(Ummu Zahra)
Kemiskinan adalah sebuah ungkapan yang sangat menakutkan dan tidak ada seorangpun yang mau mendapatkan gelar itu. Namun, dalam tataran kehidupan sebuah keniscayaan pasti ada orang miskin dan kaya. Sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah SWT berikut ini.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (TQS. Al-Isra : 26).
Di Indonesia sendiri, menurut data dari Badan Pusat Stastik, persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen terhadap September 2024, yaitu menjadi 8,47 persen. Selanjutnya, jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode yang sama, mencapai 23,85 juta orang. Serta pengeluaran rumah tangga dengan jumlah Rp. 609.160 per kapita per bulan atau sekitar Rp. 20.000 perhari, digolongkan sebagai penduduk miskin.
Namun menurut ekonom Eko Listiyanto pada halaman bbc.com (25-07-2025) menyebutkan angka kemiskinan yang menurun secara keseluruhan “tidak menggambarkan peningkatan kesejahteraan”. Lalu benarkah demikian ?
Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan yang rendah masih mengadopsi PPP (Purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000)/hari). Standar ini sudah terlalu lama dan tidak sesuai dengan berbagai harga kebutuhan pokok saat ini. Hal demikian ini menunjukkan adanya manipulasi data untuk menunjukkan progres semu. Sistem Kapitalisme lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan rakyat.
Akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi Kapitalisme. Dimana sistem ini membiarkan si miskin dan si kaya bersaing dalam memasuki dunia pendidikan, pekerjaan dan kesehatan, tak jarang si kaya mendapat akses yang lebih dibandingkan si miskin, sehingga kemiskinan terus melebar di kalangan si miskin dan makin jauh jarak jurang kemiskinan dengan si kaya. Kekayaan menumpuk di segelintir elite, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit.
Negara yang seharusnya mengurus kesejahteraan rakyat, tapi dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, atau Kartu Indonesia Sehat. Program-program ini bagus, namun tanpa didukung dengan penanaman landasan yang kuat terkait Islam, maka bisa menyebabkan ketergantungan bahkan akan menyebabkan kemalasan bagi masyarakat.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanantanpa ada syarat apapun. Individu rakyat akan menerima semua itu dengan cuma-cuma. Sumber daya alam akan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan malah dikomersialkan. Sehingga lapangan kerjapun akan terbuka luas, pendapatan negara yang besar mampu membuka kesempatan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyakat. Inilah yang menyebabkan masa kekhilafahan Islam mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Pemimpin dalam Islam juga tidak mengukur kemiskinan dari angka PPP(Purchasing power parity) 2017 buatan lembaga internasional, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu secara layak, sehingga menjadikan hasil pengukuran yang real. Tidak hanya sampai disitu, solusi yang diberikan juga real, mampu menyelesaikan permasalahan hingga ke akar masalah. Wallahu’alam bish shawwab.