BANJARMASIN – Sebanyak 50.000 rekening nasabah Bank Kalimantan Selatan telah diaktifkan kembali setelah sempat diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kebijakan ini merupakan bagian dari tindakan nasional yang mempengaruhi 28 juta rekening pasif di seluruh Indonesia.
“Nasabah panik, karena tidak bisa transaksi. Petugas kami harus kerja ekstra mengonfirmasi ke nasabah dan klarifikasi ke PPATK melalui formulir keberatan,” ujar Fachrudin, Direktur Utama Bank Kalsel, usai rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPRD Kalsel di Banjarmasin.
Pemblokiran ini dilakukan karena tidak ada aktivitas pada rekening selama tiga bulan, yang menurut PPATK dapat menandakan pemilik rekening telah meninggal dunia aau tidak aktif. Hal ini menyebabkan gelombang kedatangan nasabah yang meminta pembukaan kembali rekening mereka.
Fachrudin menjelaskan bahwa kesulitan ini muncul karena peralihan dari sistem manual ke digital, yang membuat nasabah tetap harus datang ke kantor untuk mengaktifkan kembali rekening yang terblokir.
“Kami pastikan tidak ada satu pun dari 50 ribu rekening nasabah kami yang terlibat kasus tindak pidana, muri hanya tidak aktif,” tambah Fachrudin. Pihaknya optimistis seluruh rekening tersebut akan aktif kembali menyusul kebijakan baru dari PPATK.
Bank Kalsel juga mengimbau para nasabah untuk rutin melakukan transaksi minimal sekali dalam tiga bulan guna mencegah pemblokiran serupa di masa depan.
Terpisah, pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menko Polhukam, Prof Mahfud MD, mengecam langkah PPATK tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang serius.
“Menurut saya PPATK sudah melakukan pelanggaran kewenangan yang serius yang bisa digugat itu ke pengadilan. Karena memblokir rekening orang itu tidak oleh dengan ukuran yang sifatnya ukuran umum. Ukuran umum itu apa? Barang siapa rekeningnya tidak bergerak tiga bulan akan dibekukan, itu jahat. Terlalu jahat itu,” ujarnya.
Mahfud menegaskan pemblokiran rekening hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu Bank Indonesia, Menteri Keuangan, atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam kondisi tertentu, PPATK memang memiliki kewenangan serupa, namun hal itu harus berdasarkan adanya dugaan tindak pidana yang jelas.
“PPATK juga boleh, tapi atas izin, instruksi-instruksi itu kalau ada dugaan. Kalau ada dugaan tindak pidana di dalam rekening itu. Lah ini? Pokoknya setiap rekening yang tiga bulan tidak bergerak itu diblokir,” ucapnya yang mengaku heran dengan kebijakan tersebut.
Menurut Mahfud, keputusan PPATK tersebut bukan hanya gegabah, melainkan diduga kuat dilakukan atas tekanan atau perintah dari kekuatan tertentu.
Dia menegaskan pemblokiran rekening seharusnya dilakukan secara selektif dan berdasarkan bukti awal yang cukup, bukan berdasarkan asumsi atau kategori umum seperti ‘tidak aktif selama tiga bulan’. “Kalau ada dugaan pidana baru orang diblokir, itupun ada batasnya berjenjang,” kata prof ini. rep/mb06