Oleh: Mahrita, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda)
Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa angka pernikahan dini dan stunting di Provinsi Kalimantan Selatan masih tinggi. Hal ini dikemukakan Deputi Pengendalian Penduduk Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga), Bonivasius Prasetya, dalam Rakor Daerah Program Bangga Kencana Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2025 di Gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin.
“Masih tingginya pernikahan usia muda ikut mempengaruhi tingginya angka stunting di Kalsel,” ucap Bonivasius.
Tercatat angka pernikahan anak 15-19 tahun (ASFR) di Kalsel rata-rata mencapai 23,8% dan tertinggi di Kabupaten Tapin mencapai 32,5% dan Barito Kuala 26,7%. Sementara angka stunting di Kalsel pada 2024 sebesar 23,9%. Kabupaten Banjar menempati posisi teratas 32,3%, disusul Kabupaten Hulu Sungai Utara 27,6% dan Kota Banjarmasin 26,5%. Angka pernikahan dini di Kalsel jauh di atas rata-rata nasional 18%, sementara angka stunting nasional 19,8%. Beberapa daerah di Kalsel menjadi sorotan Kemendukbangga karena mengalami peningkatan. (mediaindonesia.com)
Angka stunting di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sangat erat kaitannya dengan perkawinan anak. Kepala Kantor Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel, Ramlan, mengungkapkan bahwa dari data yang ada, tingginya angka stunting di Kalsel bukan disebabkan oleh faktor kemiskinan, tetapi karena akibat maraknya perkawinan anak. “Jika di daerah lain, kemiskinan menjadi penyebab stunting, maka di Kalsel berbeda, karena angka kemiskinan di Kalsel terendah ketiga di Indonesia,” ujar Ramlan. (stunting.go.id)
Sebenarnya, penyebab stunting adalah multifaktor, di antaranya pola asuh, pola makan yang kurang baik, sanitasi yang kurang layak, juga terbatasnya layanan kesehatan. Pada tahun 2022 lalu, dalam webinar “Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia Bersama Megawati Soekarnoputri” di Jakarta, Menteri PPPA menyoroti bahwa rendahnya kualitas pengasuhan sebagai fenomena sosial yang begitu menentukan terjadinya stunting ternyata justru kurang diperhatikan. Menteri PPPA juga mengaitkan rendahnya kualitas pola asuh dengan ketaksiapan menjadi orang tua. Kualitas pengasuhan sering dikaitkan dengan ketaksiapan menjadi orang tua karena perkawinan yang dilakukan pada usia anak.
Maka pernikahan dini dianggap mengakibatkan berbagai hal yang dapat menyebabkan stunting, seperti belum matang secara psikologis, pengetahuan dan pemahaman tentang kehamilan, pola asuh anak yang belum tentu mumpuni dan benar, dan secara fisik organ reproduksinya belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin.
Selain itu, pernikahan dini dianggap belum didukung kemampuan finansial yang mapan yang menentukan asupan gizi yang anak dapatkan. Pernikahan dini juga dianggap sebagai praktik yang dapat mencoreng seluruh hak anak, bentuk tindak kekerasan terhadap anak, serta melanggar hak asasi manusia.
Dalam percaturan global, inilah yang juga dinarasikan sebagai salah satu penyebab stunting sebagaimana ditekankan WHO. Indonesia mengamini hal ini sehingga turut menyerukan pencegahan pernikahan dini untuk mencegah stunting. Oleh karena itu, pencegahan pernikahan dini menjadi satu perhatian besar untuk menurunkan stunting. Dilakukanlah berbagai langkah untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, termasuk pelibatan anak dan remaja.
Memang betul pernikahan dini adalah salah satu penyebab stunting. Dalam data penyebab langsung stunting tahun 2020 yang ditampilkan situs stunting.go.id, terdapat 22,2% wanita hamil di bawah usia 18 tahun; 29,8 % wanita kawin di bawah 18 tahun; dan 16,7 % wanita melahirkan di bawah 18 tahun.
Sedangkan penyebab langsung stunting lainnya jauh lebih besar dengan tiga sebab terbanyak, yakni 79,8% bayi dan anak di bawah dua tahun (baduta) mengonsumsi MPASI buah sayur; 78,6% mengonsumsi MPASI protein hewani; dan 72,5% prolonged ASI (7—24 bulan).
Dari angka ini, jelas bahwa sejatinya persoalan stunting terkait erat dengan kurangnya akses terhadap gizi lengkap dan seimbang. Faktor utama penyebab rendahnya akses terhadap gizi adalah kemiskinan.
Di tahun 2021 lalu, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pun mengakuinya. Menurutnya, kemiskinan merupakan penyebab sebagian besar stunting, yakni ibu dan anak tidak memperoleh gizi cukup. Walhasil, kunci untuk menurunkan stunting adalah penanganan kemiskinan.
Jika kita telaah secara mendalam, faktor utama stunting adalah rendahnya akses terhadap makanan bergizi yang terkait erat dengan faktor kemiskinan—sebagaimana halnya rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk sanitasi dan air bersih.
Kemiskinan juga membuat remaja para calon ibu dan ayah memiliki tingkat kesehatan rendah yang jelas berisiko stunting. Ini karena gizi seorang wanita sebelum hamil terkait erat dengan kesehatan masa hamil.
Demikian pula pernikahan dini saat ini. Selain karena budaya, pernikahan dini sekarang dinilai menjadi salah satu langkah membebaskan diri dari kemiskinan ataupun meningkatkan taraf kehidupan. Hal ini sering terjadi sebagai jalan keluar dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis.
Sebuah studi menggunakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2017 menemukan bahwa status sosioekonomi dan tingkat pendidikan berhubungan secara signifikan dengan pernikahan dini di pedesaan Indonesia. Inilah yang jarang terungkit ke atas permukaan. Justru narasi pernikahan dini sebagai penyebab stunting lebih banyak dikampanyekan.
Hal ini tentu erat dengan narasi global yang mengampanyekan pencegahan pernikahan dini yang dianggap sebagai kondisi yang merugikan anak. Ini berpijak pada nilai yang diusung global, seperti anggapan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dan perampasan hak anak.
Pernikahan dini, juga menjadi salah satu area kritis yang ditetapkan BPfA yang ingin dihapuskan untuk mewujudkan hak kebebasan anak perempuan, termasuk hak seksual dan reproduksi, serta membebaskan anak dari kekerasan.
Dengan cara pandang Barat, pernikahan dini (pernikahan anak) dianggap merampas hak anak. Narasi ini jelas menafikan berbagai kondisi buruk yang sejatinya menjadi akar masalah terjadinya pernikahan dini—yang berakar dari penerapan kapitalisme, termasuk adanya liberalisasi pergaulan.
Hal ini tampak beberapa tahun lalu terdapat tingginya angka dispensasi pernikahan usia dini akibat kehamilan di luar nikah. Di berbagai kota di Indonesia, fenomena menikah karena telanjur hamil cukup tinggi, misalnya di Ponorogo (mencapai 65%) dan Madiun (31% karena hamil duluan dan 21% berisiko melanggar norma-norma agama) (Data 1/7/2021).
Bahkan, di DIY terdapat 700 dispensasi kawin yang dikabulkan pengadilan agama sepanjang 2020, 80% disebabkan kehamilan di luar nikah. Semua ini bukti bahwa akar masalah stunting adalah kemiskinan yang berdampak pada berbagai faktor lainnya.
Oleh karenanya, langkah strategis memberantas stunting harus fokus pada pengentasan kemiskinan, bukan sekadar pemberian makanan tambahan, apalagi pencegahan pernikahan dini (pernikahan anak). Ada banyak hal yang saling terkait dan membentuk jaringan kompleks sebagai penyebab stunting.
Kemiskinan ini pula penyebab terbesar perampasan hak anak. Lantas, mengapa bukannya memprioritaskan pengentasan kemiskinan? Seharusnya lagi, sistem ekonomi kapitalisme-lah yang digugat sebagai penyebab stunting karena secara nyata mengakibatkan rakyat miskin dan hidup menderita, serta berpengaruh terhadap peningkatan jumlah stunting. Laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan seperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategis memperburuk kondisi ini. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan seharusnya menjadi langkah utama untuk mencegah dan memberantas stunting di Indonesia.
Islamlah satu-satunya harapan untuk memberantas stunting. Dalam Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Khalifah sebagai kepala negara akan memperhatikan kualitas generasi karena merekalah yang akan membangun peradaban masa mendatang.
Salah satu prinsip fundamental dalam sistem ekonomi Islam adalah keadilan (al-‘adl). Keadilan dalam Islam bukan hanya bersifat moral, melainkan merupakan pilar dalam setiap aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan ekonomi, mekanisme distribusi kekayaan menjadi pusat perhatian. Islam menolak sistem yang membuat harta beredar hanya di sekelompok orang kaya (QS Al-Hasyr [59]:7). Islam menekankan pentingnya sirkulasi kekayaan secara merata dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, pemerataan kekayaan di tengah masyarakat membutuhkan peran negara. Dalam Islam, negara bukanlah aktor pasif atau sekadar regulator seperti dalam sistem kapitalisme. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu (pangan, sandang, dan papan, juga pendidikan dan kesehatan). Hal ini ditegaskan oleh Al-Maliki dalam kitabnya, Politik Ekonomi Islam (2001). Beliau menyebutkan bahwa Negara dalam sistem Islam wajib mengelola sumber daya publik demi kesejahteraan rakyat dan mencegah pemusatan kekayaan di tangan segelintir individu atau korporasi.
Karena itu, Al-Maliki (2001) menegaskan bahwa negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator aktif dalam pembangunan sektor-sektor strategis, seperti pertanian, perdagangan, dan industri. Keterlibatan negara dalam sektor-sektor ini menjadi sangat penting.
Dalam hal mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki sejumlah mekanisme. Di antaranya, pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Al-Qur’an menyatakan, “Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dalam sistem Islam, sumber daya alam (SDA), seperti minyak, gas, tambang, dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. SDA haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi SDA.
Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis, seperti minyak, gas, air, dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi, serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.
Kedua, dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak, dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah masyarakat.
Ketiga, dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah. Ini karena Al-Qur’an memerintahkan, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS Ath-Thalaq [65]: 7).
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini memerintahkan individu untuk memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kapasitasnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 10/45–48).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang mencari dunia (harta) dengan cara yang halal karena menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan untuk membantu tetangganya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama.” (HR Al-Baihaqi).
Di sisi lain, agar setiap orang yang wajib bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya melalui kebijakan ekonomi berorientasi sektor riil, seperti perdagangan, pertanian, dan industri.
Keempat, jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (imam/khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR An-Nasa’i).
Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariat Islam secara kâfah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.
Dengan sistem ekonomi Islam, negara akan mengatur kepemilikan negara dan mewajibkan pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Negara akan memiliki sumber pendapatan yang besar sehingga mampu menjamin rakyat individu per individu mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dan terhindar dari kemiskinan. Dengan dukungan berbagai sistem Islam lainnya, negara mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan sesuai dengan gizi seimbang secara berkualitas untuk semua rakyatnya.
Melalui pengurusan pemimpin atau Khalifah dan pejabat yang adil dan amanah, lahirlah generasi bebas stunting dan hidup sejahtera; tumbuh kembang akan optimal, sehat, cerdas, kuat, produktif; serta tentu saja beriman dan bertakwa.
Stunting, Antara Pernikahan Dini dan Kemiskinan Maka Bagaimana Islam Menyelesaikan?
Oleh: Mahrita, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda)
Beberapa waktu lalu diberitakan bahwa angka pernikahan dini dan stunting di Provinsi Kalimantan Selatan masih tinggi. Hal ini dikemukakan Deputi Pengendalian Penduduk Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga), Bonivasius Prasetya, dalam Rakor Daerah Program Bangga Kencana Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2025 di Gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin.
“Masih tingginya pernikahan usia muda ikut mempengaruhi tingginya angka stunting di Kalsel,” ucap Bonivasius.
Tercatat angka pernikahan anak 15-19 tahun (ASFR) di Kalsel rata-rata mencapai 23,8% dan tertinggi di Kabupaten Tapin mencapai 32,5% dan Barito Kuala 26,7%. Sementara angka stunting di Kalsel pada 2024 sebesar 23,9%. Kabupaten Banjar menempati posisi teratas 32,3%, disusul Kabupaten Hulu Sungai Utara 27,6% dan Kota Banjarmasin 26,5%. Angka pernikahan dini di Kalsel jauh di atas rata-rata nasional 18%, sementara angka stunting nasional 19,8%. Beberapa daerah di Kalsel menjadi sorotan Kemendukbangga karena mengalami peningkatan. (mediaindonesia.com)
Angka stunting di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sangat erat kaitannya dengan perkawinan anak. Kepala Kantor Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalsel, Ramlan, mengungkapkan bahwa dari data yang ada, tingginya angka stunting di Kalsel bukan disebabkan oleh faktor kemiskinan, tetapi karena akibat maraknya perkawinan anak. “Jika di daerah lain, kemiskinan menjadi penyebab stunting, maka di Kalsel berbeda, karena angka kemiskinan di Kalsel terendah ketiga di Indonesia,” ujar Ramlan. (stunting.go.id)
Sebenarnya, penyebab stunting adalah multifaktor, di antaranya pola asuh, pola makan yang kurang baik, sanitasi yang kurang layak, juga terbatasnya layanan kesehatan. Pada tahun 2022 lalu, dalam webinar “Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia Bersama Megawati Soekarnoputri” di Jakarta, Menteri PPPA menyoroti bahwa rendahnya kualitas pengasuhan sebagai fenomena sosial yang begitu menentukan terjadinya stunting ternyata justru kurang diperhatikan. Menteri PPPA juga mengaitkan rendahnya kualitas pola asuh dengan ketaksiapan menjadi orang tua. Kualitas pengasuhan sering dikaitkan dengan ketaksiapan menjadi orang tua karena perkawinan yang dilakukan pada usia anak.
Maka pernikahan dini dianggap mengakibatkan berbagai hal yang dapat menyebabkan stunting, seperti belum matang secara psikologis, pengetahuan dan pemahaman tentang kehamilan, pola asuh anak yang belum tentu mumpuni dan benar, dan secara fisik organ reproduksinya belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin.
Selain itu, pernikahan dini dianggap belum didukung kemampuan finansial yang mapan yang menentukan asupan gizi yang anak dapatkan. Pernikahan dini juga dianggap sebagai praktik yang dapat mencoreng seluruh hak anak, bentuk tindak kekerasan terhadap anak, serta melanggar hak asasi manusia.
Dalam percaturan global, inilah yang juga dinarasikan sebagai salah satu penyebab stunting sebagaimana ditekankan WHO. Indonesia mengamini hal ini sehingga turut menyerukan pencegahan pernikahan dini untuk mencegah stunting. Oleh karena itu, pencegahan pernikahan dini menjadi satu perhatian besar untuk menurunkan stunting. Dilakukanlah berbagai langkah untuk mencegah terjadinya pernikahan dini, termasuk pelibatan anak dan remaja.
Memang betul pernikahan dini adalah salah satu penyebab stunting. Dalam data penyebab langsung stunting tahun 2020 yang ditampilkan situs stunting.go.id, terdapat 22,2% wanita hamil di bawah usia 18 tahun; 29,8 % wanita kawin di bawah 18 tahun; dan 16,7 % wanita melahirkan di bawah 18 tahun.
Sedangkan penyebab langsung stunting lainnya jauh lebih besar dengan tiga sebab terbanyak, yakni 79,8% bayi dan anak di bawah dua tahun (baduta) mengonsumsi MPASI buah sayur; 78,6% mengonsumsi MPASI protein hewani; dan 72,5% prolonged ASI (7—24 bulan).
Dari angka ini, jelas bahwa sejatinya persoalan stunting terkait erat dengan kurangnya akses terhadap gizi lengkap dan seimbang. Faktor utama penyebab rendahnya akses terhadap gizi adalah kemiskinan.
Di tahun 2021 lalu, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pun mengakuinya. Menurutnya, kemiskinan merupakan penyebab sebagian besar stunting, yakni ibu dan anak tidak memperoleh gizi cukup. Walhasil, kunci untuk menurunkan stunting adalah penanganan kemiskinan.
Jika kita telaah secara mendalam, faktor utama stunting adalah rendahnya akses terhadap makanan bergizi yang terkait erat dengan faktor kemiskinan—sebagaimana halnya rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk sanitasi dan air bersih.
Kemiskinan juga membuat remaja para calon ibu dan ayah memiliki tingkat kesehatan rendah yang jelas berisiko stunting. Ini karena gizi seorang wanita sebelum hamil terkait erat dengan kesehatan masa hamil.
Demikian pula pernikahan dini saat ini. Selain karena budaya, pernikahan dini sekarang dinilai menjadi salah satu langkah membebaskan diri dari kemiskinan ataupun meningkatkan taraf kehidupan. Hal ini sering terjadi sebagai jalan keluar dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis.
Sebuah studi menggunakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2017 menemukan bahwa status sosioekonomi dan tingkat pendidikan berhubungan secara signifikan dengan pernikahan dini di pedesaan Indonesia. Inilah yang jarang terungkit ke atas permukaan. Justru narasi pernikahan dini sebagai penyebab stunting lebih banyak dikampanyekan.
Hal ini tentu erat dengan narasi global yang mengampanyekan pencegahan pernikahan dini yang dianggap sebagai kondisi yang merugikan anak. Ini berpijak pada nilai yang diusung global, seperti anggapan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dan perampasan hak anak.
Pernikahan dini, juga menjadi salah satu area kritis yang ditetapkan BPfA yang ingin dihapuskan untuk mewujudkan hak kebebasan anak perempuan, termasuk hak seksual dan reproduksi, serta membebaskan anak dari kekerasan.
Dengan cara pandang Barat, pernikahan dini (pernikahan anak) dianggap merampas hak anak. Narasi ini jelas menafikan berbagai kondisi buruk yang sejatinya menjadi akar masalah terjadinya pernikahan dini—yang berakar dari penerapan kapitalisme, termasuk adanya liberalisasi pergaulan.
Hal ini tampak beberapa tahun lalu terdapat tingginya angka dispensasi pernikahan usia dini akibat kehamilan di luar nikah. Di berbagai kota di Indonesia, fenomena menikah karena telanjur hamil cukup tinggi, misalnya di Ponorogo (mencapai 65%) dan Madiun (31% karena hamil duluan dan 21% berisiko melanggar norma-norma agama) (Data 1/7/2021).
Bahkan, di DIY terdapat 700 dispensasi kawin yang dikabulkan pengadilan agama sepanjang 2020, 80% disebabkan kehamilan di luar nikah. Semua ini bukti bahwa akar masalah stunting adalah kemiskinan yang berdampak pada berbagai faktor lainnya.
Oleh karenanya, langkah strategis memberantas stunting harus fokus pada pengentasan kemiskinan, bukan sekadar pemberian makanan tambahan, apalagi pencegahan pernikahan dini (pernikahan anak). Ada banyak hal yang saling terkait dan membentuk jaringan kompleks sebagai penyebab stunting.
Kemiskinan ini pula penyebab terbesar perampasan hak anak. Lantas, mengapa bukannya memprioritaskan pengentasan kemiskinan? Seharusnya lagi, sistem ekonomi kapitalisme-lah yang digugat sebagai penyebab stunting karena secara nyata mengakibatkan rakyat miskin dan hidup menderita, serta berpengaruh terhadap peningkatan jumlah stunting. Laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebutkan, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan seperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategis memperburuk kondisi ini. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan seharusnya menjadi langkah utama untuk mencegah dan memberantas stunting di Indonesia.
Islamlah satu-satunya harapan untuk memberantas stunting. Dalam Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan setiap individu rakyat, termasuk anak-anak. Khalifah sebagai kepala negara akan memperhatikan kualitas generasi karena merekalah yang akan membangun peradaban masa mendatang.
Salah satu prinsip fundamental dalam sistem ekonomi Islam adalah keadilan (al-‘adl). Keadilan dalam Islam bukan hanya bersifat moral, melainkan merupakan pilar dalam setiap aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, untuk menciptakan keadilan ekonomi, mekanisme distribusi kekayaan menjadi pusat perhatian. Islam menolak sistem yang membuat harta beredar hanya di sekelompok orang kaya (QS Al-Hasyr [59]:7). Islam menekankan pentingnya sirkulasi kekayaan secara merata dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, pemerataan kekayaan di tengah masyarakat membutuhkan peran negara. Dalam Islam, negara bukanlah aktor pasif atau sekadar regulator seperti dalam sistem kapitalisme. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu (pangan, sandang, dan papan, juga pendidikan dan kesehatan). Hal ini ditegaskan oleh Al-Maliki dalam kitabnya, Politik Ekonomi Islam (2001). Beliau menyebutkan bahwa Negara dalam sistem Islam wajib mengelola sumber daya publik demi kesejahteraan rakyat dan mencegah pemusatan kekayaan di tangan segelintir individu atau korporasi.
Karena itu, Al-Maliki (2001) menegaskan bahwa negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator aktif dalam pembangunan sektor-sektor strategis, seperti pertanian, perdagangan, dan industri. Keterlibatan negara dalam sektor-sektor ini menjadi sangat penting.
Dalam hal mengentaskan kemiskinan, Islam memiliki sejumlah mekanisme. Di antaranya, pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Al-Qur’an menyatakan, “Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dalam sistem Islam, sumber daya alam (SDA), seperti minyak, gas, tambang, dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. SDA haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi SDA.
Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis, seperti minyak, gas, air, dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi, serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.
Kedua, dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak, dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah masyarakat.
Ketiga, dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah. Ini karena Al-Qur’an memerintahkan, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS Ath-Thalaq [65]: 7).
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat ini memerintahkan individu untuk memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kapasitasnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 10/45–48).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang mencari dunia (harta) dengan cara yang halal karena menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan untuk membantu tetangganya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama.” (HR Al-Baihaqi).
Di sisi lain, agar setiap orang yang wajib bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya melalui kebijakan ekonomi berorientasi sektor riil, seperti perdagangan, pertanian, dan industri.
Keempat, jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang, dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (imam/khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR An-Nasa’i).
Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariat Islam secara kâfah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.
Dengan sistem ekonomi Islam, negara akan mengatur kepemilikan negara dan mewajibkan pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Negara akan memiliki sumber pendapatan yang besar sehingga mampu menjamin rakyat individu per individu mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dan terhindar dari kemiskinan. Dengan dukungan berbagai sistem Islam lainnya, negara mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan sesuai dengan gizi seimbang secara berkualitas untuk semua rakyatnya.
Melalui pengurusan pemimpin atau Khalifah dan pejabat yang adil dan amanah, lahirlah generasi bebas stunting dan hidup sejahtera; tumbuh kembang akan optimal, sehat, cerdas, kuat, produktif; serta tentu saja beriman dan bertakwa.