
Peristiwa perundungan yang menimpa seorang siswa SMP di Ciparay, Bandung, kembali membuka luka lama tentang rapuhnya perlindungan terhadap anak di negeri ini. Korban dipaksa meminum tuak, merokok, bahkan diceburkan kesumur oleh rekan sebayanya. Aksi itu tak hanya mencederai fisik korban, tetapi juga menyisakan trauma mendalam, dan yang lebih menyedihkan, dilakukan oleh anak-anak yang sejatinya masih dalam tahap pembentukan karakter.
Kasus inibukan yang pertama. Pada tahun 2023, seorangsiswa SMP di Bandung juga menjadi korban kekerasan oleh sebelastemannya, yang sempatmengguncangruangpublik (Kompas.com, 9–10/6/2023). Meskipunaparat, sekolah, dan pemerintah daerah telah mengupayakan langkah penanganan, termasuk pembentukan satgas perlindungan siswa, perundungan tetap saja muncul dan semakin kompleks. Ini menandakan bahwa yang kita hadapi bukan hanya persoalan teknis, tetapi krisis nilai yang bersifat struktural.
Masalah ini tak dapat dilepaskan dari sistem pendidikan dan sosialkita yang hari ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang sekuler—memisahkan nilai-nilai spiritual dari arah pembangunan manusia. Pendidikan lebih banyak diarahkan untuk mengejar output akademik dan kompetensi kerja, sementara aspek pembentukan kepribadian dan moral sering kali tersisih. Anak-anak dibesarkan dalam iklim kompetisi, bukan kolaborasi; didorong untuk unggul secara kognitif, tetapi sering kali minim bekal etik dan emosional.
Akibatnya, kekerasan menjadi gejala yang bukan hanya muncul di sekolah, tetapi di masyarakat luas. Perundungan hanyalah satu dari banyak ekspresi krisi sempati yang lebih besar. Kita sedang berhadapan dengan generasi yang hidup di tengah banjir informasi, tetapi minim rujukan moral. Di sinilah perlunya evaluasi menyeluruh atas fondasi sistem yang memben tuk mereka.
Dalam halini, nilai-nilai Islam sejatinya menawarkan perspektif yang komprehensif dan solutif. Islam tidak sekadar memberikan norma-norma moral, tetapi membangun sistem kehidupan yang secara terintegrasi mendidik, membina, dan menjaga masyarakat. Rasulullah bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagai mana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam pandangan Islam, menyakiti orang lain bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap nilai kasih sayang dan tanggungjawab sosial.
Solusi Islam tidak hanya hadir dalam bentuk nasihat atau program ad-hoc, melainkan membangun ekosistem kehidupan yang menumbuhkan kesadaran bertauhid dan berakhlak secara sistemik. Solusi Islam terhadap persoalan ini dibangun dalam tiga pilar utama: pendidikan, sosial, dan sistem hukum.
Pendidikan dalam Islam tidak hanya fokus pada transfer ilmu, tetapi pada pembentukan kepribadian yang kuat berbasis akidah. Anak-anak diajarkan untuk memahami makna tanggungjawab sejak dini, bahkan sebelum usia baligh, sebagai persiapan menjadi manusia yang sadar moral dan hukum. Kurikulum pendidikan selayaknya menanamkan kesadaran penuh seorang individu peserta didik sebagai makhluk Tuhan YME berikut serangkaian konsekuensi yang mengikutinya, sehingga tertanam dalam dirinya rasa tanggungjawab yang dilandaskan pada ketaqwaan.
Dalam pilar sosial, masyarakat Islam diposisikan sebagai penjaga nilai bersama. Orang tua, guru, tetangga, dan pemuka masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif dalam menjaga dan membina anak-anak di lingkungannya. Media massa juga dikendalikan agar tidak menyebarkan kekerasan, melainkan menjadi sarana edukasi publik yang menghidupkan nilai kasih sayang, empati, dan tanggungjawab.
Adapun dalam pilar hukum, Islam menerapkan sanksi yang tidak semata-mata represif, tetapi juga mendidik dan merehabilitasi. Pelaku yang sudah baligh dimintai pertanggungjawaban, namun pendekatannya tetap mempertimbangkan unsur pembinaan, bukan balas dendam. Sanksi ini dirancang untuk mencegah pengulangan dan memperbaiki perilaku, bukan hanyamemberikan efek jera semu.
Ketiga pilar inimembentuk satu sistem yang saling memperkuat: anak dididik sejak dini dengan nilai kebenaran, masyarakat menjadi pendukung pembinaan karakter, dan negara hadir sebagai pengatur yang menegakkan keadilan secara konsisten. Ini adalah model sistemik yang bukan hanya mengobati luka, tetapi mencegahnya sejak awal.
Tanpa keberanian untuk mereformasi sistem secara menyeluruh, segala program anti perundungan hanya akan menjadi upaya tambal sulam. Diperlukan transformasi paradigma—yakni kembali menjadikan nilai-nilai ilahiah sebagai fondasi kehidupan berbangsa. Hanya dengan itu kita bisa membentuk generasi yang kuat secara intelektual dan emosional, serta siap membangun peradaban yang bermartabat, yang baldatun thayyibatun warabbunghafur.