyah, ST (Aktivis Muslimah)
Upaya memperkuat langkah percepatan penurunan stunting, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalsel menggelar pertemuan ini guna merevisi susunan keanggotaan Tim Percepatan Penjagaan dan Penurunan Stunting (TP3S) serta melakukan review terhadap inputan aksi konvergensi pada website Bangda Kemendagri. Kepala DP3AKB Kalsel, Husnul Hatimah, menegaskan bahwa stunting adalah tantangan serius yang harus dihadapi secara lintas sektor. “Stunting bukan sekadar masalah kesehatan atau gizi semata. Ini persoalan multidimensi yang menyentuh pendidikan, lingkungan, ketahanan pangan, ekonomi, dan pola asuh,” tegas Husnul, dikutip dari (diskominfomc.kalselprov.go.id).
Revisi dan Review Aksi Pertemuan membahas dua agenda penting: Revisi keanggotaan TP3S, menyesuaikan dengan Perpres No. 72 Tahun 2021 dan dinamika jabatan agar tim tetap solid dan representatif lintas sektor. Review aksi konvergensi, sesuai Permendagri No. 90/2019 dan No. 050-5889/2021, yang menjadi indikator nyata pelaksanaan intervensi penurunan stunting di daerah. “Setiap aksi harus terdokumentasi dengan baik, karena ini mencerminkan kinerja daerah dalam menurunkan prevalensi stunting,” kata Husnul, dikutip dari (kalimantanlive.com).
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan baru-baru ini melakukan revisi susunan keanggotaan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS/TP3S) provinsi untuk memperkuat koordinasi lintas sektor dan menyesuaikan dinamika kelembagaan serta peraturan pusat. Langkah ini juga merupakan bagian dari serangkaian upaya percepatan yang dilakukan kabupaten/kota se-Kalsel sepanjang 2024–2025. Masalah stunting bukan sekadar masalah teknis kesehatan. Ia adalah simptom kegagalan struktur politik-ekonomi yang meletakkan kepentingan pasar dan keuntungan di atas amanah rakyat.
Negara sekuler-kapitalis cenderung memprivatisasi tanggung jawab sosial: layanan dasar (gizi, layanan kesehatan ibu-anak, air bersih) terlalu banyak bergantung pada program-program yang bersifat proyek, bukan jaminan hak. Revisi tim sering kali menambal masalah koordinasi yang bersifat administrative tanpa menyentuh akar, pengelolaan anggaran yang tersebar, sinergi perencanaan yang lemah, dan tidak adanya kesinambungan politik untuk memastikan intervensi keluarga hingga tingkat desa berjalan konsisten.
Khilafah menempatkan negara sebagai pengelola amanah publik menjamin kebutuhan dasar, menetapkan prioritas yang adil, dan menegakkan akuntabilitas syar’i. Negara wajib menyediakan jaminan pangan bergizi, layanan kesehatan ibu-anak, dan akses air bersih sebagai hak rakyat; program tidak boleh bersifat proyek temporer tetapi menjadi bagian anggaran rutin (bukan hibah atau donor-driven).
Susunan Tim Percepatan harus terdiri dari wakil lembaga yang benar-benar bertanggung jawab. Aparat yang lalai dalam menjamin pelayanan dasar atau melakukan korupsi anggaran intervensi diberi sanksi tegas. Revisi susunan tim di Kalsel adalah langkah administrasi yang tepat, tetapi tidak cukup bila tidak diikuti perubahan paradigma: dari program temporer menuju jaminan hak dasar, dari birokrasi fragmentaris menuju tata kelola amanah yang akuntabel.
Dalam bingkai Khilafah, penurunan stunting bukan pekerjaan teknis semata ia adalah kewajiban negara untuk memelihara generasi. Jika revisi tim menjadi momentum perubahan kebijakan, struktur anggaran, dan pembentukan budaya publik yang memuliakan anak, maka target nyata menurunkan stunting hingga tingkat yang manusiawi bukanlah utopi melainkan kewajiban yang harus ditegakkan.