Oleh : Tomy Michael (Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 11-2021) ada sembilan belas kata “kekuasaan”, lima kata “merdeka” dan lima kata “kepastian hukum”.
Walaupun hanya sekadar jumlah namun secara cepat menunjukkan bahwa UU No. 11-2021 betul-betul harus lepas dari pengaruh apapun. Kejaksaan sendiri diartikan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain. Negara memberikan alienasi pada kejaksaan agar muncul keadilan bagi para pihak.
Sebetulnya negara bisa mencapai keadilan itu dengan segala kuasanya. Tetapi ketika itu dilakukan maka sifat kebrutalan negara yang menurut Thomas Hobbes adalah sikap alamiah akan menjadi mimpi buruk. Kesemuanya harus dibatasi agar tidak timbul negara dengan bentuk pemerintahan yang menuju chaos.
Hal ini menunjukkan bahwa kejaksaan masih tetap teguh dalam memisahkan dirinya dengan kekuasaan lainnya. Teguh dalam hal ini yaitu memprioritaskan kepastian hukum yang adil dan kepastian hukum yang berkeadilan.
Khusus dalam kepastian hukum ini menjadi unik karena menyatukan kepastian hukum dengan keadilan yang mana ini mengubah pemahaman tradisional dimana kepastian hukum berpisah dengan keadilan hukum. Jikalau demikian maka ketika adanya Surat Telegram Panglima TNI bernomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 menjadi bertentangan dengan kemerdekaan dari kejaksaan itu sendiri.
Ketika keamanan menjadi hal krusial maka bukankah kejaksaan lebih mengetahui akan dirinya sendiri. Timbulnya pengaruh kekuasaan lain ini secara kasuistis menunjukkan hubungan tidak harmonis kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan yudisial.
Ketiga kekuasaan ini seharusnya menjalin relasi yang baik walaupun makna “baik” ini bukanlah seia sekata melainkan bagaimana terjadi pemeriksaan dan menyeimbangkan. Disatu sisi eprlu dipahami bahwa kekuasaan TNI merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri salah satunya adanya hukum acara tersendiri dimana terjadi dikotomi yang tidak bisa dimasuki oleh prinsip hukum sipil. Secara normatif, letaknya diabwah kekuasaan eksekutif walaupun bisa bertindak pembuat undang-undang dan pemberi sanksi.
Urgensi masuk ke ranah kejaksaan sebaiknya disikapi dengan trias politika tradisional. Artinya memahami kembali mengapa harus ada pemisahan dan kemandirian dalam bersikap. Segala sesuatunya kembali lagi pada kehidupan bernegara karena negara itu ada akibat adanya masyarakat. Dalam Crawford Adjusters v Sagicor General Insurance (Cayman) Ltd (Cayman Islands) ada pernyataan menarik “ketidakadilan yang dideritanya bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menentukan apakah hukum mengakui penyebab tindakan dalam perbuatan melawan hukum.
Penetapan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan batasan-batasan hukum atas lingkup perbuatan melawan hukum biasanya melibatkan unsur kebijakan yang besar yang dapat bertentangan dengan prinsip bahwa untuk setiap ketidakadilan harus ada penyelesaian hukum”.
Terdapat kesadaran diri untuk mengetahui mengenai pembatasan kekuasaan dan pembatasan keinginan. Untuk saat inni, pengaruh alamiah manusia tidak bisa dibatasi mutlak namun norma hukum memberi batasan-batasan.
Misalnya seseorang mengatakan bahwa ia akan berbuat jujur maka kejujuran yang keluar dari mulutnya adalah kesadaran yang harus dilakukan namun untuk mempercayainya maka hukum akan mengaturnya. Jikalau hal ini terus berulang maka bunyi sumpah atau janji dalam UU No. 11-2021 patut dipertanyakan “sebetulnya untuk siapakah sumpah atau janji itu ditujukan?”