
Di negeri ini, terkadang yang dianggap paling mengganggu tidak datang dari hoaks atau ujaran kebencian, melainkan dari kejujuran yang terlalu terang. Terlebih jika kejujuran itu ditulis dengan struktur yang rapi, bahasa yang tenang, dan menyasar wilayah yang selama ini enggan disentuh. Maka satu opini yang ditulis dengan niat berpikir tiba-tiba menjadi ancaman. Bukan pada isinya, melainkan pada keberanian di baliknya.
Seorang penulis opini yang mengulas sepak terjang putra penguasa dalam arena politik mengalami dua kali kecelakaan dalam satu hari. Diserempet oleh pengendara bermotor dengan helm tertutup wajah. Pertama saat mengantar anak ke sekolah. Kedua terjadi beberapa jam setelahnya, dengan pelaku dan kendaraan berbeda. Keduanya menyebabkan ia jatuh. Tidak ada tuntutan resmi yang diajukan. Namun rasa takut muncul. Trauma bertumbuh. Penulis itu kemudian meminta artikelnya dicabut.
Redaksi menolak. Secara prosedur, penghapusan opini memerlukan rekomendasi dari Dewan Pers. Media mengarahkan penulis agar terlebih dahulu mengadu ke lembaga itu. Penulis mengikuti saran. Namun hingga kini belum ada pernyataan atau surat resmi yang keluar. Di saat bersamaan, artikelnya hilang dari ruang baca daring. Tautannya tetap hidup, namun isi tulisannya lenyap. Seolah opini yang semula dianggap layak tayang tiba-tiba menjadi beban yang ingin cepat dilupakan.
Dalam demokrasi sehat, opini tidak dihakimi berdasarkan siapa yang tersentuh olehnya. Kritik dibalas dengan argumen. Tulisan dijawab dengan tulisan. Jika satu opini yang sah secara hukum dapat mengakibatkan intimidasi fisik, maka ada yang jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang sekadar keretakan etika publik. Yang sedang rapuh adalah semangat kita menjaga demokrasi tetap bernyawa.
Kejadian ini memperlihatkan dua kerusakan sekaligus. Pertama, keberanian sipil yang dirusak dengan cara-cara yang menyasar fisik. Kedua, ruang publik yang mengaburkan posisi dalam situasi genting. Seharusnya media berdiri membela hak publik atas narasi yang jujur. Namun ketika tekanan datang dalam bentuk kekerasan, responsnya menjadi gamang. Opini itu dihapus tanpa transparansi. Publik dibiarkan menebak-nebak.
Dalam teori demokrasi deliberatif dari JurgenHabermas, ruang publik hanya mungkin hidup apabila semua warga diberi akses dan rasa aman dalam menyampaikan pikirannya. Keamanan tidak hanya berarti bebas dari kekerasan, namun juga bebas dari rasa takut yang dibangun melalui teror simbolik. Ketika satu tulisan bisa dibungkam melalui ketakutan, maka seluruh proses deliberatif kehilangan makna. Demokrasi berubah menjadi dekorasi prosedural.
Dari sisi hukum, Pasal 28E Undang-Undang Dasar menjamin setiap orang dan warga negara tentunya untuk menyatakan pendapat. Undang-Undang Pers menjamin independensi redaksi dan perlindungan terhadap narasumber serta penulis. Kejadian ini melampaui sekadar editorial. Ia menyentuh jantung konstitusi. Jika pembungkaman dapat terjadi melalui metode kekerasan yang mengarah tanpa pelaku jelas, maka instrumen negara seharusnya segera bertindak. Pembiaran hanya akan mengundang pola serupa di masa depan.
Kondisi ini menyingkap wajah demokrasi yang semakin tipis kulitnya. Goresan kecil langsung membuatnya merah. Kalimat kritis langsung dibaca sebagai serangan. Argumentasi dianggap ancaman. Dalam suasana seperti ini, yang berkembang bukanlah kebebasan berpikir, melainkan kepatuhan terhadap selera kuasa.
Kita sedang menyaksikan satu bentuk baru dari sensor. Ia tidak mengandalkan stempel institusi, melainkan tekanan yang menggugurkan keberanian dari dalam. Penulis yang tadinya ingin mengoreksi malah terpaksa menghindar. Media yang tadinya mengafirmasi kini memilih menyusut. Opini yang tadinya hendak membuka mata kini justru dipaksa tutup usia dini.
Dalam situasi ini, Gen Z tidak tinggal diam. Generasi ini tumbuh dengan wacana digital, menyerap demokrasi dari layar, meme, dan ruang diskusi daring. Merekalah yang mengunggah, membagikan, dan mengarsipkan ulang opini yang hilang. Mereka menjadikan arsip sebagai bentuk perlawanan terhadap pelupaan sistematis. Mereka percaya bahwa demokrasi tidak diwariskan, namun dirawat. Di tangan mereka, keberanian muncul tidak selalu dengan pengeras suara, tetapi dengan layar dan jempol yang tak henti menekan tombol kirim.
Gen Z membawa harapan baru yang tak selalu manis. Mereka sinis, kadang nyinyir, namun menyimpan kesetiaan pada gagasan bahwa kebenaran tidak bisa diredam hanya karena membuat penguasa merasa risih. Mereka belajar dari sejarah, dari bagaimana suara-suara di masa lalu hilang ditelan gelombang represi. Hari ini mereka bertanya ulang, siapa yang berhak menentukan tulisan mana yang pantas dibaca dan tulisan mana yang harus dihapus?
Demokrasi tidak tumbuh dari kebiasaan menyenangkan semua pihak. Ia butuh ruang untuk tidak setuju, untuk merasa tersinggung, dan untuk tetap berpikir setelahnya. Jika tulisan yang sah dan argumentatif bisa hilang tanpa penjelasan, maka tak ada lagi jaminan bagi keberlangsungan diskusi publik yang rasional. Yang akan tersisa hanya euforia pemilu dan parade jargon, tanpa keberanian membongkar kenyataan.
Yang lebih mengkhawatirkan dari sebuah artikel yang dihapus adalah ketakutan yang menjalar setelahnya. Ketakutan yang membuat penulis lain ragu untuk bicara. Ketakutan yang membuat media menimbang mana yang aman terlebih dahulu. Ketakutan yang, jika dibiarkan, akan menggantikan keberanian sebagai fondasi berpikir bangsa.
Jika satu tulisan bisa mengundang dua serempetan dan satu penghapusan, maka sudah waktunya kita bertanya: demokrasi macam apa yang sedang kita bangun, jika tubuh lebih mudah jatuh daripada ide?