
JAKARTA – Fenomena “rombongan jarang beli” (Rojali) dan “rombongan hanya nanya” (Rohana) makin terasa di pusat-pusat perbelanjaan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey menilai, kondisi ini bukan semata soal kebiasaan belanja, melainkan cerminan daya beli masyarakat yang terus melemah.
“Memang di masa perekonomian seperti ini, jangan menyalahkan masyarakat. Mereka realistis. Kebutuhan pokok dan pendidikan anak jadi prioritas utama,” ujar Roy, Rabu.
Fenomena Rojali-Rohana membuat banyak pengunjung mal hanya datang untuk melihat-lihat tanpa membeli. Dampaknya terasa paling besar di segmen department store, bahkan hingga menyebabkan penutupan gerai. Sektor fast moving consumer goods (FMCG) juga mulai terdampak, terutama yang menyewa di mal besar dengan biaya operasional tinggi.
Menurut Roy, kebiasaan “window shopping” ini juga terjadi di platform digital. Banyak masyarakat yang mengakses aplikasi belanja hanya untuk melihat-lihat produk.
“Ini jadi bentuk hiburan juga. Kalau dulu jalan-jalan di mal, sekarang jalan-jalan pakai jari di ponsel,” katanya.
Meski penjualan daring meningkat, Roy menekankan bahwa nilainya belum bisa menggantikan penjualan secara langsung di toko fisik. Ia menambahkan, pelaku ritel terus berinovasi, termasuk dengan membuka toko daring dan menggelar program diskon seperti Indonesia Shopping Festival dan holiday sale.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menegaskan bahwa fenomena Rojali-Rohana bukan disebabkan oleh pergeseran ke belanja daring, melainkan karena daya beli masyarakat yang belum pulih sejak tahun lalu.
“Ini bukan soal e-commerce. Ini soal ekonomi. Pemerintah perlu langkah cepat dan berdampak langsung untuk mendongkrak daya beli, terutama di kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pengelola mal bersama peritel telah menjalankan berbagai program promo untuk mendongkrak transaksi. Tujuannya, memperpendek periode low seasonyang tahun ini berlangsung lebih panjang karena Ramadhan dan Idul Fitri datang lebih awal.
Meski belanja menurun, kunjungan ke mal tetap tinggi. Menurut Roy, masyarakat kini memandang mal bukan hanya tempat belanja, tapi juga sebagai ruang rekreasi murah. “Kalau ke tempat hiburan lain harus beli tiket. Kalau di mal, cukup jalan-jalan, makan, nonton bioskop. Itu sudah jadi gaya hidup,” katanya.
Roy berharap perbaikan ekonomi nasional bisa segera dirasakan secara merata. “Kalau ekonomi membaik, Rojali dan Rohana juga pasti berkurang. Kita optimistis ke depan akan lebih baik,” tutupnya.
Terpisah, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai maraknya fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) merupakan sinyal turunnya daya beli akibat penurunan pendapatan masyarakat. Huda menyeut banyak masyarakat tetap membutuhkan hiburan meski secara finansial sedang tertekan.
Menurut Huda, fenomena ini juga dipengaruhi perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, terutama dengan makin kuatnya preferensi terhadap platform daring. rep/mb06