
Festival layangan di Manaran, Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, adalah fenomena yang punya dua sisi mata uang. Di satu sisi, acara ini menjadi magnet yang menarik keramaian, membawa berkah ekonomi bagi para pedagang lokal. Namun di sisi lain, bagi para petani, festival ini sering kali menjadi sumber kerugian. Ini adalah ironi yang perlu kita cermati bersama.
Bagi pedagang, festival layangan adalah musim panen. Dari penjual makanan dan minuman, hingga peralatan layangan itu sendiri, semua merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan. Warung-warung dadakan bermunculan, menciptakan denyut ekonomi yang sesaat memang menggairahkan. Banyak orang yang datang untuk menikmati pemandangan langit penuh warna-warni layangan menjadi pasar potensial yang tidak bisa dilewatkan. Ini adalah bukti bahwa acara komunitas semacam ini punya potensi besar untuk menggerakkan roda perekonomian mikro.Namun, festival layangan lebih dari sekadar keuntungan finansial bagi pedagang.
Festival ini juga menyuguhkan pengalaman yang kaya dan berkesan bagi pengunjung serta komunitas. Pemandangan langit yang dihiasi ribuan layangan aneka bentuk dan warna adalah suguhan visual yang memukau. Dari layangan tradisional sederhana hingga karya seni kontemporer raksasa yang bergerak elegan di udara, festival ini menjadi ajang pamer kreativitas.Festival ini juga menjadi titik temu bagi masyarakat. Keluarga, teman, dan bahkan orang asing berkumpul untuk berbagi kegembiraan. Terlepas dari aspek kompetitifnya, menerbangkan layangan adalah aktivitas rekreasi yang menenangkan dan menyenangkan. Pengunjung dapat mencoba menerbangkan layangan mereka sendiri. Ini adalah pelarian yang sempurna dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.
Namun, di balik riuhnya tawa dan transaksi jual-beli yang mewarnai “demam layangan” di Tanah Laut, seperti yang disorot oleh Tribunnews Banjarmasin pada 16 Juli 2025, terhampar lahan persawahan yang merana. Berita tersebut menggambarkan bagaimana kawasan persawahan Manaran mendadak disesaki warga, mengubahnya menjadi pusat keramaian dan tontonan seru.
Namun, di balik keramaian itu, petani di Manaran harus menghadapi kenyataan pahit.Tanaman padi serta tumpang sari mereka, yang telah dirawat dengan susah payah selama berbulan-bulan, rusak akibat benang layangan putus yang terbuat dari gelasan atau kawat tajam. Para petani bahkan harus menghentikan kegiatan pertanian sementara waktu agar tingkat kerugian tidak semakin parah. Lebih dari itu, antusiasme berlebihan pemain layangan dan penonton yang kurang peduli seringkali nekat masuk ke area persawahan, menginjak-injak bibit tanaman tanpa merasa bersalah.Sebagai upaya terakhir untuk melindungi sumber kehidupan mereka, para petani memasang plang peringatan “Dilarang Menginjak Lahan Ini” dan “Dilarang Membuang Sampah Sembarang”. Ini adalah isyarat menghadapi risiko terburuk seperti merusak struktur tanah dan rusaknya ekositem sawah. Kerugian yang ditanggung petani bukan hanya sekadar angka. Ini adalah pukulan telak terhadap mata pencarian dan harapan hidup mereka. Modal yang terkuras, waktu dan tenaga yang terbuang sia-sia, serta ancaman terhadap ketahanan pangan lokal, semua menjadi beban berat yang harus ditanggung. Ironisnya, sebuah perhelatan yang dimaksudkan untuk hiburan dan pelestarian budaya, justru menjadi musuh bagi sektor paling fundamental di Tanah Laut, yaitu pertanian.
Maka, sudah saatnya kita mencari titik temu antara kegembiraan festival dan keberlangsungan hidup petani. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut memegang kemudi utama dalam mewujudkan festival yang bertanggungjawab. Langkah Pertama, Pemda perlu menggelar edukasi dan himbauan massif. Edukasi ini bukan hanya sekedar pengumuman melainkan kampanye berkelanjutan untuk menyampaikan pesan mendalam tentang bahaya benang gelasan atau kawat yang bisa merusak tanaman petani dan membahayakan hewan ternak. Langkah Kedua, Penentuan zona bermain layangan yang aman dan jauh dari persawahan.Lokasi ini harus mudah diakses, dilengkapi fasilitas dasar seperti toilet bersih, tempat sampah, dan area parkir yang cukup. Bahkan, jika memungkinkan, posko kesehatan dan keamanan selama festival berlangsung akan menambah rasa aman bagi semua. Langkah Ketiga, Pemda harus menyusun regulasi dan memastikan penegakan aturan. Aturan ini harus jelas dan tegas, misalnya melarang total penggunaan benang gelasan atau kawat yang berbahaya. Sanksi bagi pelanggar juga harus jelas, bisa berupa teguran, denda, atau bahkan larangan berpartisipasi di festival berikutnya.
Komunitas layangan sebagai penyelenggaraan festivalbertanggung jawab dan aktif bekerja sama dengan Pemda dalam merencanakan dan melaksanakan setiap detail acara. Komunitas harus melakukan penyuluhan internal dan pengawasan mandiri kepada anggotanya. Membentuk tim pengawas dari internal komunitas untuk menegur anggota yang melanggar akan menjadi bukti komitmen ini. komunitas bisa menginisiasi dialog positif dengan para petani, mendengarkan kekhawatiran mereka, dan bahkan menawarkan bantuan jika terjadi kerusakan yang tak disengaja. Ini adalah jembatan komunikasi yang akan membangun kepercayaan.
Masyarakat umum, termasuk para petani, adalah penerima manfaat sekaligus kunci keberhasilan festival ini. Pertama, meningkatkan kesadaran dan kepatuhan adalah tugas bersama. Ini berarti bermain layangan hanya di lokasi yang telah ditentukan, tidak menggunakan benang berbahaya, dan membuang sampah pada tempatnya.Jika melihat adanya pelanggaran atau potensi bahaya, masyarakat harus proaktif dalam melapor kepada pihak berwenang. Cepat tanggap ini akan mencegah masalah kecil menjadi besar. Terakhir, para petani perlu berpartisipasi aktif dalam setiap dialog atau pertemuan yang diadakan Pemda atau komunitas layangan. Ini adalah kesempatan mereka untuk menyampaikan masukan secara konstruktif, membantu mengidentifikasi area rentan, dan bersama-sama mencari solusi yang saling menguntungkan.
Dengan sinergi yang kuat dari ketiga pilar ini pemerintah daerah, komunitas layangan, dan masyarakat (termasuk petani). Festival layang-layang di Tanah Laut tidak hanya akan menjadi tontonan yang memukau dan daya tarik wisata yang luar biasa, tetapi juga sebuah model kolaborasi yang sukses. Ini adalah wujud nyata di mana hobi yang membanggakan dapat berkembang tanpa merugikan mata pencarian dan ketenteraman warga. Mari bersama-sama membangun festival yang harmonis dan berkelanjutan di Tanah Laut, sebuah festival yang bisa tetap menjadi kebanggaan Manaran tanpa harus mengorbankan kesejahteraan petani. Ini adalah tantangan untuk menemukan harmoni, agar berkah ekonomi bisa dirasakan semua pihak, tanpa ada yang harus menanggung duka.