
Beberapa waktu lalu, dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024, Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyatakan Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal menggelontorkan anggaran sampai Rp800 miliar per hari untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Jika diimplementasikan secara penuh, akan menjangkau hingga 82,9 juta penerima dengan anggaran sebesar Rp 400 triliun. Kepala Badan Gizi Nasional juga menyebutkan bahwa program ini menjadi bagian dari investasi besar pemerintah dalam memperkuat sumber daya manusia (SDM) melalui penyediaan makan bergizi secara gratis kepada jutaan penerima.
Dalam Undang-Undang Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045, memang dijelaskan secara tegas dan jelas tentang target capaian MBG khususnya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Namun, tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025 – 2029, bahwa 1 dari 77 Proyek Strategis Nasional Presiden Prabowo Subianto adalah Makan Bergizi Gratis.
Di awal pidato kepemimpinannya, Prabowo Subianto dengan penuh semangat menyampaikan satu cita-cita besar yaitu memastikan tersedianya Makan Bergizi Gratis bagi anak-anak Indonesia. Namun, “mulia dan optimisnya” program Presiden Prabowo Subianto, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari semangat awalnya.
Muncul berbagai persoalan yang patut menjadi alarm keras, mulai dari kasus anak-anak yang mengalami keracunan akibat kualitas makanan yang buruk, makanan yang basi dan berulat, hingga munculnya dugaan penyelewengan anggaran dalam pengadaan bahan pangan. Persoalan ini bukan lagi masalah teknis semata, melainkan indikasi dari kelola tanpa “tata” dan kelola secara “ugal-ugalan”.
Kasus di Lapangan
Adapun kasus yang saat ini disorot media adalah kasus keracunan massal 78 siswa di Cianjur akibat konsumsi ayam suwir MBG, mitra dapur MBG di Kalibata mengalami kerugian hampir Rp 1 miliar akibat dugaan penggelapan dana oleh yayasan MBG, sertanya besarnya potensi konflik kepentingan dalam penyelenggaran MBG.
Sejak, program MBG resmi dimulai pada 6 Januari 2025 dan diimplementasikan secara bertahap di berbagai daerah, memang terlihat terlalu “dipaksakan dan tergesa-gesa”. Bahkan, di awal pembiayaan, dana MBG masih berasal dari kantong pribadi Prabowo Subianto. Memang ini menunjukkan komitmen pribadi yang besar dari, namun di satu sisi mengindikasikan bahwa dari sisi regulasi, mekanisme pembiayaan program belum sepenuhnya “clear and clean”.
Di berbagai forum diskusi kebijakan, sejumlah ekonom dari CELIOS sudah mengeluarkan peringatan keras. Mereka menggarisbawahi bahwa MBG berpotensi menjadi celah korupsi baru. Salah satu masalah utama terletak pada mekanisme distribusi anggaran yang dibagi ke dalam unit-unit bernama Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), masing-masing mengelola dana antara Rp 7 miliar hingga Rp 10 miliar.
Sayangnya, tanpa pengawasan yang substantif dan ketat, pembentukan SPPG justru memperluas ruang penyelewengan ketimbang menjamin kepastian gizi bagi anak-anak bangsa (Policy Brief CELIOS, 2025).
Akhirnya, kita didorong berefleksi lebih dalam: Yang lapar siapa? Yang kenyang siapa? Apakah benar anak-anak bangsa yang menikmati program ini dengan aman dan sehat, atau justru aktor-aktor yang bermain di balik rantai distribusi dan pengadaan yang meraup keuntungan?
Kelola Tanpa “Tata”
Tanpa perbaikan tata kelola yang serius dan komitmen kuat pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas, cita-cita mulia Prabowo bisa tergelincir menjadi ironi tragis yaitu program makan bergizi gratis, tetapi yang kenyang bukan rakyat kecil, melainkan para penikmat rente di balik meja-meja pengadaan.
Selain itu, ironi dari kasus keracunan massal 78 siswa di Cianjur, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) justru menjawab kepada publik bahwa kasus keracunan MBG secara kuantitatif hanya 0,5 persen. Sebuah jawaban yang sangat disayangkan. Pernyataan ini mencerminkan kekeliruan fatal dalam memandang tanggung jawab publik yang seharusnya sakral.
Dalam urusan kesehatan anak-anak, angka sekecil apapun tidak dapat dijadikan alasan justifikasi semata. Standar yang harus ditegakkan dalam program ini adalah zero tolerance terhadap insiden seperti itu. Karena ini menyangkut hak anak atas kesehatan dan keselamatan, yang dijamin oleh Konstitusi serta berbagai undang-undang perlindungan anak.
Maka, dari kasus yang terjadi, sebagai upaya mitigasi perlindungan anak yang tidak boleh alpa, sudah semestinya dalam pengawasan MBG ke depan, lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut dilibatkan.
Tak kalah penting adalah pelibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara aktif, bukan hanya saat krisis. BPOM harus merancang sistem sampling dan pengujian proaktif terhadap makanan siap saji dalam program MBG. Dengan pendekatan random testing dan kolaborasi dengan laboratorium daerah, BPOM dapat mendeteksi dini adanya indikasi cemaran kimia, mikroba, atau bahan berbahaya lainnya, serta mengeluarkan rekomendasi perbaikan sistemik kepada pemerintah pusat maupun daerah.
Badan Gizi Nasional (BGN) yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam implementasi program ini, jangan hanya sekadar fokus pada pelaksanaan teknis agar makanan bergizi dapat tersalurkan. Lebih dari itu, BGN harus memastikan bahwa seluruh aspek tata kelola memenuhi prinsip good governance.
Artinya, tantangan utama dari program lintas jutaan anak dan ribuan sekolah adalah koordinasi antar lembaga dan jenjang pemerintahan. Maka, MBG harus dikelola secara multisektor dan berbasis data. Pemerintah perlu membentuk Satuan Tugas Nasional MBG yang menggabungkan unsur Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Bappenas, LKPP, serta otoritas pengawasan seperti BPKP dan KPK, kementerian/lembaga lainnya, termasuk organisasi masyarakat sipil/NGO.
Melindungi MBG
Mulai dari kualitas makanan yang harus benar-benar dikontrol ketat oleh ahli gizi dan pakar kesehatan masyarakat, pemilihan mitra pengadaan barang dan jasa yang harus transparan dan bebas dari potensi korupsi, hingga sistem pengawasan yang melibatkan lembaga-lembaga kredibel seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejagung, hingga dukungan dari pemerintah daerah.
MBG tidak hanya sekadar memenuhi piring-piring makan bergizi anak Indonesia, tetapi soal membangun kepercayaan publik terhadap kemampuan negara mengelola program besar dengan serius dan bertanggung jawab. Tata kelola yang buruk bukan hanya membuat program ini gagal, tetapi juga mencederai cita-cita besar Prabowo Subianto sendiri. Jika kelalaian ini dibiarkan, MBG bukan lagi investasi masa depan, bukan lagi mencapai target Astacita dan Indonesia Emas, melainkan menjadi beban sosial dan fiskal yang menggerogoti sendi-sendi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma pelaksanaan program ini, dari sekadar “bagi-bagi makanan” menjadi intervensi gizi nasional yang presisi, kredibel, dan terukur.
Terakhir, bahwa menggelontorkan 800 miliar per hari bukanlah angka kecil yang sumbernya berasal dari anggaran negara. Pengelolaan keuangan negara dalam hal ini makan bergizi gratis harus didasarkan pada pengelolaan yang matang, sehingga setiap 1 (satu) rupiah yang dikeluarkan dari uang rakyat dapat dipertanggungjawabkan.