
Dunia hari ini penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian masa depan. Krisis iklim dan masalah lingkungan telah menjadi dua pembahasan krusial di seluruh dunia saat ini. Pemerintah, pembuat kebijakan (policymakers), dan para pemimpin dunia telah mencoba mencari cara untuk mengatasi kompleksitas tantangan masa depan dunia. Melalui “The 2030 Agenda forSustainable Development”, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkomitmen dalam perdamaian, kesejahteraan dan pembangunan yang berkelanjutan. Tentunya komitmen ini berhubungan dengan 17 agenda dalam SustainableDovelopmentGoals (SDGs) (UN, 2016).
Akan tetapi, tantangan dan ancaman bukan hanya berasal dari dunia fisik (lingkungan) saja. Melainkan keberadaan ArtificialIntelligence (AI) telah menjadi perhatian penuh bagi seluruh stakeholders di dunia. Mengingat AI sudah menjadi atensi terbesar bagi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China (DervisKirikkaleli, 2025). Pada akhirnya, dalam pengembangan AI menimbulkan disrupsi dan inovasi yang berjalan saling berdampingan. Tentu ini layak menjadi perhatian seluruh pihak demi kepentingan global.
Di tengah dorongan komunitas global menuju Pembangunan berkelanjutan, kehadiran AI memunculkan babak baru dalam diskursus kebijakan dan transformasi sosial-ekonomi. Teknologi berbasis kecerdasan buatan kini bukan sekadar alat bantu teknis pekerjaan sehari-hari perusahaan, melainkan telah menjadi aktor penting dalam merancang pembangunan dunia masa depan. Saat ini banyak terdapat pengembangan riset dan pembanguan (R&D) yang menekankan pada hubungan antara AI dengan sustainabledevelopment(C. Gohretall 2025). Interaksi antara AI dengan pembangunan berkelanjutan memiliki peluang dan tantangan yang cukup kompleks. Oleh karena itu, pertanyaan pentingnya adalah; apakah AI akan menjadi sekutu atau musuh bagi agenda di dalam SDGs tersebut?
Potensi AI untuk SDGs
Secara teoritis, merujuk kepada agenda PBB pada tahun 2030, AI menawarkan potensi besar dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam bidang Kesehatan (SDG 3) misalnya, AI telah dimanfaatkan untuk memprediksi penyebaran penyakit, menganalisis data medis dalam skala besar, bahkan memberikan diagnosis awal berbasis citra medis. Di sektor Pendidikan (SDG 4), AI membuka peluang personalisasi pembelajaran yang belum pernah terjadi sebelumnya, menjangkau wilayah terpencil dengan model pengajaran adaptif.
Pada bidang lingkungan (SDG 13), AI digunakan untuk mendeteksi perubahan iklim (climatechange), memantau deforestasi hutan, dan mengoptimalkan energi terbarukan. Bahkan dalam sektor pertanian dan ketahanan pangan (SDG 2), algoritma AI mampu membantu petani kecil menentukan waktu tanam yang optimal berdasarkan prediksi cuaca dan kondisi tanah. Sehingga hal ini akan membantu proses penanaman menjadi lebih efisien.
Lebih jauh lagi, AI berpotensi menjadi instrumen penting dalam dunia riset, khususnya perumusan kebijakan berbasis data (evidencebasedpolicy). Kemampuan pengolahan data besar dalam waktu singkat, AI mampu memberikan proyeksi, simulasi, dan rekomendasi kebijakan yang lebih akurat dan presisi. Fenomena ini sangat krusial bagi negara-negara berkembang yang kerap mengalami kelangkaan data berkualitas dan infrastruktur analisis kebijakan yang lemah. Tidak terkecuali Indonesia sebagai negara berkembang yang masih banyak catatan kritis mengenai infrastruktur digital dan realitas birokrasi.
Tantangan Sekaligus Resiko
Hal penting yang perlu untuk diketahui bahwa AI bukanlah entitas netral. Ia dibentuk, dikendalikan, dan dimanfaatkan oleh manusia dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Inilah yang memunculkan risiko besar terhadap prinsip-prinsip keadilan dan inklusivitas dalam pembangunan. Oleh karena itu, AI lebih banyak menggambarkan kecenderungan pada nuansa penguasaan geopolitik, alih-alih sebuah inovasi teknologi. Bahkan dalam beberapa temuan ilmiah, AI digambarkan sebagai perlombaan senjata (armsrace) (StefkaSchmidetall, 2025). Terdapat beberapa hal yang mesti dipertimbangkan ke depannya;
Pertama, kesenjangan digital dan ketidaksetaraan akses terhadap AI menjadi persoalan krusial. Hanya segelintir negara dan korporasi yang memiliki infrastruktur, data, dan keahlian untuk mengembangkan AI secara mandiri. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, cenderung menjadi pengguna pasif yang bergantung pada teknologi impor. Dalam konteks ini, AI bisa memperdalam ketimpangan global antar negara, sekaligus menciptakan kolonialisme digital baru. Sehingga fenomena ini akan memperparah angka ketergantungan sebuah negara.
Kedua, bias dalam algoritma merupakan ancaman nyata terhadap prinsip keadilan sosial seperti yang termuat pada SDG 10. Mengingat, AI belajar dari data masa lalu, ia berisiko mereproduksi diskriminasi struktural yang sudah ada. Misalnya, dalam sistem penilaian kredit atau rekrutmen kerja, AI dapat memperkuat disparitas dan stereotip gender atau rasial tanpa kita sadari.
Ketiga, persoalan privasi dan tata kelola data menjadi problem etis yang mendesak. Dalam banyak kasus, data masyarakat dikumpulkan dan diolah tanpa persetujuan yang transparan. AI bekerja dalam kerangka data algoritmik, membuat masyarakat sulit mengakses logika dan pertimbangan di balik keputusan algoritmik yang memengaruhi hidup mereka.
Akankah AI Mengancam Demokrasi?
AI juga menyimpan potensi ancaman terhadap demokrasi dan tata kelola inklusif (SDG 16). Di beberapa negara, AI digunakan untuk pengawasan massal, manipulasi opini publik melalui deepfake dan algoritma media sosial, hingga praktik socialscoring seperti di Tiongkok (Sarah Kreps&DougKriner, 2023). Ketika teknologi AI digunakan tanpa batas akuntabilitas publik yang transparan, maka ia bisa menjadi alat baru bagi otoritarianisme digital. Bahkan dalam sebuah publikasi ilmiah di JournalofInformation Technology andPolitics, RafaaChehoudi (2025) menyimpulkan bahwasanya terdapat korelasi negarif antara pembangunan AI dengan masa depan demokrasi. Sehingga hal ini berpotensi terhadap meningkatnya otokratisasi. tentunya ini merupakan bentuk korelasi antara pemanfaatan teknologi untuk kepentingan kekuasaan.
Indonesia sendiri masih berada di tahap awal dalam menyusun tata kelola AI. Mengingat pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyiapkan Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional. Langkah ini sangat baik dan strategis bagi keberlanjutan pembangunan di Indonesia ke depannya. Tetapi dengan syarat pentingnya penerapan dan penekanan terhadap aspek etika dalam regulasinya. Hal penting yang harus dibaca kritis dan rasional mengenai pengembangan AI yaitu; apakah pengembangannya cukup menekankan keadilan sosial, partisipasi publik, dan etika digital, atau hanya sekadar mengejar efisiensi dan daya saing ekonomi semata?
Menuju Tata Kelola AI yang Adil
Supaya AI menjadi alat bantu pembangunan berkelanjutan yang benar-benar inklusif, maka pendekatan yang dibutuhkan bukan hanya teknokratik semata, tetapi juga membutuhkan aspek demokratis dan etis. Pemerintah harus memastikan kerangka regulasi yang kuat dan transparan terkait pengumpulan data, penggunaan algoritma, dan perlindungan hak-hak digital warga negara. Mengingat kesepakatan antara Presiden Prabowo dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menyangkut transfer data pribadi warga Indonesia. Tentunya hal ini menjadi titik tolak dalam memahami pentingnya keamanan data dan ekosistem pengelolaan data.
Lebih penting lagi, masyarakat sipil (civilsociety), akademisi, dan komunitas teknologi harus dilibatkan aktif dalam pembentukan kebijakan AI. Prinsip co-creation dan multi-stakeholdergovernance adalah kunci agar AI tidak di monopoli oleh segelintir elite teknokrat maupun korporasi besar. Merujuk kepada Uni Eropa yang lebih dahulu mengelurkan regulasi untuk memitigasi dampak AI terhadap masa depan demokrasi (JelenaCupac&MitjaSienknecht, 2024). Tentunya ini harus menjadi perhatian serius, terutama bagi pemerintah dan DPR dalam memperhatikan dampak multidimensional dari pemanfaatan dan pengembangan AI.
Di titik inilah, diskursus tentang AI dan pembangunan berkelanjutan tidak boleh hanya berpusat pada efisiensi dan inovasi. Harus ada ruang bagi kritik, partisipasi, dan refleksi yang menekankan pada etika digital. Supaya teknologi ini benar-benar bekerja untuk masa depan kemanusiaan, bukan semata untuk monopoli pasar dan kekuasaan.

