Oleh: Ummu Syamil
Seperti badai yang terus menyapu, judi online kian menggulung kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari PPATK, perputaran dana judi online mencapai Rp900 triliun pada tahun 2024, dan melonjak ke angka fantastis Rp1.200 triliun pada 2025. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari penyakit sosial yang menggerogoti bangsa secara perlahan namun pasti.
Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme yang menjadi fondasi kehidupan hari ini. Dalam sistem ini, segala hal yang menghasilkan keuntungan—betapapun bahayanya—diberi ruang untuk tumbuh. Dengan alasan kebebasan pasar, praktik judi tidak hanya dilegalkan secara tersirat, tapi juga dibiarkan menjalar lewat celah hukum, iklan digital, dan teknologi yang mempermudah aksesnya. Bahkan tak sedikit aparat maupun pejabat yang terseret dalam pusaran kejahatan ini—membuat upaya pemberantasan terasa setengah hati.
Kapitalisme juga menciptakan ketimpangan sosial yang tajam. Banyak orang hidup dalam tekanan ekonomi, tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar, dan akhirnya mudah tergoda pada ilusi kekayaan instan yang ditawarkan judi. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan tentang moral atau hukum menjadi kabur. Yang tersisa hanyalah hasrat untuk bertahan dan keinginan untuk keluar dari himpitan hidup—apa pun caranya.
Namun akar persoalan sejatinya lebih dalam. Sekularisme—pemikiran yang memisahkan agama dari kehidupan—telah mencabut manusia dari pedoman ilahiah. Ketika halal dan haram tak lagi menjadi pertimbangan, maka yang haram bisa tampak menarik, dan yang maksiat bisa dikemas sebagai hiburan. Masyarakat pun kehilangan kompas moralnya.
Islam dengan tegas melarang segala bentuk perjudian. Allah SWT berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.”
(QS. Al-Ma’idah: 90)
Namun dalam sistem sekular, larangan ini tidak memiliki kekuatan hukum. Maka yang dibutuhkan bukan sekadar seruan moral atau kebijakan teknis, tetapi perubahan sistemik menuju tatanan yang berlandaskan wahyu. Di sinilah letak urgensi Khilafah Islamiyah sebagai solusi hakiki.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang bukan hanya menegakkan hukum syariah, tetapi juga membangun masyarakat yang menjadikan halal-haram sebagai tolak ukur dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam sistem ini, pelaku dan penyelenggara judi akan dikenai hukuman ta’zir yang tegas. Namun Khilafah tidak berhenti pada aspek penindakan. Ia membangun perisai peradaban yang kokoh melalui:
1.Pendidikan Islam yang membentuk kepribadian takwa sejak dini.
2.Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara langsung dan tidak langsung oleh negara.
3.Kontrol sosial melalui amar ma’ruf nahi munkar yang hidup di tengah masyarakat.
4.Pembebasan budaya dari pengaruh hedonisme Barat, yang selama ini menyuburkan gaya hidup permisif.
Rasulullah SAW bersabda:
”Imam (khalifah) adalah laksana perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Khilafah bukan utopia masa lalu, tetapi sistem yang pernah hadir dan terbukti menyinari peradaban dunia dengan keadilan dan kemuliaan akhlak. Ia tidak hanya menindak kejahatan, tetapi mencabut akar penyebabnya dan menumbuhkan masyarakat yang hidup dalam kesadaran ruhani dan kesejahteraan nyata.
Maka ketika kita menyaksikan judi online menjelma menjadi monster sosial, mari kita sadari bahwa ini bukan hanya krisis hukum, tetapi krisis sistemik. Tidak cukup mengandalkan penambalan hukum positif, selagi akar sekularisme dan kapitalisme tetap menjadi pangkal pijakan. Sudah saatnya umat ini memandang Islam bukan sebatas ajaran spiritual, melainkan sistem hidup yang utuh—yang menyelamatkan manusia dari kehancuran dunia dan akhirat
Wallaahu a’lam