Rabu, Juli 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Ada Hukum Perlindungan Anak, Tapi Mengapa Perundungan Makin Brutal?

by Mata Banua
15 Juli 2025
in Opini
0
D:\2025\Juli 2025\16 Juli 2025\8\master opini.jpg
Foto: ilustrasi(foto:mb/web)

Oleh : Siti Sabariyah (Aktivis Muslimah)

Perundungan (bullying) terhadap anak kembali mencuat ke permukaan. Bukan lagi sekadar ejekan atau kekerasan verbal, melainkan sudah menjurus pada kekerasan fisik yang berujung trauma mendalam. Ironisnya, pelaku bukan orang dewasa, melainkan sesama anak-anak atau bahkan teman satu sekolah. Fenomena ini menunjukkan bahwa perundungan bukan sekadar persoalan individu, tetapi telah menjadi masalah sistemik yang mencerminkan kegagalan perlindungan dan pembinaan karakter dalam sistem kehidupan kita saat ini.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Anak Tidak Sekolah Terus Bertambah,Bukti Kegagalan Sistemik Pendidikan

15 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Huru-Hara Konstitusi

14 Juli 2025
Load More

Kasus terbaru memperlihatkan bagaimana perundungan kini bukan hanya menyakitkan secara psikis, tapi juga bisa membahayakan fisik korban.Dikutip dari CNN Indonesia (26/06/2025) – memberitakan kasus tragis seorang bocah di Bandung yang diceburkan ke dalam sumur oleh teman-temannya karena menolak minum tuak atau minuman keras tradisional. Peristiwa ini bukan hanya mengungkap kekerasan, tetapi juga keterlibatan anak dalam konsumsi dan distribusi barang haram, yang semestinya jauh dari dunia pendidikan dan masa anak-anak.

Tak hanya satu, laporan lain menunjukkan bahwa kasus serupa juga menimpa siswa SMP di Bandung yang mengalami pemukulan brutal.Dalam laporannya Kompas Bandung (10/06/2023) – melaporkan bahwa korban tidak hanya dipukuli oleh teman sekelasnya, tetapi juga mengalami trauma berat yang berimbas pada aktivitas sosial dan mentalnya. Menurut keterangan pihak keluarga, korban bahkan enggan kembali ke sekolah karena takut bertemu pelaku. Ini menunjukkan bahwa perundungan dapat meninggalkan luka jangka panjang, terutama ketika sistem perlindungan tidak mampu menjamin rasa aman.

Fakta terakhir memperlihatkan bahwa pelaku perundungan bukan hanya satu atau dua anak, tetapi bisa melibatkan sekelompok besar pelajar.Dilansir oleh Kompas Regional (09/06/2023) – menginformasikan bahwa dalam kasus perundungan yang terjadi di Bandung, pihak keluarga korban melaporkan sebanyak 11 anak terlibat sebagai pelaku. Banyaknya pelaku menggambarkan bahwa kekerasan tidak lagi dianggap sebagai hal yang menyimpang, tetapi telah menjadi bagian dari budaya atau perilaku kelompok yang dinormalisasi.

Jika ditinjau lebih dalam, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa perundungan bukan lagi insiden insidental, melainkan bagian dari fenomena gunung es. Permukaan yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari masalah besar yang tersembunyi di baliknya. Kasus yang terungkap hanyalah yang berhasil dilaporkan atau viral di media, sementara banyak kasus lain mungkin tenggelam tanpa tindak lanjut yang jelas.

Kondisi ini menyiratkan gagalnya sistem perlindungan anak secara menyeluruh.

Pertama, regulasi dan sanksi tidak cukup efektif dalam mencegah dan menindak kasus perundungan. Lemahnya penegakan hukum serta kurangnya pemahaman aparat terhadap pendekatan perlindungan anak menyebabkan pelaku sering kali tidak diberi efek jera.

Kedua, sistem pendidikan juga turut berkontribusi karena gagal membentuk kepribadian anak yang kuat dan beradab. Kurikulum yang menitikberatkan pada aspek kognitif dan akademik, tanpa pembinaan karakter spiritual dan moral yang kuat, menghasilkan anak-anak yang cerdas secara pengetahuan, tetapi miskin empati dan kontrol diri.

Lebih jauh, keterlibatan anak dalam konsumsi minuman keras, seperti tuak dalam kasus Bandung, mencerminkan bobroknya pengawasan sosial dan hilangnya nilai agama dalam kehidupan masyarakat. Sistem sekuler kapitalistik yang diterapkan saat ini menjadikan kebebasan individu sebagai standar, termasuk bagi anak-anak. Tanpa nilai yang mengakar, perilaku menyimpang pun tumbuh subur, bahkan sejak usia dini.

Karena itu, penyelesaian masalah ini tidak cukup hanya pada aspek hukum dan pendidikan secara administratif. Diperlukan perubahan mendasar terhadap sistem kehidupan yang mendasari pola pikir dan perilaku anak.

Islam memandang perundungan baik secara verbal maupun fisik sebagai perbuatan haram yang tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. Tindakan kekerasan, terlebih kepada sesama manusia, merupakan pelanggaran terhadap hak dan martabat yang diberikan Allah. Apalagi ketika dilakukan dengan disertai penggunaan barang haram seperti tuak, maka hukumannya semakin berat.

Dalam Islam, masa baligh adalah awal seseorang dianggap bertanggung jawab secara syariat. Oleh karena itu, pendidikan anak sebelum baligh sangat ditekankan agar saat mereka mukallaf (dibebani hukum), mereka telah siap secara kepribadian, akhlak, dan pemahaman agama. Pendidikan seperti ini hanya bisa berhasil jika diterapkan secara menyeluruh dari keluarga, masyarakat, hingga negara.

Negara dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab penuh dalam membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Negara tidak hanya menyusun kurikulum formal di sekolah, tetapi juga mengarahkan media, informasi, serta sistem sanksi untuk mendukung pembentukan karakter yang lurus dan kuat. Pendidikan agama tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi menjadi fondasi utama dalam membangun manusia yang bermoral dan bertanggung jawab.

Sistem Islam juga tidak membiarkan anak-anak terpapar lingkungan berbahaya. Negara memiliki sistem kontrol sosial yang kuat, di mana masyarakat terlibat aktif dalam amar makruf nahi mungkar, serta mencegah penyebaran minuman keras, tontonan merusak, dan budaya permisif yang menjadi pintu masuk perilaku menyimpang.

Perundungan anak yang terus berulang dan semakin brutal menandakan bahwa masalah ini bukan sekadar soal anak dan sekolah, melainkan sistemik. Gagalnya perlindungan hukum, lemahnya sistem pendidikan, serta minimnya nilai moral dalam kehidupan masyarakat membuat kasus perundungan menjadi wajah kelam dunia anak hari ini.

Untuk itu, solusi tidak cukup sebatas sanksi dan peraturan teknis, melainkan harus menyentuh akar paradigma kehidupan. Islam, melalui sistem pendidikannya yang berlandaskan akidah dan penegakan hukum yang adil, terbukti mampu membentuk generasi yang memiliki kepribadian tangguh, bermoral, dan bertanggung jawab. Sudah saatnya kita melihat ulang pondasi kehidupan kita—karena generasi hari ini adalah cerminan dari sistem yang kita terapkan sekarang.

Wallahu a’lam bi as-shawab

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA