
Selama Penulis bertugas sebagai pengawas,dalam setiap pelaksanaan investigasi maupun pemeriksaan lapangan di kabupaten, Penulis menyempatkan datang setidaknya di 3 kantor desa untuk mengambil potret pelaksanaan layanan publik di desa. Kami meminta informasi kepada aparatur desa, apakah ada kendala layanan publik yang dihadapi masyarakat. Kedatangan sengaja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Beragam keadaan didapati. Ada kantor desa yang beroperasi dengan baik, kepala desa dan aparaturnya lengkap berkantor. Asumsinya, layanan publik di desa berjalan. Namun tidak sedikit kantor desa hanya ditunggu 1-2 orang aparatur desa, Kepala Desa dan aparatur lainnya tidak berkantor, bahkan pernah ditemui kantor desa terkunci tidak ada orang padahal di jam operasional kerja.
Padahal kantor desa adalah ujung tombak pemerintahan daerah. Merupakan akses pertama masyarakat desa dalam urusan layanan publik. Bila aparatur desa acuh terhadap pelayanan, masyarakat desa pun juga acuh, enggan terlibat dalam urusan desa. Padahal, partisipasi masyarakat desa merupakan pilar penting dalam keberhasilan perencanaan pembangunan desa. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah desa dengan masyarakatnya, dapat memastikan arah kebijakan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat berjalan selaras untuk dicapai.
Melaksanakan pemerintahan di desa, bukan hal sederhana. Di dalam arah pembangunan dan sistem pemerintahan desa, kepala desa serta aparatur desa mesti memperhatikan asas kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif dari masyarakat. Arah pembangunan desa mesti disusun dalam dokumen perencanaan kegiatan pembangunan desa,yang dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa) untuk jangka waktu 6 tahun. Kemudian perlu disusun rencana kerja pemerintah desa (RKP Desa) sebagai penjabaran dari RPJM desa untuk jangka waktu 1 tahun.
Adapun penyusunan RPJM desa maupun RKP desa, harus merujuk pada arah kebijakan strategis atau upaya terpadu pembangunan desa secara berkelanjutan, yang disebut SDGs desa, merujuk pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes) No. 6 Tahun 2023 tentang Perubahan Permendes No. 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dimana terdapat 17 arah tujuan SDGs Desa sebagai opsional prioritas penyelenggaraan pemerintahan desa, kemudian terinput dalam Sistem Informasi Desa, yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat desa maupun pihak ketiga yang membutuhkan data dan informasi.
Bahkan diatur dalam Pasal 17 Ayat (4) Permendes tersebut, masyarakat desa dapat memberikan masukan perbaikan mengenai data SDGs desa, dengan membandingkan antara data SDGs desa di Sistem Informasi Desa dan kondisi objektif yang ada di tingkat desa, RT, dan keluarga. Kemudian masyarakat desa berhak melaporkannya kepada Badan Permusyarawatan Desa (BPD), apabila terdapat ketidaksesuaian.
Bila RPJM desa maupun RKP desa tidak disusun dengan memperhatikan kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif dari masyarakat. Alhasil pelaksanaan program prioritas maupun pembangunan desa tidak maksimal manfaatnya. Pernah masyarakat menyampaikan laporan ke Ombudsman, bahwa di desanya terdapat pembangunan jembatan namun masih berserakan banyak sisa material tidak terpakai, jalan rusak di perdesaan sehingga menyusahkan aktifitas perkebunan masyarakat, fasilitas bangunan sekolah maupun puskesdes yang rusak parah minim fasilitas. Tapi masyarakat desa enggan menyampaikan keluhan ke kantor desa, mungkin ragu apabila melihat keadaan kantor desa yang hanya ditunggu 1-2 orang aparat.
Belum lagi ketika ada masyarakat desa meminta informasi transparansi dana desa, atau realisasi program pembangunan desa. Ada saja terkadang oknum aparat desa yang keberatan. Menolak keterbukaan informasi beralasan sebagai urusan privasi desa yang tidak etis bila nanti berpotensi di kritisi publik. Paranoid bila keterbukaan ini justru menjadi celah untuk di bawa-bawa ke ranah hukum, khawatir menjadi bahan politik lawan ketika menjelang Pilkades.
Pendapat penulis, seharusnyasaran masukan, maupun kritik yang disampaikan masyarakat, sangat penting bagi jalannya pemerintahan desa. Karena melalui partisipasi masyarakat, artinya masyarakat secara aktif terlibat dalam proses penentuan arah kebijakan. Hal ini baik karena kebijakan desa akan lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat. Selain itu, partisipasi akan membentuk “rasa memiliki”, sehingga memunculkan rasa tanggung jawab bersama terhadap hasil pembangunan maupun aset sarana fasilitas desa.
Partisipasi masyarakat akan menciptakan iklim yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, bahkan investasi. Karena keterlibatan masyarakat dalam penentuan pengambilan keputusan dan kebijakan di pemerintahan desa, menjadikan nilai tambah bagi investor untuk berkeyakinan membangun atau mengembangkan usaha di desa, semisal membuka pengelolaan objek pariwisata alam, karena merasa aman dengan dukungan masyarakat desa yang turut menjaga kebersihan, keamanan, dan ketertiban. Tentu hal ini akan mendorong roda perekonomian desa, atau justru memberikan kesempatan bagi masyarakat desa sendiri untuk mengembangkan usaha.
Jumlah desa dan kelurahan berdasarkan data yang diakses penulis melalui laman Badan Pusat Statistik Provinsi Kalsel. Hingga tahun 2024, terdapat 2.015 desa dan kelurahan di Provinsi Kalsel, khusus desa berjumlah 1.871. Kemudian dana desa se-Provinsi Kalsel melalui APBN di tahun anggaran 2025 sejumlah sekitar 1,4 Triliun berdasarkan lampiran pagu definitif dana desa TA 2025 yang dapat diakses datanya melalui laman www.djpk.kemenkeu.go.id. Bila disebar keseluruh desa di Kalsel, rata-rata setiap desa memperoleh 600 juta s.d 1 miliar rupiah, belum lagi ditambah dengan dana hasil PAD Desa, Alokasi Dana Desa dari APBD Kabupaten, bagi hasil pajak & retribusi daerah, bantuan keuangan dari APBD Provinsi, Hibah, dan lain-lain. Contohnya di Kabupaten Balangan, rata-rata setiap desa mengelola total 2 miliar dana desa pertahun.
Dana tersebut cukup besar. Sangat disayangkan apabila perencanaan pengelolaan dana desa minim partisipasi masyarakat, akibatnya mengarahkan desa memilih program praktis untuk realisasi penyerapan anggaran, namun kurang signifikan manfaatnya bagi kemajuan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakatnya.
Semoga kepemimpinan desa tidak lagi hanya mendasarkan kepada ketokohan calon kepala desa, apalagi garis turunan kekeluargaan dari kepala desa sebelumnya. Namun di dasarkan kepada kompetensi dan komitmen dari kepala desa, mempimpin untuk tujuan utama mensejahterakan masyarakat desa.
Terakhir, untuk membangkitkan minat partisipatif masyarakat, konkritnya di dalam pemerintahan desa mesti dapat menciptakan ruang dialog maupun komunikasi yang inklusif. Juga diiringi dengan upaya mendorong kapasitas masyarakat desa untuk mengambil peranan yang lebih aktif, semisal menggerakan kepemudaan desa, mengaktifkan kelompok tani, pemberdayaan perempuan di desa, dan lainnya. Ruang dialog dan peranan aktif tersebut akan membuka kesempatan masyarakat dalam menyampaikan ide gagasan untuk kelanjutan pembangunan desa yang mensejahterakan. Sehingga setiap kebijakan, peraturan, maupun tindakan aparatur desa mendapat dukungan dari masyarakat.