Fadil Aulia (Pegiat Hukum/ Alumni Magiste Ilmu Hukum UGM)
Terungkapnya beberapa kasus korupsi yang melibatkan Hakim dan aparatur peradilan dalam beberapa waktu belakangan menjadi pukulan telak bagi dunia peradilan. Telak sekali karena kejadian tersebut membuat semua mata langsung tertuju pada Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya. Kepercayaan masyarakat langsung turun drastis terhadap intitusi peradilan tersebut. Bukan tanpa sebab, institusi yang diharapkan sebagai gerbang terakhir dalam penegakan hukum di negara ini tidak mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Masyarakat yang berharap hukum bisa ditegakkan dengan baik, namun malah sebaliknya dirobohkan oleh oknum di institusi tersebut.
Perbuatan koruptif di intitusi peradilan bukanlah merupakan hal baru terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini saja. Praktik ini sudah terjadi jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Zainal Arifin Mochtar Pakar Hukum Tata Negara menyebutkan bahwa praktik koruptif di institusi peradilan ini merupakan sebuah “fenomena gunung es”.
Keterlibatan Hakim dan aparatur peradilan dalampraktik koruptif, belum pernah bisa diatasi oleh pimpinan Mahkamah Agung. Dari dulu hingga sekarang masih terus terjadi tindakan koruptif yang melibatkan Hakim dan aparatur peradilan. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan dikalangan masyarakat, Apakah tidak ada upaya serius dari Mahkamah Agung dalam mengatasi hal tersebut?
Apabila dilihat lebih mendalam mengenai upaya dalam menghentikan Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif, Mahkamah Agung sudah menunjukkan keseriusannya dalam berbagai bentuk seperti percepatan penggunaan teknologi dan informasi dalam praktik peradilan serta dalam bentuk pembinaan dan pengawasan secara rutin. Penggunaan teknologi dalam setiap tahapan bereperkara di Pengadilan merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan koruptif. Jika pemanggilan pihak dilakukan secara manual oleh Jurusita dan membutuhkan biaya yang besar dan rentan terjadi titipan perkara melalui jurusita maka sekarang pemanggilan pihak berperkara sudah dilakukan secara elektronik.
Dari sisi pembinaan dan pengawasan, jika dibandingkan dengan institusi penegak hukum yang lainnya, Mahkamah Agung bisa dikatakan merupakan lembaga penegak hukum yang mempunyai metode pembinaan dan pengawasan yang baik dan terstruktur.Setiap bulannya Mahkamah Agung baik melalui pimpinan Mahkamah Agung maupun melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara selalu melakukan pembinaan terhadap Hakim dan aparatur peradilan dan bahkan Setiap Tahunnya selalu ada Hakim dan aparatur peradilan yang dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan. Namun, upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung selama ini nampaknya belum efektif dalam menanggulangi Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat dalam praktik koruptif.
Upaya Non Penal Terbaru Mahkamah Agung
Belum efektifnya berbagai cara yang sudah ada dalam penanggulangan Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif membuat Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H yang baru dilantik pada 22 Oktober 2024 dan badan peradilan dibawahnya, memikirkan ulang metode yang bisa digunakan dalam penanggulangan Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif.
Ada 3 (tiga) kebijakanyang diperkenalkan oleh institusi Mahkamah Agungdalam upaya penanggulangan Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif. Pertama, membentuk aplikasi Smart Majelis. Aplikasi ini merupakan aplikasi teknologi robotika berbasis kecerdasan buatan yang digunakan untuk memilih majelis hakim secara otomatis berdasarkan kualifikasi, kompetensi, serta beban kerja hakim. Tujuan dari aplikasi ini ialah tidak akan ada lagi kongkalikong mengenai Hakim yang akan menangani suatu perkara. Meskipun aplikasi ini baru ada di Mahkamah Agung, namun Ketua Mahkamah Agung berkomitmen akan menerapkan hal yang sama pada badan peradilan dibawahnya.
Kedua, kebijakan melakukan mutasi besar-besaran dengan memutasi 199 hakim dari berbagai pengadilan. Mutasi dilakukan berdasarkan kepada jejak personal Hakim dan aparatur peradilan, mulai dari Integritas, Prestasi, catatan dari badan pengawasan hingga catatan PPATK. Ketiga, melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, dikeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum No. 4 Tahun 2025 Tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Bagi Aparatur Peradilan Umum. Surat Edaran tersebut memuat 11 (sebelas) poin yang harus diperhatikan oleh Seluruh aparatur peradilan umum beserta keluarganya dalam menjalani kehidupan.
Tiga upaya tersebut merupakan bentuk upaya non penal yang dipilih oleh Mahkamah Agung.
Tiga upaya non penal tersebut patut diapresiasi dan didukung penerapannya agar bisa efektif dalam penanggulangan Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif.
Namun, hal yang harus dipahami bahwa kebijakan-kebijakan yang sudah daimbil oleh Mahkamah Agung tentunya jangan sampai hanya serius diawal saja, jangan sampai hanya riak pada saat kasus koruptif tersebut heboh. Mahkamah Agung harus terus mengawal kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan, baik dalam keadaan diam ataupun dalam keadaan heboh.
Mahkamah ini jangan sampai roboh (lagi). Jangan sampai ada lagi Hakim dan aparatur peradilan yang terlibat praktik koruptif. Keseriusan dalam penanggulangan koruptif di lingkungan membutuhkan komitemen dari seluruh unsur peradilan. Tidak hanya dari pimpinan.Reformasi ini tak bisa dilakukan pimpinan Mahkamah Agung sendirian. Kebijakan-kebijakan progresif yang sudah dibuat oleh pimpinan Mahkamah Agung dan Pimpinan badan peradilan dibawanya harus diikuti oleh seluruh unsur peradilan, tanpa terkecuali.Kita tak sedang menambal krisis, kita sedang menentukan arah mahkamah. Jika ingin martabat pengadilan pulih, pimpinan dan seluruh unsur peradilan yang ada harus sejalan dalam menolak perbuatan koruptif. Masyarakat menaruh harapan besar terhadap insitusi peradilan sebagai institusi akhir dalam penegakan hukum.