
Tragedi baru ini terjadi. Isteri penggal kepala suami menggetarkan banua. Ruang publik pun terbelah berdiri di dua kubu. Pembunuhan itu dapat pembelaan di satu sisi. Pada sisi lainnya perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa tetap suatu pelanggaran pidana.
Seorang ibu di Desa Paramasan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan tega menghilangkan nyawa lelaki yng baru dua bulan menikahinya. Namun kejadian itu tidak terjadi di ruang hampa. Ada sebab kenapa itu terjadi.
Sebelum dinikahi, pelaku adalah janda muda dengan dua anak masih kecil. Pelaku tidak terima perlakuan kasar suami pada anaknya. Ketika pasangan ini bertengkar, suami memilih pelampiasan lain. Anak korban di lempar ke sebuah sungai kecil hingga.
Sang ibu panik. Aksi penyelamatan spontan dilakukan. Namun beriringan itu emosinya tak terkendali. Pembelaannya terhadap darah daging sendiri membuat suami barunya kehilangan nyawa.
Kejadian itu menjadi sorotan publik. Di tengah ancaman hukum, publik tik tok justru banyak yang bersimpati kepada sang ibu. Komentar netizen media sosial tik tok mengalir deras, menyebutnya sebagai “ibu pahlawan untuk anaknya. ” Bahkan ada yang berkata, “ia hanya melakukan apa yang sistem gagal lakukan.”
Fenomena ini tidak bisa dibaca sekadar dari sudut hukum formal. Dalam konteks kriminologi ada pertanyaan ontologis yang mesti dijawab, mengapa seseorang sampai melakukan tindakan ekstrem seperti itu?
Dalam kriminologi , kasus semacam itu dapat dikategorikan sebagai crime of passion, yakni tindak pidana yang dilakukan dalam ledakan emosi mendadak akibat trauma atau kehilangan yang sangat dalam.
Dalam konteks ini, pelaku adalah juga korban, korban dari kekerasan domestik, korban dari kekerasan pada anak, dan korban dari sistem yang tidak cukup responsif terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang selama ini permisif terjadi.
KDRT fenomena gunung es. Kejadian di Paramasan, Kabupaten Banjar mengingatkan kita api dalam sekam itu telah menimbulkan ledakkan, sebab selama ini kerap terabaikan. Jika pun muncul ke permukaan sampai ke meja penyidik berakhir dengan perdamaian. Pasca itu KDRT terulang kembali.
Data Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 450 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam relasi domestik. Sebagian besar di antaranya tidak dilaporkan atau tidak ditangani secara tuntas. Kita patut bertanya: berapa banyak ibu yang menahan luka dalam diam sebelum akhirnya meledak?
Secara hukum, menghilangkan nyawa orang lain tetaplah pelanggaran pidana. Alasan apapun tidak dapat membebaskannya dari jeratan hukum. Tapi dalam kriminologi, mesti dipahami dalam konteks psikologis dan sosial pelaku juga adalah bagian dari keadilan yang hakiki. Hukum perlu memberi ruang bagi rasa dan nalar, bahwa keadilan tak hanya mengadili perbuatan, tapi juga memahami luka dan latar belakangnya.
Masyarakat tik tok tidak sedang membenarkan kekerasan. Mereka sedang berteriak bahwa sistem perlindungan perempuan dan anak lemah, akses ke keadilan lambat, dan korban sering kali harus berjuang sendiri. Maka, simpati terhadap sang ibu bukan pembelaan atas kejahatan, tapi jeritan atas ketimpangan rasa aman dalam rumah tangga.
Kasus ini harus menjadi pengingat serius bahwa perlindungan terhadap anak dan perempuan bukan isu sampingan, melainkan nadi dari keadaban hukum kita. Jika sistem gagal mendengar tangis ibu dan anak, maka ledakan tragis seperti ini bisa saja terulang.
Hukum memang harus ditegakkan. Tapi dalam menegakkannya, jangan sampai kita berkacamata kuda. Sebab keadilan tanpa empati hanyalah kekuasaan yang kaku, dan empati tanpa hukum ibarat timbangan pedagang yang rusak.
Tragedi pilu di Kabupaten Banjar itu harus dicegah tidak terjadi lagi dengan cara menghadirkan epistemologis atas pertanyaan ontologis tersebut di atas tadi.
Negara melalui perangkatnya seperti Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan sudah melakukan apa? Jangan – jangan perangkat itu dibuat ada hanya sebagai simbol yang menunjukkan kepada rakyat bahwa negara telah hadir. Iya, hadir dalam membuat laporan bahwa semuanya baik – baik saja. Dan itu omon omon namanya.
Luka dan trauma akibat KDRT jarang bersuara lantang. Mereka tumbuh dalam diam pada tubuh yang bergetar, dalam jiwa yang remuk perlahan. Mereka adalah bagian dari diri yang diambil paksa, lalu ditinggalkan memeluk gemuruh yang tak pernah terdengar oleh siapa pun.
Di balik senyum seorang janda yang beranak, ada tangis yang tak selesai. Jika ingin masuk pada kehidupannya yang dibawa tidak cukup bermodal cinta kepada dirinya semata, tapi juga kepada anak – anaknya. Tidak datang dengan dahaga tetapi datang membawa oasis. Tidak datang kecuali dengan cinta dan kebaikan.
Cinta dan kebaikan tidak hanya menjadi penyembuh pada jiwa yang luka tapi juga menjadi duta negara bahwa bahwa hadirmu turut menurunkan angka KDRT terhadap perempuan dan anak. Cinta dan kebaikan cara alamiah kesadaran hakiki manusia mencegah siapapun jadi algojo kekerasan dalam rumah tangga.*