
Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, bonus demografi menjanjikan, dan posisi geopolitik strategis. Namun, ironisnya, Sebagian besar rakyatnya masih berkutat dalam kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakanganstruktural. Mulai dari sisi ekonomi, sosial budaya, sumber daya, dan bahkan pendidikan. Kondisi ini yang disebut oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai “Paradoks Indonesia”, yaitu sebuah anomali sosial-ekonomi yang menjadi pokok dari persoalan bangsa selama puluhan tahun.
Melalui bukunya yang berjudul Paradoks Indonesia (2017), Prabowo menyampaikan narasi keras bahwa bangsa ini sedang dalam situasi darurat. Kekayaan nasional bocor keluar negeri, struktur ekonomi yang dikuasi segelintir elite, dan kebijakan pembangunan yang sering kali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat luas. Melihat dari substansinya, buku tersebut bukan sekadar refleksi, tapi juga semacam manifesto ekonomi nasionalis yang kini menjadi relevan saat Prabowo memimpin Indonesia.
Paradoks dalam Angka
Prabowo memulaikritiknyadengan data yang mencemaskan.Iamenyebutbahwasekitar 10% warga Indonesia menguasailebihdari 60% asset nasional. Setiaptahun, triliunan rupiah bocor keluar negeri dalambentukcapital flight. Belakanganisuketimpanganekonomi dan penguasaanaset oleh segelintir elite (oligarki) juga di singgung Prabowo dalam acara St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia,Sabtu (21/6/2025). Dihadapan Presiden Rusia Vladimir Putin, Prabowo menjelaskan mengenai penyebab kemiskinan struktural di Indonesia. Kesenjangan sosial ekonomi rakyat yang kontras dengan kekayaan sumber daya alam menjadi perhatian utama Prabowo disetiap pidatonya. Tidak lupa pula Prabowo selalu melancarkan kritikan terhadap sistem kapitalisme barat yang semakin memperdalam kesenjangan tersebut.
Paradoks yang dimaksud bukan hanya soal angka, tetapi soal struktur; siapa yang mengendalikan sumber daya, siapa yang menentukan arah pembangunan, dan siapa yang akhirnya diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi. Dalam struktur seperti ini, demokrasi bisa berjalan secara prosedural, namun gagal menjamin keadilan distributif. Kondisi demikian yang menjadi sorotan Prabowo dalam melihat aspek paradoks dari demokrasi di Indonesia.
Prabowo dan Visi Ekonomi Nasionalis
Disinilah posisi menarik dari Prabowo sendiri. Berbeda dari presiden sebelumnya yang lebih pragmatis atau tenokratik, Prabowo menawarkan semacam jalan ketiga (alternatif). Sebuah sintesis antara model pembangunan negara-negara Asia Timur yang kuat (seperti China dan Korea Selatan) dengan spirit ekonomi Pancasila yang berpihak pada rakyat. Di sini Prabowo mencoba melihat alternatif antara model kapitalisme barat dengan sosialisme. Sehingga upaya ini menjadi sebuah langkah transformatif dengan mengangkat model khas ala bangsa Indonesia.
Ia mendorong kebijakan ekonomi kerakyatan, swasembada energi dan pangan, hilirisasi industri strategis (seperti nikel dan baterai listrik), serta peran sentral negara dalam sektor-sektor kunci (fundamental). Hal initerlihatjelasdalam program unggulannyayaitu Asta Cita. Visi inisejatinyaadalah antithesis terhadapliberalismeekonomi yang terlalumembukaruangbagidominasi pasar bebas dan investor asing. Hal tersebutdapatdilihatdarifenomena global sepertiisuartificial intelligence (tech oligarchy), krisisiklim, tarif yang diberlakukanPresiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan eskalasikonflik Israel dengan Iran. Termasuk juga keberadaanPerserikatanBangsa-Bangsa (PBB) yang tampaknyatidakmemilikitaji di depan negara pemilikhak veto.
Namun, tantangannya jugadatangdarirealitaspolitikitusendiri. Untuk dapat mewujudkan gagasan besar seperti itu, Prabowo harus berhadapan dengan struktur oligarki yang telah bercokol lama dalam sistem demokrasi kita. Seperti yang dijelaskan oleh Vedi R. Hadiz dalam opininya di halaman ini Kompas.id (24/06/2025). Apakah Prabowo mampu menjadi pemimpin yang transformatif, atau justru terseret dalam arus kompromi kekuasaan?
Potensi dan Ujian Kepemimpinan
Probowo punya modal penting. Keberanian, kapasitas nasionalisme, serta pengalaman dalam berbagai posisi strategis, termasuk menteri pertahanan. Namun, modal tersebut harus diuji dalam praktik pemerintahannya. Bagaimana ia membentuk kabinet, siapa yang mengelilinginya, dan bagaimana ia merumuskan kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Seperti halnya pro-kontra kebijakan makan bergizi gratis, koperasi merah putih, Danantara, dan pembangunan 3 juta rumah.
Jika Prabowo konsisten pada visi dalam Paradoks Indonesia, maka masa pemerintahannya bisa menjadi momentum reorientasi besar arah Pembangunan nasional. Sebelumnya dari sekadar mengejar pertumbuhan, menjadi mewujudkan kedaulatan ekonomi. Sehingga target pertumbuhan ekonomi 8% tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.
Pun sebaliknya, jika kekuasaan hanya menjadi ajang rekonsiliasi para elite tanpa reformasi struktural, maka paradoks yang dimaksud tidak akan hilang. Ia hanya akan berganti wajah. Tampak canggih secara teknologi, namun tetap timpang secara sosial-ekonomi.
Harapan untuk Indonesia Baru
Kini, Sejarah memberikan panggung terbesar bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa kritik yang ia sampaikan selama ini bukan hanya sekadar retorita semata, melainkan cetak biru realisasi perubahan. Di tangan pemimpin yang benar-nenar berpihak, istilah paradoks Indonesia bukanlah takdir. Namun, ia adalah tantangan yang bisa diurai dengan visi, keberanian, dan komitmen yang jelas terhadap rakyat. Seperti halnya yang dilakukan bapak reformasi China Deng Xiaoping. Belakangan Prabowo terinsipirasi oleh sosok tersebut selain juga ayahnya sendiri Sumitro Djojohadikusumo.
Sebagai rakyat Indonesia, kita tidak hanya menaruh harapan. Kita juga punya hak untuk terus mengawasi, mengkritik, dan memastikan bahwa mandat perubahan tidak dikorbankan demi stabilitas semu atau bersifat jangka pendek (short term). Karena bangsa ini terlalu kaya untuk terus dikuasai oleh segelintir pihak, dan terlalu besar untuk dibiarkan berjalan tanpa arah yang jelas. Pertumbuhan ekonomi dan pengendalian ketimpangan merupakan kiat jitu menjadi negara maju sesuai Visi Indonesia Emas 2045. Semoga.