Oleh : Revina (Aktivis Muslimah)
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) serius mengawal implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Standar Gizi dan Keamanan Pangan. Langkah ini diambil untuk memastikan makanan yang disajikan benar-benar berkualitas dan aman, sekaligus menjadi strategi vital dalam upaya menekan angka stunting di Bumi Lambung Mangkurat yang masih di atas rata-rata nasional. (Lentera Kalimantan. Net, 15 Juli 2025)
Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicetuskan oleh presiden Prabowo Subianto sejak 2024 memang diharapkan dapat memenuhi gizi penerima MBG yang rata-rata merupakan anak sekolah sehingga mampu berkontribusi mewujudkan Indonesia Emas 2045. Program ini terlihat mulia, namun dalam sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia hari ini, yaitu sistem sekuler-kapitalisme, terdapattiga kelemahan dasar.
Pertama, MBG merupakan program jangka pendek, bukan solusi sistemik. Jika melihat kondisi ekonomi masyarakat saat ini yang kebanyakan memprihatinkan, hal tersebut disebabkan oleh kesulitan mendapatkan pekerjaan, sehingga angka pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Tak heran bila untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja rakyatkesulitan, apalagi mengakses makanan lengkap yang kaya nutrisi. Ini adalah dampak dari hilangnya peran negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan, distribusi kekayaan yang tidak adil, harga pangan yang melonjak tanpa kenaikan penghasilan yang seimbang, rendahnya akses pendidikan, serta banyaknya kebijakan yang pro-kapitalis. Dalam sistem ini, rakyat dibiarkan berjuang sendiri, ditengah berbagai himpitan(kemiskinan terstruktural), sedangkan negara dan pemerintah sibuk melayani para pemilik modal. Hal ini membuktikan bagaimana rusaknya sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan Indonesia hari ini bisa dirasakan dampaknyasecara nyata. Slogan yang digaungkan hanyalah bualan dan janji manis belaka. Oleh karena itu,MBG bukansolusi sistemik karena hanya mengatasi gejala bukan akar masalah.
Kedua, negara juga bergerak hanya sebagai fasilitator, bukan penanggung jawab. Seharusnya negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pokokrakyatnya.Akibatnya, program ini hanya mampu menjangkau sebagian masyarakat, yaitu anak sekolah. Selain itu, program ini tidak bersifat jangka panjang karena bergantung dari APBN yang tersedia, serta kepentingan politik yang ada. Sekali lagi, ini menunjukkkan MBG bukan solusi mengakar, melainkan sekedar tambal sulam.
Ketiga, aspek gizi anak diperlakukan secara materialistis, dimana negara hanya sebagai fasilitator, dan menyerahkan pengolahan makanan kepada pihak tender. Hal ini memungkinkan terjadinya praktik korupsi dan penyelewengandemi keuntungan, sehingga MBG tidak optimal. Bahkan,dibeberapa daerah,MBG dibagikanberupa snack dan biskuit kemasan yang bukan makanan bernutrisi.
Dalam islam, negara wajib menjamin pemenuhan gizi dan pangan rakyat bukan karena tekanan politik atau ekonomi, tetapi sebagai kewajiban.Oleh karena itu, pemberian makanan tidak bersifat proyek bantuan, melainkan bagian dari peran negara yang mengurusi urusan umat. Pendanaan berasal dari Baitul Mal yang diisi dari keuntungan pengelolaan negara.Negara mengatur distribusi kekayaan merata, tidak hanya berputar di segelintir orang, dengan pengelolaan sumberdaya alam dan sektor strategis lainnya oleh negara bukanindividu. Hasil keuntungan dari pengelolaan tersebutdapat disalurkan untuk kebutuhan umat.
Solusi lainnya adalah penyaluran zakat yang tepat sasaran. Selain itu, dalam islam laki-laki juga diwajibkan mencari nafkah, sehingga negara sungguh-sungguh memastikan ekonomi rakyat tidak terpuruk .
Dengan demikian,tidak hanya anak sekolah tetapi juga ibu hamil, lansia, fakir miskin, dan pekerja berpenghasilan rendah akan dijamin pemenuhan gizi dan kebutuhannya. Saatnya Umat islam menyadari bahwa mekanisme terbaik ini hanya bisa dijalankan dalam naungan negara islam, Khilafah. Kita harus menyingkirkan sistem rusak yang secara sistemastis menyengsarakan kita dan kembali pada penerapan hukum Allah dalam naungan khilafah. Waalualam bissawab.