Oleh Ummu Aqilla FM, S.Pd. (Pendidik)
Di tengah gencarnya kampanye ketahanan pangan dan swasembada beras, Indonesia kembali dihadapkan pada paradoks yang menyayat hati. Beras, makanan pokok bagi lebih dari 270 juta jiwa, justru semakin mahal saat stok nasional dilaporkan melimpah. Ironi ini menjadi tamparan keras bagi logika ekonomi yang selama ini digembar-gemborkan, ketika pasokan tinggi, harga seharusnya turun. Namun, faktanya rakyat justru semakin susah mengakses makanan pokok yang semestinya terjangkau dikarenakan harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi) sehingga memberatkan rakyat kecil.
Masalah ini bukan semata soal panen atau produksi semata, melainkan soal distribusi dan struktur pasar yang timpang. Petani di desa-desa menjual gabah kering mereka dengan harga murah, sering kali di bawah biaya produksi. Namun di kota-kota besar, masyarakat membeli beras dengan harga tinggi yang memberatkan. Bahkan keberadaan Bulog yang diharapkan menjadi pengendali stok dan harga pun tampak seperti kehilangan taring. Bulog yang diharapkan menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Hal ini menyebabkan terganggunya persediaan beras dan harga naik. Inilah salah satu bukti pengaturan pangan dalam sistem kapitalisme yang tidak pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite.
Negara melalui berbagai lembaganya memang hadir dalam bentuk operasi pasar dan penyaluran beras murah. Tapi sayangnya, itu hanya solusi tambal sulam. Bukan langkah sistemik yang mampu merombak ketimpangan dalam rantai distribusi pangan. Di banyak tempat, operasi pasar hanya berdampak sesaat—tidak menyentuh akar masalah.
Tak bisa dipungkiri, impor beras, meskipun stok nasional melimpah, tetap dilakukan atas nama stabilisasi. Ini menimbulkan tanda tanya besar, siapa yang diuntungkan dari kebijakan impor di tengah panen raya? Petani lokal merugi, konsumen tidak menikmati harga murah, namun kuota impor tetap berjalan lancar. Dalam konteks ini, kebijakan negara justru tampak berpihak pada importir dan pengusaha besar, bukan pada rakyat dan petani kecil.
Dalam kapitalisme, pangan bukan lagi hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, tapi telah berubah menjadi komoditas yang lebih menguntungkan elite ekonomi dan politis daripada menjadi hak dasar rakyat yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban naik turunnya harga
Melalui pasal 33 UUD 1945, dinegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu termasuk sektor pangan. Maka, tanggung jawab negara seharusnya bukan hanya menyediakan, tetapi juga memastikan harga terjangkau, distribusi adil, dan kebijakan tidak dikendalikan oleh kekuatan pasar bebas.
Negara seharusnya hadir lebih dari sekadar regulator, melainkan juga sebagai pelindung dan penyeimbang. Negara harus berani memotong rantai distribusi yang terlalu panjang, memperkuat peran koperasi tani, serta menjamin petani mendapatkan harga yang layak. Intervensi bukan berarti anti-pasar, tetapi menciptakan pasar yang adil dan berkeadilan.Ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah yang menerapkan aturan Islam.
Dalam Islam, negara seharusnya menjamin kebutuhan pokok rakyattermasuk masalah pangan. Negara diharuskan mengelola mulai dari produksi, distribusi, sampai pada cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya sebagai komoditas dagang. Seorang pemimpin dalam Islam bahkan sampai memberikan subsidi bibit, bubuk, maupun sarana produksi lainya kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan, juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga stabil dan rakyat terjamin.
Negara jugaharus memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga. Pemastian ini dalam rangka wujud ketundukan pada syariat Islam yang melarang ada intervensi harga. Berdasar hal ini, maka solusi hakiki bukanlah tambal sulam regulasi, tetapi diperlukan perubahan sistem.Negara bukan sekadar simbol. Ia adalah penjamin keadilan. Dalam isu pangan ini, saatnya negara berdiri di sisi yang benar—bersama petani dan rakyat, bukan bersama kepentingan segelintir elite. Wallahu’alam bishawab.