Oleh : Claudia Angeline (Mahasiswa Fakultas Hukum ULM)
Berita nasional dan masyarakat beberapa waktu terakhir ramai menyoroti kasus tragis yang menimpa Prada Lucky Chepril Saputra Namo, seorang prajurit TNI Angkatan Darat berusia 23 Tahun yang tewas pada Rabu 6 Agustus 2025, setelah mendapatkan perawatan di RSUD Nagakeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kematiannya diduga kuat akibat penganiayaan berat yang dilakukan oleh para seniornya di Batalyon Teritorial Pembangunan 834/Waka Nga Mere. Tragedi tersebut menjadi sebuah tamparan keras bagi institusi militer, hukum, dan masyarakat Indonesia.
Kasus ini membuka kembali luka lama tentang bahaya perundungan dan kekerasan (bullying) yang disamarkan dalam istilah “senioritas” atau “pembinaan”. Lingkungan militeryang seharusnya menjadi tempat yang aman dan solid bagi setiap prajurit untuk dilatih dan dibina, justru menjadi arena kekerasan yang mematikan.Budaya senioritas yang salah kaprah ini telah lama mengakar, di mana junior dianggap sebagai objek untuk dilampiaskan kekuasaan dan superioritas. Tindakan-tindakan kejam seperti ini tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menyerang mental seseorang, dan yang paling ditakutkan menimbulkan korban jiwa. Ironisnya, tindakan ini sering kali dilakukan dengan dalih “menempa mental” atau “mendidik,” padahal yang terjadi adalah suatu tindakan kriminal yang dilindungi oleh budaya diam dan ketakutan.
Budaya “senioritas” yang disalahgunakan ini tidak hanya mengakar di institusi militer, tetapi juga merajalela di berbagai lingkungan kerja, akademik maupun organisasi. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Michela, dkk pada Jurnal Akuntansi Hukum dan Edukasi tahun 2025 yang berjudul “Stop Bullying Atas Nama Senioritas”, hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 72% responden mengaku pernah mengalami atau menyaksikanbullying berbasis senioritas di tempat kerja atau akademik. Angka yang tinggi ini membuktikan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para senior bukanlah sekadar “tradisi”, melainkan dapat merujuk kepada suatu tindakan pidana. Sanksi mengenai penganiayaan yang bahkan sampai menyebabkan kematian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX Buku kedua Pasal 351 Ayat (1) “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” dan Ayat (3) “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Dalam banyak kasus, “senioritas” menjadi dalih untuk melakukan perundungan, kekerasan, dan intimidasi. Para pelaku merasa tindakannya sah karena berlandaskan pada tradisi yang dianggap lumrah, sementara korban sering kali diam karena takut dikucilkan. Hal inilah yang menjadi siklus yang sulit untuk diputus.
Untuk mengakhiri siklus ini, langkah tegas harus diambil, baik dari sisi penegakan hukum maupun perubahan budaya. Pemberian sanksi yang tegas dan transparan kepada para pelaku tanpa pandang bulu harus diterapkan untuk memberikan efek jera. Di saat yang sama, kita harus meninjau ulang regulasi dan kebijakan internal yang berkaitan dengan budaya senioritas. Institusi militer, maupun lingkungan kerja, akademik, dan organisasi, harus menanamkan nilai-nilai empati, saling menghormati, dan anti-kekerasan.
Beberapa Langkah konkret yang dapat diambil yaitu, pertama menerapkan kebijakan zero tolerance yang artinya setiap bentuk kekerasan atau perundungan harus ditindak dengan tegas, tanpa pengecualian. Kedua, melakukan edukasi berkelanjutan seperti mengadakan program edukasi dan pelatihan yang berfokus pada nilai-nilai empati dan etika profesional. Dan yang ketiga, memastikan mekanisme pelaporan yang aman yaitu dengan menyediakan jalur pelaporan yang jelas dan terjamin kerahasiaannya bagi para korban dan saksi agar mereka berani berbicara tanpa rasa takut.
Kita semua memiliki peran dalam mengakhiri siklus kekerasan ini.Kita harus berani berbicara dan melaporkan setiap bentuk perundungan yang kita lihat, tidak hanya untuk melindungi korban, tetapi juga untuk mencegah tragedi serupa terjadi lagi. Ingat, nyawa seseorang jauh lebih berharga daripada “tradisi” yang menyesatkan. Dengan penanganan yang sigap, transparan, dan terukur, kita tidak hanya akan membersihkan institusi dari oknum-oknum pelaku, tetapi juga membangun kembali kepercayaan masyarakat bahwa setiap individu dilindungi dan dihargai, terlepas dari pangkat atau jabatan mereka.Sudah saatnya kita mengubah budaya yang mematikan ini menjadi budaya yang membangun dan mendukung, di mana senioritas dimaknai sebagai bimbingan dan teladan, bukan kekuasaan dan intimidasi.