Selasa, Juli 15, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Huru-Hara Konstitusi

by Mata Banua
14 Juli 2025
in Opini
0
D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar (Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)

Sebagai bagian dari Generasi muda bangsa ini , saya merasa sedang duduk di barisan depan menyaksikan pertunjukan politik yang aneh. Di satu sisi, Mahkamah Konstitusi baru saja mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu nasional dan Pilkada. Di sisi lain, DPR dan sejumlah partai politik langsung menanggapinya dengan marah, menuduh MK telah melampaui batas kewenangannya. Bagi saya, yang akan menggunakan hak pilih pada pemilu dan pilkada mendatang, ini bukan sekadar adu tafsir antar lembaga negara. Ini soal siapa yang benar-benar membela hak konstitusional rakyat, dan siapa yang takut kehilangan dominasinya.

Putusan Mahkamah Konstitusi itu tentu bukan tanpa alasan. Ia lahir dari kecermatan terhadap realitas dan beban pemilu serentak 2019 yang dinilai terlalu kompleks dan berat. Saat itu, Komisi Pemilihan Umum harus mengelola pemungutan suara untuk lima jenis pemilihan sekaligus dalam satu hari. Hasilnya, 440 petugas KPPS meninggal dunia dan lebih dari tiga ribu lainnya jatuh sakit akibat kelelahan dan stres. KPU juga mencatat lonjakan anggaran pemilu yang signifikan, dari 15 triliun rupiah menjadi hampir 25 triliun. Bahkan menurut kajian akademik Universitas Indonesia, pemilu serentak tersebut bukan hanya menguras tenaga, tapi juga membingungkan pemilih, terutama kelompok muda dan pemilih pemula.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\palestina.jpg

Palestina dan Fajar Kebangkitan Umat di Depan Mata

14 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Gaji rendah, Kesejahteraan Guru Masih Sekedar Wacana

14 Juli 2025
Load More

Melalui putusan ini, MK mencoba membenahi sistem agar lebih proporsional dan manusiawi. MK tidak sedang berpolitik. MK sedang menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk menjaga hak warga negara atas pemilu yang adil dan tidak mematikan.

Namun sayangnya, sebagian elit politik justru melihat putusan ini sebagai gangguan. Mereka menuduh MK telah berubah dari negativelegislature menjadi positivelegislature. Mereka mencemaskan bahwa MK bukan lagi hanya membatalkan pasal undang-undang, melainkan juga membentuk norma baru. Bagi mereka, itu adalah pelanggaran batas konstitusional.

Padahal, dalam banyak kajian hukum tata negara, peran Mahkamah Konstitusi sebagai positivelegislature bukanlah sesuatu yang tabu. Guru besar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie bahkan telah lama menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia, MK bisa dan perlu mengambil peran korektif ketika lembaga legislatif dan eksekutif gagal menghadirkan keadilan. Ini tidak lagi soal kekuasaan MK yang mengangkangi DPR, melainkan tentang keberanian untuk mengambil sikap ketika proses politik terlalu lambat atau terlalu sibuk menjaga kepentingan elit.

Dalam jurnal yang diterbitkan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, disebutkan bahwa judicialactivism MK adalah bentuk tanggung jawab dalam mengisi kekosongan norma demi menjamin konstitusionalitas tindakan negara. Jika ada ketimpangan hukum yang membuat hak rakyat terabaikan, MK tidak bisa tinggal diam hanya karena takut disebut terlalu aktif. Justru dalam negara hukum yang progresif, keberanian lembaga yudisial menjadi penyeimbang penting dari dominasi politik elektoral.

Sayangnya, kritik terhadap putusan ini datang dengan semangat yang lebih emosional ketimbang argumentatif. Ada partai yang menuduh MK inkonsisten karena mengubah sikap dari putusan sebelumnya. Padahal, perubahan sikap lembaga peradilan justru merupakan tanda adaptasi terhadap situasi yang berubah. Konstitusi bukan kitab suci yang harus ditafsirkan sama dalam setiap zaman. Ia hidup dan harus menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Sebagai Gen Z, saya merasa punya tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pemilih pasif. Survei LIPI dan Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa partisipasi politik Gen Z meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Lebih dari 60 persen menyatakan akan menggunakan hak pilih dan mendukung reformasi kelembagaan demi demokrasi yang sehat. Ini menunjukkan bahwa kami bukan generasi apatis. Kami hanya muak dengan politik yang sibuk memperdebatkan kekuasaan dan lupa pada kepentingan rakyat.

Saya melihat Mahkamah Konstitusi sedang menjalankan perannya dengan benar. Ia menjaga agar hak konstitusional rakyat untuk memilih tidak dikorbankan demi efisiensi prosedural. Ia melihat kenyataan di lapangan, bahwa pemilu serentak tidak ideal jika hanya dikejar demi penyederhanaan administrasi. MK ingin memastikan bahwa proses demokrasi tetap menjamin partisipasi yang berkualitas, bukan hanya kuantitas.

Sebaliknya, DPR dan partai politik perlu berkaca. Jika kritik terhadap putusan MK lebih dilandasi kekhawatiran kehilangan pengaruh, itu artinya ada yang salah dalam orientasi kerja legislatif. Demokrasi tidak seharusnya menjadi ajang saling cemburu antar lembaga negara. Demokrasi adalah arena kerja sama untuk menjamin hak rakyat dipenuhi sebaik mungkin.

Generasi saya tidak meminta banyak. Kami hanya ingin proses demokrasi yang rasional, inklusif, dan berpihak pada pemilih. Jika Mahkamah Konstitusi tampil menjadi pelindung hak kami, maka ia telah menjalankan tugas konstitusionalnya. Justru ketika DPR dan partai sibuk memperdebatkan soal “kewenangan siapa”, kami bertanya: siapa sebenarnya yang sedang memperjuangkan rakyat?

Jika menjaga konstitusi berarti harus melangkah berani melampaui garis formalistik, maka langkah itu bukan pelanggaran. Itu adalah tanggung jawab. Dan jika langkah itu membuat elit politik tidak nyaman, barangkali yang perlu diubah bukan Mahkamah Konstitusi, melainkan cara kita memahami demokrasi itu sendiri.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA