Rabu, Juli 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Ketika Emoji Menjadi kekerasan

by Mata Banua
18 Mei 2025
in Opini
0
D:\2025\Mei 2025\19 Mei 2025\8\8\master opini.jpg
Foto: ilustrasi

Oleh : Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar, S.H. (Satgas PPKPT Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)

Beberapa pesan tak butuh kata. Cukup satu gambar kecil, dikirim diam-diam, lalu diam-diam pula menyisakan rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan. Kita menyebutnya ekspresi, candaan, atau gaya komunikasi anak muda. Tapi bagi sebagian orang, ia terasa seperti pelanggaran yang tak bisa dilaporkan, apalagi dimintai pertanggungjawaban.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\16 Juli 2025\8\master opini.jpg

Ada Hukum Perlindungan Anak, Tapi Mengapa Perundungan Makin Brutal?

15 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Anak Tidak Sekolah Terus Bertambah,Bukti Kegagalan Sistemik Pendidikan

15 Juli 2025
Load More

Di dunia digital yang bergerak cepat dan cair, simbol-simbol ini menjelma jadi bahasa baru. Mereka melintasi batas-batas privasi dengan licin, masuk ke layar ponsel tanpa izin, dan sering kali menyaru sebagai iseng. Celakanya, ketika keberatan disampaikan, balasannya justru tertawa atau celaan karena dianggap terlalu baper.

Bahasa Simbol dalam Budaya Digital

Dalam keseharian digital generasi Z, emoji menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi. Simbol-simbol visual ini membantu menyampaikan nuansa, emosi, bahkan selera humor dalam percakapan singkat. Namun, dalam praktiknya, emoji juga menyimpan sisi gelap yang kerap diabaikan: potensi menjadi alat kekerasan seksual nonverbal.

Simbol seperti terong , dan tetesan air tidak lagi digunakan sebatas untuk menyatakan ekspresi harfiah. Di ruang digital, terutama media sosial dan percakapan pribadi, emoji-emoji ini dimaknai secara seksual dan digunakan sebagai bentuk isyarat atau kode erotik. Masalahnya muncul ketika simbol-simbol ini dikirimkan tanpa persetujuan, dalam percakapan yang tidak bernada seksual, atau kepada orang yang tak memiliki hubungan dekat.

Kekerasan Nonverbal yang Tak Terlihat

Kekerasan seksual hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk fisik. Ia bisa muncul melalui pesan teks, gambar, atau simbol yang menyasar tubuh dan seksualitas seseorang secara implisit. Di sinilah bentuk kekerasan nonverbal bekerja: tanpa menyentuh, tetapi meninggalkan jejak ketidaknyamanan yang nyata.

Ironisnya, ketika korban merasa terganggu dan mengeluh, pelaku kerap berlindung di balik narasi “hanya bercanda” atau “cuma emoji.” Pelecehan disamarkan sebagai ekspresi bebas atau gaya komunikasi informal. Akibatnya, banyak korban mengalami dilema: merasa dilecehkan, tetapi kesulitan menyebutnya sebagai kekerasan karena bentuknya dianggap ringan.

Dari Emoji ke Sexting: Pola yang Sering Diabaikan

Fenomena ini semakin terhubung dengan praktik sexting, yakni aktivitas bertukar pesan, foto, atau simbol seksual melalui gawai. Dalam relasi yang sehat dan konsensual, sexting mungkin dianggap bagian dari ekspresi intim yang sah. Namun, dalam banyak kasus, sexting dilakukan secara sepihak, manipulatif, atau bahkan memaksa. Emoji kerap menjadi pintu pembuka, dikirimkan untuk menguji respons, memancing pembicaraan seksual, atau menekan secara psikologis.

Di titik inilah kita dihadapkan pada persoalan yang lebih dalam: budaya pembiaran dan pewajaran.

Banyak dari pesan seksual yang dikirim lewat emoji atau teks dianggap sekadar lucu-lucuan. Dalih seperti “iseng aja” atau “jangan baper, cuma emoji kok” telah menjadi tameng yang menormalisasi pelanggaran. Di balik kata-kata itu, kekerasan seksual dalam bentuk nonverbal justru tumbuh suburkarena tidak pernah dianggap serius.

Ketika grup pertemanan menertawakan DM cabul sebagai lelucon, atau ketika konten viral menyulap pesan pelecehan menjadi bahan hiburan, kita sedang membangun sistem nilai yang mengaburkan batas antara candaan dan kekerasan. Ini bukan sekadar kekeliruan individu, tetapi persoalan kolektif: kita terlalu sering memberi tawa pada sesuatu yang seharusnya dihadapi dengan ketegasan moral.

Akibatnya, korban merasa bersalah karena tidak bisa “ikut bercanda.” Mereka belajar bahwa kenyamanan mereka bisa dinegosiasikan demi menjaga suasana. Bahwa menolak ajakan atau simbol seksual bisa membuat mereka dicap kaku, terlalu sensitif, atau bahkan drama queen.

Kita pun terbiasa mengukur kekerasan hanya dari sentuhan. Padahal, luka psikologis bisa lahir dari simbol, kode, dan kalimat yang menembus ruang aman seseorang. Tidak semua kekerasan meninggalkan memar, beberapa hanya meninggalkan rasa takut membuka pesan berikutnya.

Edukasi dan Tanggung Jawab Bersama

Dalam konteks ini, edukasi tentang etika digital dan komunikasi seksual yang sehat menjadi sangat penting. Generasi muda harus diberi pemahaman bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti bebas melanggar. Bahwa mengirim emoji cabul tanpa persetujuan bukan gaya flirting, melainkan bentuk tekanan seksual. Bahwa batas dan rasa nyaman seseorang bukan untuk dijadikan eksperimen percakapan.

Namun semua ini bukan tanpa harapan. Generasi muda, yang paling akrab dengan budaya emoji dan percakapan daring, juga memiliki kekuatan untuk mengubah arah. Beberapa langkah kecil tapi penting bisa dilakukan:

· Pertama, mulai menolak candaan berisi emoji seksual yang dikirim tanpa konteks atau persetujuan. Diam bukan netral, sadarilah diam itu bisa menjadi izin yang tak disengaja.

· Kedua, berani mengatakan “tidak nyaman” ketika menerima sexting atau simbol seksual yang tak diminta. Ini bukan soal baper, tapi soal batas.

· Ketiga, bangun obrolan terbuka di ruang komunitas digitalterutama di antara teman sebaya, bahwa sopan santun dan persetujuan tetap relevan, bahkan di ruang yang paling personal seperti DM atau chat.

· Keempat, refleksi diri: tanyakan ulang niat kita saat ingin mengirim simbol tertentu. Apakah ini lucu bagi semua pihak? Apakah ini perlu? Apakah ini tanpa tekanan?

Pada akhirnya, kita harus berhenti menganggap remeh pesan-pesan kecil yang dikirim dalam bentuk emoji. Karena bagi sebagian orang, satu simbol saja sudah cukup untuk menghadirkan rasa takut, tidak nyaman, dan hilangnya kendali atas tubuh mereka sendiri.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA