Senin, Juli 14, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Paylater, Solusi Tepat Persoalan Kesejahteraan Rakyat?

by Mata Banua
7 Mei 2025
in Opini
0

D:\2025\Mei 2025\8 Mei 2025\8\8\foto opini hl.jpg

Ilustrasi (foto:mb/web)

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Huru-Hara Konstitusi

14 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\palestina.jpg

Palestina dan Fajar Kebangkitan Umat di Depan Mata

14 Juli 2025
Load More

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Februari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan buy now pay later (BNPL) atau akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp21,98 tr2iliun, meski sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp22,57 triliun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 36,6 persen (cnbcindonesia.com).

Tren peningkatan penggunaan Paylater dipengaruhi berbagai faktor yang mencerminkan kebutuhan dan perilaku konsumen. Sebagian besar pengguna memanfaatkan Paylater untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau pengeluaran tidak terduga. Survei menunjukkan, 58 persen konsumen menggunakan layanan ini untuk kebutuhan mendesak (tirto.id).

Paylater menawarkan fleksibilitas dalam pembayaran cicilan, yang bervariasi dan proses yang mudah. Sehingga menarik bagi konsumen yang mencari alternatif selain kartu kredit. Layanan Paylater yang kian diminati masyarakat memang tampak seperti solusi praktis atas kebutuhan finansial jangka pendek, namun sejatinya hanya menjadi jalan pintas yang menjerat banyak orang dalam pusaran utang.

Sejatinya, akar persoalan yang mendalam terletak pada belum tercapainya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Di mana masih banyak yang belum memiliki pekerjaan layak dan penghasilan yang cukup. Sementara biaya hidup terus melonjak tanpa diiringi peningkatan daya beli. Dalam kondisi terdesak dan pilihan terbatas, utang pun menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan. Meski justru menimbulkan beban psikologis, risiko gagal bayar, hingga konsekuensi moral dan spiritual, seperti terjerumus perbuatan dosa.

Kondisi ketidaksejahteraan yang dialami rakyat kini tak bisa dilepaskan dari cengkeraman sistem Kapitalisme yang menempatkan kepentingan segelintir elite di atas kebutuhan mayoritas. Dalam sistem ini negara lebih berperan sebagai regulator, sekadar mengatur jalannya roda ekonomi, bukan sebagai pelayan sekaligus penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan asasiyah rakyat. Termasuk dalam penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan merata.

Negara kerap abai, membiarkan rakyat harus berjuang sendiri di tengah ketimpangan ekonomi yang makin lebar. Sementara kesejahteraan menjadi hak istimewa bagi yang berada di lingkaran kekuasaan dan modal. Sistem Kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam kehidupan telah membiarkan transaksi utang-piutang riba menjamur di masyarakat. Sebab, orientasi dalam sistem ini adalah keuntungan.

Apa pun yang mendatangkan keuntungan boleh diambil dan dimanfaatkan meskipun melanggar syariat Islam. Karena itu, selama sistem Kapitalisme diterapkan tidak akan terwujud kesejahteraan di tengah masyarakat. Masyarakat pun hanya ditawarkan solusi-solusi pragmatis oleh negara dan pihak swasta dalam menyelesaikan kesulitan ekonomi. Yang hakikatnya, solusi-solusi tersebut hanya menguntungkan para pemilik modal.

Sementara kondisi masyarakat tidak kalah memprihatinkan. Kemiskinan, dan beban hidup meningkat, hubungan pemerintahan berkelindan dengan oligarki, membuat hidup terasa sangat menyesakkan. Ditambah pola hidup hedonis, di tengah lingkungan sekularistik, miskin takwa dan teladan pemimpin, hal itu makin dirasa lumrah.

Dalam perspektif hukum Islam, persoalan jeratan utang Paylater, ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang terabaikan tidak hanya dianggap sebagai masalah teknis keuangan. Tetapi sebagai konsekuensi diterapkannya sistem yang rusak secara struktural, yakni Kapitalisme. Penerapan sistem kapitalisme mengakibatkan besarnya arus budaya konsumerisme, dan kebahagiaan diukur dengan standar materi.

Adanya Paylater makin mendorong arus konsumerisme. Paylater yang marak kini berbasis ribawi, haram dalam pandangan Islam. Alih-alih menyolusi, Paylater justru berpotensi menambah beban masalah masyarakat, dan menambah dosa, menjauhkan dari keberkahan.

Maka solusi hakiki seharusnya bukan sekadar tambal sulam. Melainkan perubahan menyeluruh terhadap sistem kehidupan, yakni menerapkan syariat Islam kaffah di bawah institusi Khilafah. Dalam sistem ini, negara tidak hanya berperan sebagai pengatur, melainkan sebagai penanggung jawab utama atas kesejahteraan rakyat.

Selain itu, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Tanpa membebani rakyat dengan biaya yang tidak terjangkau. Negara juga bertanggungjawab menyediakan lapangan kerja yang layak, agar rakyat dapat hidup mandiri, tanpa bergantung utang.

Sistem ekonomi Islam juga sepenuhnya bebas dari riba, karena transaksi utang-piutang dengan bunga dan denda, diharamkan dalam Islam. Khilafah akan mengelola sistem keuangan berbasis akad-akad syariah. Selain itu, negara akan menjaga distribusi kekayaan agar tidak terpusat di tangan segelintir elite, dengan mengelola kekayaan milik umum seperti sumber daya alam (SDA) untuk kemaslahatan seluruh umat.

Pengelolaan SDA yang merupakan milik umat oleh negara wajib didistribusikan dalam bentuk pendidikan gratis, kesehatan gratis, pelayanan transportasi murah, dan berbagai kemudahan akses pelayanan lainnya. Sehingga, masyarakat tidak akan terdorong untuk mencari solusi instan melalui Paylater atau bentuk utang riba lainnya. Karena kebutuhan pokok dan dasarnya telah dijamin negara. Sistem Islam telah membentuk kesadaran kolektif untuk menjauhi riba, serta hidup dalam keberkahan.

Negara sendiri akan melarang segala bentuk transaksi ekonomi yang diharamkan dalam Islam, seperti riba. Alhasil, negara tidak membolehkan adanya lembaga atau aplikasi yang menggunakan transaksi riba atau transaksi ekonomi lainnya yang tidak berdasarkan syariat Islam. Semua ini akan dijalankan Khalifah, yakni pemimpin kaum Muslimin yang amanah dan memang telah diberi mandat rakyat untuk mengurus urusan umat dengan syariat Islam.

Sebagaimana hadist Rasulullah SAW: “Imam (Khalifah/Pemimpin) adalah penggembala (pengurus) dan ia bertanggungjawab atas rakyat yang dipimpinnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim). Inilah solusi hakiki atas persoalan kesejahteraan rakyat yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Alhasil, sistem Islam akan menutup celah budaya konsumerisme. Masyarakat akan terbentuk ketakwaannya sehingga standar bahagia pun bukan dari sisi materi tapi karena mendapatkan ridha Allah SWT, penerapan Islam kaffah akan menjamin kesejahteraan rakyat. Di sinilah pentingnya dakwah politis yang harus terus dilakukan bagi munculnya kesadaran di tengah umat, untuk tegaknya kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariah secara kaffah.[]

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA