
Agustus di republik ini tak ubahnya panggung sandiwara. Rakyat diajak tertawa lewat lomba makan kerupuk, sementara elitnya berpesta makan anggaran. Satu-satunya lomba yang konsisten dimenangkan DPR adalah lomba panjat tunjangan. Pertanyaannya sederhana: kemerdekaan ini untuk siapa—untuk rakyat, atau untuk saldo rekening wakil rakyat?
Kenaikan tunjangan DPR membuat penghasilan mereka tembus seratus juta per bulandisambut dengan kalimat sinis: publik disebut “tak senang melihat orang senang”. Apakah pajak rakyat populer dijadikan alat kebanggaan elit, bukan alat pelayanan? Ironi ini bertemu kenyataan saat pemerintah mengalokasikan Rp335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), menyedot 44 persen anggaran pendidikan sementara sekolah atap bocor, guru bergaji minim, dan kampus merintih. Di tengah semua itu, utang baru Rp781,9 triliun disiapkan—bukan diwariskan kepada legislator, tapi pada generasi muda yang bahkan belum merdeka dari cicilan motor.
Baru-baru ini, kabar mengejutkan datang dari sejumlah daerah. Warga Balikpapan yang selama ini membayar pajak sekitar Rp306 ribu per hektar kaget bukan main saat tagihan tiba mencapai Rp9,5 juta, lonjakan hampir 3.000 persen. Warga menuding ketidakadilan pajak, menyangsikan dasar perhitungannya; penulis tergelitik untuk mengajukan pertanyaan “bukankah ini cara paling gampang pemerintah menambah PAD”tanpa melihat beban rakyat yang masih rapuh.Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, mengecam kebijakan ini sebagai beban tak berperikemanusiaan, bahkan mendesak DPRD Balikpapan bersuara “nyaring” atas keresahan publik.
Di beberapa daerah lain, protes meletup. Di Cirebon, kenaikan PBB sampai 1.000 persen memicu rencana aksi mengepung Balai Kota. Di Jawa Tengah, tepatnya Pati, 250 persen rencana kenaikan diprotes hingga menyebabkan demonstrasi besar. Bahkan di Jombang, Solo, Semarang, Bone, dan Pare-Pare, lonjakan antara ratusan hingga ribuan persen memicu kegaduhan sehingga beberapa pemerintah daerah akhirnya menunda atau meninjau ulang tarif PBB setelah ada sorotan dari Kementerian Dalam Negeri.
Di tengah ketegangan kebijakan fiskal, muncul juga bentuk protes yang lebih simbolis tapi menyentil: maraknya pengibaran bendera One PieceJolly Rogeryang sejajar dengan bendera Merah Putih. Bagi sebagian generasi muda, bendera itu bukan sinyal makar, melainkan seruan: “merdeka ini jangan dibajak elit.”
Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada menyebutnya ekspresi perlawanan simbolik—kreasi penuh kecerdikan anak mudayang lebih cepat menyebar daripada orasi mundur/kembali. Fenomena ini tampil sebagai kritik imajinatif yang terasa inklusif dan familiar, bukan ancaman negara.
Menariknya, respons berlebihan pemerintahada yang menyebutnya “mungkin makar”justru menambah resonansi simbol itu dalam ruang publik. Seolah-olah dengan melarang, mereka membantunya viral.
Paradoks yang ditampakkan
Sekali lagi kita melihat paradoks: negara merayakan kemerdekaan dengan pidato panjang mengumbar semangat, sementara wakil rakyat sibuk menaikkan tunjangan, pemerintah daerah sibuk menaikkan pajak, dan generasi muda dipaksa menanggung utang dan beban pajak yang membengkak.
Secara filosofis, hal ini membingkai kembali pertanyaan klasik tentang peran negara: apakah negara hadir untuk melindungi rakyat, atau untuk menguras rakyat? Rousseau barangkali akan tertawa getir: “kehendak umum” kini diinterpretasikan sebagai “kehendak dompet”.
Secara sosial, mayoritas rakyat yang penghasilannya terbatasterutama pensiunan dan buruh yang terperangkap dalam siklus beban fiskal yang tidak kunjung habis. Pajak yang sifatnya simbolik, seperti PBB, kini justru menjadi jebakan fiskal.
Sudut Pandang Penulis
Saya tak bisa membisu. Tunjangan DPR harus dievaluasi. MBG tak salah, tapi jangan jadikan asupan gizi agenda politik—pendidikan masih butuh perhatian serius. PBB semestinya adil, transparan, dan punya subsidi jika memang membebani. Utang harus bertumpu pada proyek produktif, bukan ekspos pencitraan.
Merdeka bukan berarti dibebani oleh data dan angka. Merdeka bukan berarti bebas dari tanggung jawa.Merdeka bukan sekadar bebas mengibarkan bendera. Merdeka adalah bebas dari rasa dikhianati oleh kebijakan negara sendiri.
Oleh karena itu, jika negeri ini masih punya nurani:
1. Tunda kenaikan tunjangan DPR, audit kembali dengan standar keadilan.
2. MBG dirancang lebih inklusif, jangan jadi tandingan pendidikan.
3. PBB direformasi: wajib sosialisasi, evaluasi NJOP, keringanan bagi yang rentan.
4. Utang diawasi publik, diprioritaskan untuk infrastruktur riil, bukan pencitraan.
5. Simbol seperti Bendera One Piece harus didengar, bukan dituding makar. Karena itu suara rakyat, bukan ancaman.
Bagi generasi Z dan mereka yang tumbuh dengan harapan baru, kemerdekaan bukan lukisan di museum. Ia adalah realitas yang ditopang oleh kebijakan adil, bukan dibungkus oleh slogan merah-putih. Mari pastikan Agustus ini bendera berkibar bukan sebagai jebakan cinta simbolik semata, tapi sebagai awal perjuangan nyata menuntut negara yang benar-benar merdeka—untuk semua.