
Sejarah ditulis oleh para pemenang. Begitulahkalimattersebutdiungkapkan oleh Whinston Churchillseorang Mantan Perdana Menteri Britania Raya. Sebagai bentuk reflektif terkait kondisi politik dan ekonomi global saat ini, perhatian sebaiknya melihat dari sisi sejarah. Francis Fukuyama dalambukumonumentalnya yang berjudulThe End of History and Last Man (1992) denganberanimengatakanbahwaakhirsejarahmanusiaterahterjadi. Pasca Perang Dingin yang ditandaikemenangandemokrasi liberal (Amerika Serikat dan Sekutu) sertaberakhirnyarezimtotaliter Uni Soviet. Argumen Fukuyama bukanberartidapatditerimabegitusaja. Akan tetapi, juga mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan politik, terutama yang berfokus kepada demokrasi dan transformasi rezim. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan kualitas demokrasi global pada abad ke-21. Fenomena ini sering disebut sebagai regresi demokrasi. Ada juga istilah terkenal yang dijelaskan oleh Nancy Barmeo sebagai democraticbacksliding(Barmeo, 2016).
Kemunduran demokrasi yang terjadi pada abad ke-21 memiliki keunikan tersendiri. Terjadinya kemunduran tersebut bukan disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh militer melalui kudeta. Melainkan dari kecurangan terhadap pemilihan umum, pembesaran kekuasaan eksekutif (exsecutiveheavy) dan pembuatan undang-undang secara sepihak. Pembuatan kebijakan dan undang-undang yang menguntungkan penguasa dan parlemen ini sering disebut sebagai fenomena autocraticlegalism. Autocraticlegalism ini ditandai dengan pembuatan undang-undang tanpa melalui partisipasi yang bermakna dari seluruh stakeholders. Sehingga undang-undang atau kebijakan yang dikeluarkan sering kali hanya memihak untuk kepentingan penguasa (Scheppele, 2018).
Laporan tahunan V-DemInstitute dalam DemocracyReport 2025 mengatakan bahwa sejak awal abad ke-21 sampai saat ini demokrasi global sedang mengalami kemunduran. Kemunduran demokrasi ini ditandai dengan fenomena tingkat rata-rata demokrasi liberal menurun. Seperti kebebasan berpendapat yang mengalami penurunan secara signifikan, bahkan hampir seperempat dari semua negara di dunia. Sebanyak 45 negara sedang mengalami otokratisasi dan sebaliknya hanya 19 negara yang mengalami demokratisasi. Kondisi demokrasi global saat ini serupa pada tahun 1985 (Marina Nordetall, 2025). Meningkatnya misinformasi dan disinformasi telah mengakibatkan terjadinya polarisasi politik yang banyak dirasakan negara-negara di dunia. Terutama sejak meningkatnya pengaruh kekuatan politik kanan di dunia saat ini. Terlebih pengaruh terpilihnya kembali Donald Trumpke tumpuk kekuasaan presiden Amerika Serikat (AS) menjadi pukulan keras bagi masa depan demokrasi global.
Terpilihnya kembali Trump sebagai presiden ke-47 AS juga berdampak kepada meningkatnya populisme dalam politik global saat ini. Fenomena populisme dalam demokrasi juga menjadi tantangan negara-negara di dunia. Populisme sebagai sebuah istilah dalam ilmu politik menjadi populer saat Trumpmenjadi presiden AS pada periode pertama (2016-2020). Populisme dapat diartikan sebagai gerakan politik anti-kemapanan yang sering mengkonfrontasi antara rakyat versus elite (Ruth-Lovell&Wiesehomeier, 2025). Meningkatnya populisme ini juga diperparah oleh keberadaan kelompok politik kanan. Istilah goright telah menjamur sejak terpilihnya Trump. Sehingga slogan seperti America First dan Make America Great Again (MAGA) yang menjadi ciri khas Trump telah meningkatkan gerakan politik kanan dalam politik global saat ini. Perpaduan antara populisme dan bangkitnya kelompok gorightberdampak kepada tatanan dunia, terutama meningkatnya pemikiran isolasionisme ala Trump.
FrancisFukuyama dalam sebuah artikel terbarunya di JournalofDemocracymulai memahami adanya perubahan dan pergeseran kekuatan politik global. Terjadinya pelemahan demokrasi dan munculnya negara-negara otoriter yang berkinerja tinggi telah memantik Fukuyama untuk merefleksikan kembali tesisnya tersebut. Keberadaan China, Rusia, Iran dan India sedang mengalami peningkatan dalam hal ekonomi, terutama kemampuan negara-negara tersebut dalam membangun infrastruktur. Kelambanan lembaga-lembaga demokrasi dalam mengatasi tantangan global saat ini menjadi penyebab beberapa rezim melirik alternatif yang bersifat otoriter (Fukuyamaetall, 2025). Keberadaan institusi demokrasi seperti lembaga negara seperti lembaga eksekutif, legislatif dan bahkan eksekutif justru menjadi aktor yang banyak mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi. Seperti yang baru-baru ini ditemui di negara-negara Amerika latin mengenai pengaruh legislatif yang begitu menonjol (Sosa-Villagarciaetall, 2025).
Pada tahun 2024 menjadi tahun pemilu dunia yang paling banyak. Sebanyak 60 negara menyelenggarakan pemilu untuk memilih pemimpin negara dan anggota parlemen. Akan tetapi, tahun 2024 juga menjadi tahun yang ditandai dengan penurunan kualitas demokrasi yang mendalam. Tidak salah bahwa dalam laporan tahunan EconomistIntelligence Unit (EIU) dalam DemocracyIndeks 2024 berjudul What’sWrongwithRepresentativeDemocracy?. Skor rata-rata turun menjadi 5,17, terendah sejak indeks dimulai pada tahun 2006, turun dari 5,23 pada tahun 2023. Sekitar 45% warga dunia hidup dalam demokrasi, 39% dalam otokrasi dan 15% lagi hidup dalam rezim hibrida.
Sehubungan dengan fenomena kemunduran demokrasi di atas terdapat temuan terbaru mengenai kondisi politik global saat ini. Kemunduran demokrasi dan bangkitnya negara-negara non-demokratis (otoriter) menandakan adanya gelombang arus balik sejarah. Gelombang demokratisasi ketiga (thirdwave) pada tahun 1974-1991 ditandai dengan kemenangan negara-negara demokratis yang dikomandoi oleh AS. Tumbangnya negara-negara otoriter yang berhaluan komunis dan kanan menjadi pertanda berakhirnya Perang Dingin. Akan tetapi, melihat situasi global saat ini dengan meningkatnya pengaruh China, Rusia, India dan Iran menandakan terjadi gelombang arus balik sejarah. Kekuatan global yang pernah ditumbangkan oleh AS dan Sekutu ketika itu perlahan memanfaatkan momentum. Sehingga argumen Dan Slater dalam JournalofDemocracyberjudul The AuthoritarianOriginsoftheThirdWave (2025) menemukan adanya pembalikan sejarah. Hegemoni politik global saat ini tidak hanya menjadi domain dari AS sebagai negara super power. Melainkan juga bangkitnya negara-negara yang cenderung otoriter seperti China, Rusia, Iran dan India. Sehingga dengan banyaknya kehadiran negara-negara yang berhasil bangkit dari keterpurukan tersebut akan menimbulkan sebuah multipolarisme dalam politik global.
Seharusnya fenomena saat ini sudah menjadi perhatian semua stakeholdersterutama elite politik sejak lama. Sesuai dengan laporan yang dibuat oleh The US National IntelligenceCouncil berjudul Global Trends 2025: A Transformed World sudah memprediksi kondisi dunia sejak 2008. Transformasi perubahan kekuatan politik global melalui geopolitik dan geoekonomi yang mengarah kepada multipolarisme. Tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Untuk itu sudah sepatutnya seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia sebagai negara berkembang harus ikut terlibat dalam percaturan politik global. Sehingga tidak terpengaruh atau menjadi tertinggal dari negara-negara yang sedang bersaing untuk mendapatkan hegemoni. Hanya saja perubahan landscapepolitik global yang berwujud gelombang arus balik sejarah ini mengarah kepada koreksi atas tatanan dunia atau hanya sekedar pertukaran hegemoni.