
RANTAU – Pengadilan Negeri (PN) Rantau mengabulkan sebagian gugatan praperadilan yang diajukan dua buruh harian lepas asal Tabalong Roni (42) dan Umar (42) yang melayangkan gugatan kepada Polres Tapin.
Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Tunggal PN Rantau, Shelly Yulianti, Kamis (19/6) lalu dalam perkara nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Rta dan langsung menjadi sorotan publik.
Dalam keterangan resmi, Humas PN Rantau, Dwi Army Okik Arissandi membeberkan lima poin penting dalam amar putusan yang memenangkan sebagian permohonan pemohon.
Pertama, permohonan dikabulkan untuk sebagian. Kedua, tindakan penangkapan dan penahanan oleh termohon dinyatakan tidak sah dan ketiga, hakim memerintahkan pembebasan para pemohon segera setelah putusan dibacakan.
Poin keempat dalam putusan menyebutkan bahwa hak-hak pemohon, termasuk hak atas pendidikan, kehormatan dan kedudukan sosial harus dipulihkan. Sementara biaya perkara dinyatakan nihil dan selebihnya permohonan ditolak.
Meskipun demikian, status tersangka Roni dan Umar tetap dinyatakan sah. Hakim tidak mengabulkan permohonan pembatalan status tersangka karena sidang praperadilan hanya menilai dari aspek formil, bukan materi perkara.
“Putusan ini hanya menyentuh prosedur penangkapan dan penahanan, bukan menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Jadi status tersangka mereka tetap sah,” ucap Dwi Army.
Sebelum putusan dibacakan, Roni dan Umar telah lebih dulu dibebaskan dari tahanan Polres Tapin, karena masa penahanan berakhir dan berkas perkara belum dinyatakan lengkap (P21) oleh kejaksaan.
Meski telah bebas dari tahanan, keduanya masih diwajibkan lapor melalui kuasa hukum. Gugatan praperadilan ini berawal dari dugaan pelanggaran prosedur oleh penyidik.
Adapun penangkapan terhadap Roni dan Umar pada 14 April 2025 dinilai tidak sah, karena dokumen penangkapan dan penahanan baru diterbitkan dua hari kemudian, pada 16 April 2025.
Kasus ini menjadi sorotan karena merupakan perkara praperadilan pertama yang dikabulkan sebagian di Tapin dalam beberapa tahun terakhir. Terakhir kali gugatan praperadilan terjadi di wilayah ini adalah pada tahun 2017.
Dwi Army berharap putusan ini menjadi pembelajaran penting, baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat.
“Masyarakat perlu tahu bahwa ada mekanisme hukum yang bisa digunakan jika merasa haknya dilanggar. Kedepan, kami juga mendorong peningkatan penyuluhan hukum agar warga lebih sadar akan hak-haknya dalam proses hukum,” pungkasnya. her/ani