
Selain kasus korupsi yang tiada habisnya, belakangan ini kasus-kasus yang sering menjadi sorotan publik adalah berbagai kasus penegakan hukum, seperti polisi cabul, polisi tembak polisi, polisi tembak masyarakat, keterlibatan aparat dalam sabung ayam, dan berbagai tindak pidana lainnya. Artinya, semakin kesini, aparat yang seharusnya menjadi penegak hukum, justru menjadi pelaku yang terlibat dalam tindak pidana.
Baru-baru ini, viral video sejumlah pria terlibat bentrok menenteng senapan laras panjang di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Peristiwa itu disebutkan terjadi pada Rabu, 30 April 2025. Peristiwa tersebut viral di media sosial setelah diunggah oleh akun instagram @warungjurnalis. Dalam video terlihat bahwa bentrok tersebut terjadi di ruas jalan raya hingga menghalangi lalu lalang kendaraan.
Satu kelompok massa terlihat berada di balik tembok sebuah bangunan dan kubu lainnya berada di jalan dekat mobil berwarna kuning. Kelompok yang berada di jalanan terlihat mengeluarkan sejumlah senjata laras panjang dan mengarahkan kepada kubu lainnya. Sementara itu, kubu di balik tembok bangunan terlihat melempar benda ke arah lawan. Dari narasi yang beredar, bentrokan itu dipicu terkait lahan yang saat ini sedang diusut polisi.
Dalam video yang beredar, tampak sekelompok pria mengeluarkan senjata laras panjang itu dari bagasi sebuah mobil berwarna kuning yang terparkir di dekat lokasi. Begitu bagasi mobil itu terbuka, terlihat empat pria langsung mengambil senjata tersebut. Mereka mengacungkan senjata laras panjang itu ke arah depan. Dalam video tersebut, terdengar beberapa kali letusan yang diduga berasal dari senjata api, dan dari arah berlawanan, sekelompok orang yang membawa senjata laras panjang itu, terlihat dilempari batu oleh lawannya.
Disfungsi Institusional
Apa yang ingin saya sampaikan? Kemang bukan daerah konflik, bukan juga seperti wilayah konflik di luar negeri sana. Kemang merupakan kawasan urban yang bisa dikatakan ‘elite’ yang ada di Ibukota, hanya sepelemparan batu dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Ironi paling ‘telanjang’ dari klaim kita sebagai negara hukum. Jika di titik yang seharusnya menjadi jantung penegakan hukum pun para preman bisa memamerkan senjata api tanpa gentar, lantas hukum macam apa yang masih bisa dibanggakan?
Bagi saya pribadi, fenomena ini bukan sekadar insiden. Ia adalah indikator kerusakan yang lebih dalam yaitu: “premanisme bersenjata yang menunggangi kekosongan atau tumpulnya fungsi negara.”
Sekali lagi saya mempertegas, bentrokan itu terjadi di jantung Ibu Kota, tepatnya di Kemang, sebuah kawasan yang hanya berjarak kurang dari 5 kilometer dari Mabes Polri. Bila di dekat institusi tertinggi penegakan hukum saja, situasi bisa sebrutal ini, maka bayangkan bagaimana rawannya keamanan masyarakat di wilayah-wilayah yang jauh dari sorotan pusat.
Pembenahan
Negara hukum dalam doktrin dan praktiknya memiliki tanggung jawab untuk memastikan supremasi hukum (rule of law), menjamin ketertiban, dan melindungi warganya dari kekerasan, termasuk apapun bentuk premanisme. Namun, insiden Kemang justru menyodorkan realitas yaitu ketidakhadiran aparat dalam merespons potensi konflik, keterlambatan dalam tindakan, dan kemunduran fungsi negara sebagai penyedia rasa aman dan nyaman.
Lantas, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: apa harus ada korban lagi, Polri berbenah dalam penegakan hukum? apa harus viral dulu, disorot publik dulu, dilihat Presiden dulu, baru mau benar-benar bekerja membereskan persoalan ini?
Kalau kita masih teguh sebagai negara yang menyandang status sebagai rechtsstaat (negara hukum), apapun yang bernama premanisme, apalagi menggunakan senjata larang panjang, maka seharusnya adalah “zero tolerance.” Jangan sampai, fungsi-fungsi negara hanya tampak secara simbolik dan seremonial, tetapi kehilangan daya kendali atas monopoli kekerasan yang seharusnya menjadi hak eksklusifnya.
Terkait senjata laras panjang yang digunakan untuk beratraksi dalam konflik tersebut, maka timbul pertanyaan krusial dari saya: dari mana asal senjata laras panjang tersebut? Apakah senjata itu teregistrasi secara legal? Apakah pemiliknya terafiliasi dengan institusi negara? Ataukah ini adalah fenomena menyedihkan dari kebocoran senjata milik negara ke tangan sipil atau kelompok premanisme tertentu?
Kurang banyak kasus apalagi fenomena polisi tembak polisi, polisi tembak masyarakat, polisi tembak aparat TNI, bahkan masyarakat tembak masyarakat terjadi di negara kita. Premanisme bersenjata di ruang publik adalah bentuk delegitimasi negara. Ketika kelompok premanisme tampil dominan dengan simbol-simbol kekuatan koersif seperti senjata api, senjata tajam, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman langsung terhadap kedaulatan hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Masyarakat yang lalu-lalang di sekitar lokasi kejadian tentu bukan hanya terpapar bahaya fisik, tapi juga trauma sosial. Mereka menyaksikan langsung kekacauan yang mengikis rasa aman sebagai Hak Asasi Manusia yang seharusnya dilindungi oleh negara. Bila negara gagal memberikan jaminan atas hak dasar tersebut, lantas kepada siapa masyarakat harus menggantungkan harapannya?
Jika masyarakat di kawasan elit ibu kota saja sudah harus mempertaruhkan nyawa untuk sekadar melintas di jalan publik, maka bagaimana dengan masyarakat di daerah terpencil yang tidak tersorot kamera dan tidak mendapat perhatian media? Bagaimana dengan mereka yang setiap hari hidup berdampingan dengan ancaman kekerasan dari kelompok preman bersenjata, namun tak berani melapor karena justru takut kepada pihak yang seharusnya melindungi?
Di satu sisi, saya juga perlu tegaskan bahwa premanisme tidak datang dengan sendirinya. Di tengah kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, dan minimnya akses kerja yang layak, premanisme menjadi jalan pintas untuk bertahan hidup. Ketika negara gagal menciptakan sistem yang adil dan inklusif, maka sebagian masyarakat akan mencari ‘sesuap nasi’ demi bertahan hidup, dengan caranya yang diyakini benar dan instan, akhirnya mengangkat senjata dan merampas ruang publik menjadi “secara sadar dilanggengkan.”
Akar Permasalahan Sistemik
Negara perlu mengidentifikasi akar sosiologis dan ekonomis dari munculnya jaringan kekerasan sipil ini. Namun satu hal yang tidak bisa ditawar adalah negara tidak boleh berkompromi dengan penggunaan kekerasan ilegal oleh baik oleh aparat negara hingga aktor non-negara. Respon terhadap premanisme tidak bisa hanya bersifat koersif semata. Menangkap pelaku, menyita senjata, dan mempublikasikan keberhasilan aparat memang penting, tapi bukan solusi jangka panjang.
Negara harus kembali hadir sebagai penjamin kesejahteraan, bukan sekadar penegak hukum. Pemerintah pusat maupun daerah harus membuka akses lapangan kerja yang berkelanjutan, memberdayakan ekonomi lokal, dan memastikan bahwa layanan publik diterima oleh mereka yang paling membutuhkan. Sistem pengawasan sosial juga perlu diperkuat agar ruang-ruang kosong kekuasaan tidak lagi diisi oleh kelompok-kelompok preman bersenjata.
Eskalasi premanisme adalah kegagalan dalam tata kelola ruang publik secara adil dan berkelanjutan. Ketika negara menyerahkan ruang-ruang vital seperti pasar, terminal, pelabuhan, hingga perkampungan padat kepada kekuatan informal, maka legitimasi negara secara de facto tergantikan oleh premanisme. Bahkan, dalam beberapa kasus, aktor-aktor negara justru berkolaborasi atau “berdamai” dengan kelompok-kelompok preman untuk menjaga status quo dan keuntungan politik tertentu.
Mitigasi
Premanisme adalah bentuk lain dari kriminalitas yang tumbuh dari ketimpangan struktural. Ia tidak sekadar soal kekerasan atau pungutan liar, tetapi tentang hilangnya kepercayaan warga terhadap negara. Ketika warga tidak lagi percaya bahwa hukum bisa melindungi mereka, ketika birokrasi hanya berpihak pada elit, maka muncul ruang-ruang kekuasaan alternatif: preman, mafia tanah, debt collector ilegal, hingga kelompok paramiliter.
Penyelesaian premanisme bukan semata dengan pendekatan represif. Diperlukan tata kelola ruang publik yang transparan, partisipatif, dan berpihak pada rakyat. Pemerintah daerah perlu merancang ulang sistem pengelolaan pasar, terminal, pelabuhan, dan ruang umum lainnya agar tidak diserahkan pada kekuatan informal.
Sinergi antaraparat menjadi kunci. Aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP harus berkolaborasi aktif untuk menjaga keamanan dan ketertiban ruang publik. Penempatan personel keamanan yang humanis, patroli yang intensif, serta kehadiran negara yang nyata akan memperkecil ruang gerak premanisme. Namun demikian, tindakan represif harus selalu dibarengi dengan penguatan jaring pengaman sosial seperti: akses pendidikan, lapangan kerja, dan pemberdayaan masyarakat.
Jika negara terus gagal hadir secara adil dan menyeluruh dalam mengelola ruang publik, maka jargon “negara hukum” hanya menjadi simbol kosong yang tidak bermakna. Dalam kondisi itu, warga akan terus hidup dalam ketakutan, hukum hanya menjadi alat elite, dan premanisme menjadi bagian dari sistem yang secara sadar dilanggengkan.