OLEH : Addini Rahmah S.Sos (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu menjadi momok menakutkan bagi para pekerja, terutama ketika terjadi secara massal dan mendadak. Di tengah tekanan hidup yang semakin berat, kehilangan pekerjaan bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga mengguncang stabilitas keluarga dan masyarakat. Kalimantan Selatan kini sedang menghadapi gelombang PHK yang sangat memprihatinkan. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat, sebagian besar berasal dari sektor tambang batu bara yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Provinsi Kalimantan Selatan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat pertambangan terbesar di Indonesia kini mencatat angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengkhawatirkan. Dimana angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Kalimantan Selatan cukup tinggi selama enam bulan kebelakang. Tercatat 181 kasus PHK hingga tahun 2025. Ini menyebabkan Kalsel menjadi provinsi tertinggi kedua di Indonesia soal jumlah PHK. Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan, angka PHK di Kalsel telah menyentuh 1.008 kasus (bakabar.com 30/07/2025) Jumlah ini menjadikan Kalsel sebagai wilayah dengan PHK tertinggi kedua di luar Pulau Jawa, sekaligus menempatkannya di peringkat ke-10 nasional. (wartabanjar.com 23/07/2025)
Pekerja yang terdampak PKH sebagian besar berasal dari sektor pertambangan. Penyebabnya adalah penutupan proyek karena sudah selesai, hingga habis kontrak kerja.Hal ini tidak bisa dihindari, karena pekerjaan pertambangan berbasis proyek dan bergantung kepada ketersediaan potensi alam. Ketika potensi tambang habis, kontrak kerja pun tidak bisa diperpanjang serta efisiensi biaya oleh perusahaankarena turunnya harga komoditas tambang di pasar global.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik atau dinamika pasar biasa. Ia adalah cerminan dari rapuhnya sistem ekonomi yang diterapkan hari ini. Sistem kapitalisme yang menjadikan manusia sekadar angka dalam laporan keuangan dan mengorbankan kesejahteraan rakyat demi keuntungan segelintir elit pemilik modal.
Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan saat ini tidak bisa dilepaskan dari karakter dasar sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, perusahaan berdiri dengan tujuan utama memaksimalkan keuntungan bagi pemilik modal. Akibatnya, tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas maka akan dihargai hanya selama mereka mampu menghasilkan keuntungan.
Begitu keuntungan perusahaan terancam, atau proyek sudah selesai, PHK menjadi pilihan “rasional” bagi pemilik modal. Ini sah secara hukum dalam sistem kapitalisme. Negara pun hanya bertindak sebagaifasilitator investasi, bukan pelindung rakyat. Pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk melarang PHK secara sepihak selama sesuai dengan aturan pasar.
Yang lebih tragis, struktur ekonomi di Kalsel sangat bergantung pada proyek-proyek jangka pendekseperti tambang dan infrastruktur. Ketika proyek selesai, pekerja langsung kehilangan pekerjaan tanpa adanya jaminan keberlanjutan. Ini menandakan ketiadaan industri riil dan berkelanjutan yang mampu menyerap tenaga kerja secara tetap.
Sistem kapitalisme juga telah menciptakan ketimpangan distribusi kekayaan, di mana segelintir elit pemodal mendapatkan porsi keuntungan yang besar, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi roda produksi yang sewaktu-waktu bisa dibuang. Negara pun tidak benar-benar hadir sebagai pelindung, karena takut dianggap “anti-pasar” jika terlalu banyak mengintervensi.
Berbeda dengan kapitalisme yang memprioritaskan korporasi, Islam memprioritaskan rakyatdan memandang bahwa pekerjaan adalah bagian dari kebutuhan pokok, dan menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin setiap rakyat memiliki akses terhadap pekerjaan dan penghasilan.
Melalui sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, negara menjalankan peran sebagai ra’in (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator atau pelayan investor. tetapi bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya lapangan kerja yang halal dan produktif bagi seluruh warga. Melarang PHK sewenang-wenang. Jika perusahaan benar-benar mengalami kesulitan hingga tidak dapat mempertahankan pekerja, maka negara wajib memastikan bahwa pekerja tersebut tetap diberikan nafkah sampai ia mendapatkan pekerjaan baru. Dengan membangun struktur ekonomi berbasis sektor riil, seperti pertanian, peternakan, industri manufaktur, dan jasa produktif yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan secara berkelanjutan. Juga mendistribusikan kekayaan secara adil, sehingga hasil kekayaan tidak terkonsentrasi pada segelintir elit, tetapi menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan mengatur kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, agar tidak dikuasai oleh swasta atau korporasi, melainkan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.
Dengan sistem seperti ini, maka rakyat tidak akan diperlakukan sebagai korban dari permainan pasar. Dimana pekerja tidak akan kehilangan penghidupan hanya karena kontrak selesai atau harga global menurun. Negara akan hadir, bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai pelindung, penjamin, dan penopang hidup rakyatnya.
Kasus PHK massal di Kalimantan Selatan hanyalah satu contoh dari banyaknya penderitaan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme. Ini menegaskan bahwa sistem ini tidak dibangun untuk melindungi rakyat, tetapi untuk melayani kepentingan pasar dan pemilik modal. Sementara itu, rakyat hanya menjadi angka statistik yang mudah dihapus, dipindahkan, atau diabaikan.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan hakiki tidak akan pernah lahir dari kapitalisme. Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi sebuah sistem hidup yang sempurna, yang memiliki solusi untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan ketenagakerjaan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.Dengan kembali kepada sistem Islam secara kaffah, yakni melalui penerapan Khilafah, umat akan memiliki negara yang benar-benar berpihak kepada mereka, yang akan mengatur urusan mereka dengan syariat, dan menjamin kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat. Wallahu’alam biss shawab