
Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya pemberian ASI eksklusif terus meningkat. Kampanye menyusui dari pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat seperti “Pekan Menyusui Dunia” ikut mendorong popularitas topik ini di ruang publik. Bahkan, Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menegaskan pentingnya ASI eksklusif sebagai pondasi tumbuh kembang anak yang optimal (Antara, 2023). Di tengah geliat kampanye ini, muncul satu istilah yang belakangan ini makin sering terdengar, yaitu mengASIhi. Istilah ini populer terutama di kalangan mamah muda di media sosial, seolah menjadi bentuk ekspresi cinta dan penguatan emosi dalam praktik pemberian ASI. Namun, di balik niat baik dan nuansa kasih sayang yang ingin dibangun, ada konsekuensi besar yang luput diperhatikan, yaitu penggunaan istilah “mengASIhi” secara tidak sadar mengaburkan makna menyusui sebagai proses biologis yang utuh.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyusui adalah proses fisiologis yang melibatkan respon hormonal dan interaksi langsung antara tubuh ibu dan bayi. Dalam proses ini, tidak hanya ASI yang diberikan, tetapi juga terjadi pertukaran hormon, antibodi, hingga rangsangan psikologis yang tidak tergantikan. Istilah “menyusui” memiliki kedalaman makna yang tidak hanya terbatas pada hasil—ASI—tetapi menyentuh proses penuh kehidupan itu sendiri.
Makna yang Tergeser
“MengASIhi” seringkali digunakan untuk menyebut segala bentuk pemberian ASI, termasuk melalui media pemberian ASI perah seperti botol dot, cup feeder, pipet atau sendok, yang tidak melibatkan kontak langsung antara payudara ibu dan mulut bayi. Tidak sedikit pula yang menganggap istilah “menyusui” sebagai kata yang terlalu vulgar atau sensitif untuk diucapkan di ruang publik. Di sinilah persoalan bermula, ketika kata “menyusui” dianggap tabu, dan diganti dengan istilah “mengASIhi” yang terdengar lebih halus atau emosional, makna ilmiah dan fisiologis dari menyusui jadi tersingkir.
Padahal, menyusui adalah kerja tubuh. Ia melibatkan hormon prolaktin (pemicu produksi ASI) dan oksitosin (dikenal sebagai hormon cinta karena dilepaskan saat ibu dan bayi bersentuhan), terjadi “komunikasi” antara liur bayi dengan payudara ibu untuk memproduksi komposisi ASI yang spesifik sesuai kebutuhan bayi, memengaruhi ikatan emosional ibu dan bayi, serta mendukung sistem imun dan perkembangan neurologis (proses tumbuh kembang sistem saraf yang memengaruhi fungsi kognitif, motorik, sensorik, dan perilaku seseorang) bayi secara langsung. Proses ini tak bisa digantikan oleh pemberian Air Susu Ibu Perah (ASIP) lewat botol semata, meski tetap bernilai.
Bahasa Mempengaruhi Cara Pandang
Bahasa membentuk cara berpikir. Ketika istilah “menyusui” perlahan tergeser, publik mulai melihat proses ini hanya dari sisi pemberian ASI, terutama dengan semakin maraknya praktik memerah ASI (pumping) yang sering kali tidak dibarengi pemahaman tentang pentingnya menyusui langsung. Di lapangan, sering ditemukan ibu-ibu yang lebih dulu membeli pompa ASI sebelum mempersiapkan diri menyusui, lebih panik ketika hasil pumping sedikit dibanding memastikan bayi menyusu dengan efektif (menghisap ASI dengan dalam), serta menjadikan hasil pumping sebagai indikator utama jumlah ASI di payudara. Bahkan tak sedikit yang merasa lebih tenang karena ASI yang diberikan lewat botol dianggap lebih “terukur” dan “terjamin”. Cara berpikir ini bisa dimengerti, tapi jika tidak dilengkapi dengan pemahaman menyeluruh, justru bisa menjauhkan ibu dari proses menyusui yang utuh. Penggunaan istilah yang keliru bisa membuat advokasi menyusui kehilangan tumpuan, ibu tidak lagi merasa perlu menyusui langsung, tenaga kesehatan enggan membahas proses menyusui, dan keluarga pun tidak terlibat dalam mendukung praktik menyusui yang utuh.
Mengembalikan Martabat Menyusui
Di sinilah pentingnya membumikan kembali istilah “menyusui”. Kata ini harus dibawa kembali ke ruang-ruang publik, digunakan dalam edukasi, kampanye, dan komunikasi sehari-hari. Organisasi seperti AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) secara tegas memilih istilah “menyusui” untuk menegaskan bahwa ini bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan hak ibu dan bayi yang perlu didukung secara sistemik dan ilmiah.
Tak sekedar mengembalikan istilah menyusui ke ruang publik, Penulis juga perlu mengingatkan bahwa dalam beberapa peraturan perundang-undangan dengan tegas menggunakan istilah menyusui, bahkan definisi tentang menyusui pernah dijabarkan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (kemudian dicabut dengan PP No.28 Tahun 2024), dijelaskan bahwa menyusui adalah proses pemberian Air Susu Ibu kepada bayi secara langsung dari payudara ibu. Lebih lanjut istilah menyusui juga ada dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Kesehatan. Sehingga kata menyusui memang merupakan istilah yang seharusnya digunakan sebagai cara untuk menunjukkan proses pemberian ASI oleh ibu kepada bayi.
Dengan tetap menggunakan kata “menyusui”, kita tidak hanya memperjuangkan pemberian ASI, tapi juga mendidik masyarakat tentang pentingnya proses itu sendiri: Inisiasi Menyusui Dini (IMD), rawat gabung, menyusui eksklusif 6 bulan, konseling menyusui, dan dukungan menyusui dua tahun atau lebih.
Perubahan besar sering dimulai dari hal yang tampak sepele seperti pilihan kata. Di tengah maraknya istilah “mengASIhi”, penting bagi kita untuk kembali memuliakan kata “menyusui”, bukan sekadar karena sejarahnya, tapi karena kebenaran biologis dan perjuangan yang menyertainya. Menyusui adalah proses penuh kehidupan, bukan hanya produk yang keluar dari payudara ibu.
Sudah saatnya publik berhenti malu menyebut “menyusui”. Mari kita kembalikan kata ini ke posisi yang selayaknya: digunakan secara terbuka, dibicarakan dengan bangga, dan dimaknai sebagai simbol perjuangan, cinta, dan hak dasar yang tak bisa ditawar-tawar. Dan bukan hanya ibu yang harus membumikan istilah ini—tenaga kesehatan, ayah, keluarga, dan masyarakat pun perlu ikut serta. Harapannya, semakin banyak orang tua dan tenaga kesehatan mulai menggunakan istilah “menyusui” dalam percakapan sehari-hari dan edukasi. Dalam jangka panjang, semoga penyebutan yang tepat ini mampu mengembalikan pemahaman bahwa menyusui adalah proses biologis yang layak didukung, dilindungi, dan menjadi bagian dari budaya masyarakat kita.