
Oleh : Rizal Amirul Arifin
Waria..Waria..Waria…Sebutan khas bagi seseorang yang menyerupai perempuan. Waria merupakan penggabungan dua kata, yakni wanita pria dimana secara istilah diartikan sebagai seseorang yang secara lahiriah merupakan laki-laki tetapi secara batiniah mengidentikkan dirinya sebagai perempuan.1Hal ini tentu mengundang berbagai pandangan dan problem sosial di masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat dibentuk berdasarkan etika dan adat istiadat secara turun-temurun dimana sikap, perilaku, bahkan pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki diatur sedemikian rupa. Maka dari itu, masyarakat menentang adanya upaya mengidentikkan diri kepada lawan jenisnya karena dianggap melanggar etika sosial yang berlaku.
Masyarakat memiliki panggilan yang beragam untuk menyebut laki-laki yang mengidentikkan dirinya sebagai perempuan. Waria dahulu disebut sebagai kedi atau wandu di wilayah Jawa, Bali, dan Sulawesi. Sedangkan di wilayah Makassar dan dikalangan masyarakat Bugis waria disebut sebagai kawe-kawe atau calabai.2Bencong atau banci menjadi sebutan yang trend di berbagai wilayah terutama di Jakarta sebelum diperhalus menjadi waria. Saat ini penyebutan waria semakin diperhalus menjadi transpuan sebagai upaya menghormati haknya sebagai manusia.
Patologi Waria
Fenomena waria atau transpuan di kalangan masyarakat menjadi dinamika sosial yang mulai berani menampakkan eksistensinya dengan berbagai argumen dialektis atas keberadaannya. Waria dianggap sebagai suatu penyimpangan karena melangkahi normalitas gender yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia hanya mengenal dan menyepakati adanya dua gender, yakni laki-laki dan perempuan. Demikian juga dengan etika berpasangan,bahwa tidak ada tempat bagi laki-laki yang berpasangan dengan sesama jenisnya begitu juga dengan perempuan. Maka, akan dianggap abnormal apabila seseorang yang hidup di tengah masyarakat memiliki perilaku yang tidak baku sesuai tatanan sosial.
Merujuk pada telaah patologi sosial, fenomena waria ini menjadi suatu urgensi dimasyarakat karena sangat rentan memberikan pengaruh negatif bagi tatanan sosial yang baku bagi generasi mendatang. Patologi sosial atau masalah sosial pada waria kian merujuk pada penyimpangan gender yang dapat berujung tragis pada penyimpangan seksualitas. Meski demikian perlu dipahami sebelum membahas lebih dalam mengenai definisi waria dalam berbagai pandangan.
Waria dalam KBBI diartikan sebagai wanita pria atau pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita dan pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita serta wadam. Secara gender waria hanya mengidentikkan perasaan dan penampilannya sebagai wanita. Sedangkan secara seksualitas sebagian waria tidak hanya mengindektikkan penampilannya seperti perempuan tetapi juga dengan orientasi seksualnya yang tertuju pada laki-laki sejenisnya karena menganggap dirinya adalah perempuan seutuhnya.Penyimpangan seksualitas inilah yang berusaha diredam oleh masyarakat karena akan membawa berbagai dampak negatif baik secara sosial maupun kesehatan.
Fenomena lahirnya waria di masyarakat dilatar belakangi oleh berbagai faktor baik dari lingkungan sosial, keluarga, maupun psikologis pada saat masa anak-anak. Keluarga menjadi faktor peting dan utama dalam mengarahkan anak kepada sikap dan perilaku yang baku di masyarakat. Namun, sering kali orang tua secara tidak sadar memberikan mainan atau memberikan sesuatu yang identik dengan lawan gender sang anak.3 Sedangkan faktor lingkungan menjadi faktor pendukung pembentukan identitas waria dalam diri seseorang. Seringkali anak yang memiliki kelainan gender dipanggil dengan sebutan banci yang justru mengarahkan sang anak untuk menyadari perbedaan yang dimilikinya. Siklus ini akan berkembang seiring bertambahnya usia sampai pada akhirnya jiwa dan raga anak tersebut telah terpatri bahwa dirinya memang perempuan yang hidup di tubuh laki-laki.
Media Sosial: Antara Hak Berekspresi atau Pengakuan Eksistensi
Undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak memberikan jaminan yang merujuk secara khusus bagi waria atau transpuan dalam mendapatkan perlindungan. Hal ini disebabkan karena identitas sebagai waria sudah dianggap menyimpang apalagi dengan status pekerjaan mereka yang cenderung mengarah di dunia hiburan seperti pengamen, wanita pendamping karaoke, bahkan sebagai pekerja seks komersial. Meski demikian, haknya sebagai warga negara Indonesia dan haknya sebagai manusia tetap diberikan di luar identitasnya sebagai waria. Kekerasan seksual terhadap waria juga juga sering terjadi karena belum adanya perlindungan yang sah. Maka, terbentuklah Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) dan LSM Keluarga Besar Waria Yogyakarta (KEBAYA) sebagai bentuk resiliensi mandiri bagi kelompok waria di Yogyakarta.4 Komunitas ini bergerak untuk memberikan sosialisasi mengenai kesehatan dan pemberdayaan ekonomi bagi waria di Yogyakarta karena resiko identitas dan profesi yang kian mengenaskan di ranah publik.
Penyalahgunaan Hak Asasi Manusia dalam konteks transgender menjadi kian runyam dengan adanya perkembangan zaman. Pada dasarnya HAM merujuk pada hak seseorang sebagai manusia yang berhak untuk hidup dan menjalani kehidupannya secara adil.5 Namun, seringkali HAM disalah pahami untuk membenarkan identitasnya sebagai waria bukan sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Saat ini HAM menjadi topik perbincangan dunia yang mampu membangkitkan kesadaran setiap individu untuk mendapatkan haknya begitu pun dengan waria. Berdirinya komunitas waria di Yogyakarta menandakan eksistensi waria yang mendapat perlindungan dari HAM, bahkan mampu merobohkan stigma waria yang pada awalnya dipandang sebagai penyimpangan sosial menjadi takdir mereka di dunia.
Fenomena ini diperkuat dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial di ruang publik. Aplikasi TikTok dengan beragam fitur komunikasi seperti live dan sticht video menjadi populer diberbagai kalangan baik anak kecil sampai orang tua bahkan tidak luput dimanfaatkan oleh waria atau transpuan untuk menunjang penghidupannya. Misalnya fenomena waria yang melakukan live TikTok saat mengamen di lampu merah Bogem Prambanan. Semakin sulitnya mendapatkan penghasilan dari mengamen di jalan kini waria yang terafiliasi dengan Pondok Pesantren Al Fatah Yogyakarta melakukan trobosan, yakni dengan memanfaatkan fitur live TikTok untuk memperluas mangsa pasar untuk mendapatkan penghasilan sehair-hari.
Hal ini kian menjadi pemandangan yang sering dijumpai dan berakhir dengan kata “normal terjadi di kota-kota besar”. Kalimat ini menjadi penutup dari peristiwa yang akhir-akhir ini marak di dua dimensi yaitu ranah offline dan online.
Fenomena lain yang tidak kalah mencengangkan adalah waria atau transpuan berusia dari anak kecil sampai remaja. Fenomena ini secara gamblang terlihat di publik tanpa adanya kontrol sosial yang mengikat mereka karena berlindung di balik kata HAM.Tatanan sosial yang semula mengikat masyarakat untuk tunduk dan lurus pada aturan-aturan tidak tertulis namun baku kini tergerus dengan satu kalimat, yakni “HAM”.
Masyarakat menyadari bahwa perbedaan dan orientasi seseorang tidak dapat disalahkan atau dipaksakan, namun hal yang menjadi keresahan masyarakat ketika HAM disalahgunakan untuk membenarkan perilaku atau tindakan penyimpangan dari praktik orientasi seksual yang dimiliki waria. Kondisi media sosial saat ini telah mengkhawatirkan karena dijadikan sebagai media untuk menormalisasikan adanya perilaku penyimpangan yang mana dalam konteks ini adalah waria atau transpuan di ranah publik.