Oleh: Nor Aniyah, S.Pd. (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Perundungan anak kembali terjadi dengan aksi yang kian brutal. Seorang anak di Kabupaten Bandung mengalami kekerasan fisik serius setelah ditendang hingga kepalanya terbentur batu, lalu diceburkan ke dalam sumur hanya karena menolak minum tuak dan merokok (cnnindonesia.com). Mirisnya, para pelakunya bukan orang dewasa, melainkan teman-teman sebayanya sesama siswa SMP.
Kasus ini menarik perhatian publik dan pejabat negara. Wakil Ketua Komisi X DPR RI menilai tindakan tersebut masuk kategori tindak pidana dan menuntut agar para pelaku diproses secara hukum dan administrasi (detik.com). Namun, pertanyaannya: apakah langkah ini cukup?
Fakta terus bertambahnya kasus perundungan setiap tahunnya semakin menguatkan bahwa kasus perundungan anak ini adalah fenomena gunung es. Hal tersebut tentu menunjukkan gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi yang berlaku. Para pembully dapat dijatuhi sanksi hukum pidana berupa penjara atau denda tergantung pada tingkat keparahan perbuatannya. Nyatanya hukuman ini tidak memberi efek jera kepada para pelaku dengan bukti makin maraknya kasus perundungan.
Menurut hukum yang berlaku, orang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin masih dikategorikan anak-anak. Sehingga ketika ada orang di bawah 18 tahun, semisal usia anak SMP berbuat kriminal mereka bisa berdalih “masih di bawah umur” untuk menghindari sentuhan hukum. Akhirnya kasus perundungan semakin marak.
Di sisi lain, fenomena perundungan juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan. Sistem pendidikan seharusnya mencetak generasi yang beriman, beradab, dan berilmu. Namun, generasi yang tampak hari ini justru menjadi pelaku kriminal. Anak-anak mudah dan tanpa merasa berdosa melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya. Bahkan, mereka meminum tuak yang notabenenya minuman haram.
Tindak perundungan yang demikian semakin menambah betuk atau ragam yang sudah ada. Semua ini merupakan buah buruk penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik dalam semua aspek kehidupan. Kehidupan manusia terpisah dari ajaran agama, sehingga manusia tidak takut akan dosa dan tidak paham bahwa kehidupan mereka di dunia ada pertanggungjawaban di akhirat. Alasan inilah yang membuat manusia, termasuk anak SMP tanpa merasa takut berbuat kekerasan bahkan menenggak minuman haram.
Dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh tidak cukup dengan menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan, namun juga pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara. Islam sebagai sistem kehidupan yang shahih mampu menyelesaikan secara tuntas kasus perundungan. Secara konsep, Islam menjadikan perundungan sebagai perbuatan yang haram dilakukan baik verbal apalagi fisik, bahkan dengan menggunakan barang haram.
Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesama Muslim adalah saudara, tidak boleh saling mendzalimi, mencibir atau merendahkan. Ketaqwaan itu sesungguhnya di sini,” sambil menunjuk dada dan diucapkannya tiga kali. Rasul melanjutkan: “Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara Muslim. Setiap Muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya dan kehormatannya.”(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad).
Islam mengajarkan manusia harus bertanggungjawab atas semua perbuatannya. Allah SWT berfirman: “Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah ia lakukan.” (QS. Al-Muddatstsir: 38).
Islam menjadikan baligh sebagai titik awal pertanggungjawaban seorang manusia. Dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Diangkat pena (taklif syariah) dari tiga golongan; dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia mimpi basah (ihtilaam), dari orang gila hingga dia sehat akalnya.”(HR. Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad).
Islam memiliki mekanisme agar konsep ini tertanam dengan benar di dalam benak dan pikiran generasi hingga berbuah menjadi perbuatan. Dalam sistem pendidikan, aqidah Islam dijadikan sebagai asas kurikulum dan tujuan pendidikan. Pendidikan yang seperti ini akan memberi bekal kepada anak-anak agar mereka siap menjadi mukallaf pada saat baligh.
Islam menetapkan pihak yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan syar’i adalah keluarga, masyarakat, dan negara. Di dalam keluarga, orang tua diwajibkan mendidik anak-anak mereka dengan aqidah Islam dan syariatnya. Masyarakat wajib menjadikan mafahim (pemahaman), maqayis (standar), qanaat (penerimaan) serta interaksi di dalam masyarakat sesuai dengan Islam.
Dengan begitu, anak-anak akan mendapat contoh langsung penerapan syariat. Sementara negara akan menyusun kurikulum pendidikan berbasis aqidah Islam. Yang wajib diterapkan dalam semua level jenjang pendidikan. Alhasil, di lingkungan manapun anak-anak hidup mereka akan dihadapkan pada aqidah Islam dan syariahnya.
Dari sinilah pintu perundungan akan tertutup karena semua pihak akan memandang sama bahwa perundungan itu haram dilakukan. Mereka pun akan sadar untuk menghindari perundungan karena perbuatan itu kelak akan mereka pertanggungjawabkan di akhirat.
Selain sistem pendidikan, arah pendidikan Islam juga dikuatkan oleh sistem informasi dan sistem sanksi. Sistem informasi diarahkan sebagai sarana anak-anak mendapatkan edukasi Islam, ilmu pengetahuan, kondisi politik, dan sejenisnya. Tayangan-tayangan kekerasan dan semua hal yang bertentangan dengan Islam akan dilarang oleh negara.
Jika masih ada yang melakukan perundungan, negara akan memberi sanksi tegas. Sanksi akan diberikan kepada mereka yang sudah baligh. Dengan sanksi yang tegas insya Allah pelaku akan jera, masyarakat terhindar dari perundungan dan anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi berkepribadian Islam. Inilah solusi perundungan di dalam Islam. Semua ini niscaya akan terwujud manakala Islam dijadikan sebagai sistem kehidupan di bawah naungan negara Khilafah.
Sistem Islam dengan seperangkat sistemnya mengatur kehidupan menguatkan arah ketaqwaan oleh negara. Dengan demikian akan lahir generasi yang berkepribadian Islam. Karena itu negeri ini perlu mengadopsi sistem Islam sebagai landasan bernegara agar memiliki daya tahan kuat menghadapi tantangan global dan domestik.
Sistem Islam berbasis wahyu Ilahi, bukan buatan manusia yang lemah. Penerapan sistem Islam yang dipadukan dengan nilai spiritual akan memperkuat ketakwaan penyelenggara negara. Dan ketaqwaan masyarakat sehingga kehidupan menjadi berkah.[]