Oleh: MariatulAdawiyah (AktivisMuslimah)
Pariwisata telah lama menjadi salah satu sektor strategis yang dipercaya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selain sebagai penghasil devisa, sektor ini juga menjadi lapangan kerja potensial. Namun, munculnya wacana pembentukan Lembaga Pariwisata Mandiri (LPM) menimbulkan perdebatan, terutama terkait arah dan kontrol pengelolaan sektor ini: apakah akan memperkuat peran negara, atau justru menjauhkan negara dari tanggung jawabnya terhadap rakyat?
Wacana pembentukan Lembaga Pariwisata Mandiri (LPM) mulai mencuat ke publik setelah pernyataan resmi dari Komisi VII DPR RI. Dalam laporan Antara (30/04/2024) – Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto, menyampaikan bahwa pembentukan LPM diperlukan untuk mempercepat pengembangan sektor pariwisata nasional. Lembaga ini dirancang sebagai institusi yang bersifat otonom, tidak berada langsung di bawah kementerian, dan dianggap lebih adaptif terhadap kebutuhan lapangan serta tantangan ekonomi global.
Senada dengan itu, laporan dari Beritaja.com (30/04/2024) – mengungkap bahwa LPM digagas sebagai upaya untuk menciptakan pengelolaan destinasi wisata secara profesional. Komisi VII menilai pendekatan birokratis yang selama ini digunakan dianggap kurang efektif dalam menghadirkan dampak nyata terhadap ekonomi lokal. Oleh karena itu, pembentukan lembaga otonom dianggap sebagai langkah strategis agar sektor pariwisata bisa lebih fokus, fleksibel, dan cepat dalam pengambilan keputusan.
Di sisi lain, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga telah menetapkan paradigma baru melalui kebijakan pariwisata berkelanjutan. Dalam rilis resmi Kemenparekraf (April 2024) – dijelaskan bahwa konsep pariwisata saat ini tidak lagi bertumpu pada peningkatan jumlah wisatawan semata, melainkan pada dampak jangka panjang terhadap lingkungan, budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat lokal. Ini menunjukkan adanya kesadaran pemerintah untuk menggeser orientasi wisata ke arah yang lebih ramah lingkungan dan inklusif, namun belum dijelaskan bagaimana LPM akan mengadopsi prinsip ini dalam praktiknya nanti.
Meskipun tujuan dari LPM terdengar menjanjikan secara teknokratik, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah pengelolaan pariwisata ke depan? Apakah negara masih berperan sebagai pengelola utama, atau justru membuka jalan bagi liberalisasi sektor ini?
Dengan menjadikan LPM sebagai entitas otonom yang tidak berada langsung di bawah kontrol negara, maka risiko dominasi pihak swasta dan investor asing dalam pengelolaan sumber daya wisata menjadi semakin besar. Padahal, destinasi wisata kerap kali terletak di wilayah dengan nilai ekologis dan sosial tinggi, bahkan kadang menyangkut tanah ulayat, kawasan konservasi, atau situs budaya.
Dalam Islam, seluruh urusan rakyat, termasuk sektor pariwisata dan sumber daya alam adalah tanggung jawab negara. Negara wajib mengelolanya langsung untuk kemaslahatan umat, bukan menyerahkannya kepada lembaga otonom atau pihak swasta. Rasulullah úý bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Islam juga mengatur bahwa sumber daya alam dan potensi publik seperti lahan, air, hutan, dan kekayaan alam lainnya adalah milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah úý:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (energi).”
(HR. Abu Dawud)
Artinya, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sumber daya dan potensi wisata kepada entitas swasta atau otonom, apalagi jika berdampak pada eksploitasi alam dan marginalisasi masyarakat lokal.
Lebih dari itu, dalam Islam, pariwisata bukan sekadar hiburan. Pariwisata dapat menjadi sarana dakwah dan edukasi. Oleh karena itu, negara yang menerapkan Islam kaffah akan menjadikan sektor ini sebagai medium untuk mengenalkan nilai-nilai Islam, mempererat ukhuwah, menjaga moralitas, serta melindungi kesucian budaya lokal dari arus liberalisasi.
Dalam konteks pengelolaan negara, Islam memerintahkan agar harta kekayaan dan sektor strategis digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, bukan sebagai komoditas pasar. Allah SWT berfirman:
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr: 7)
Wacana pembentukan Lembaga Pariwisata Mandiri harus dikritisi secara tajam. Jika arah kebijakan ini semakin menjauh dari peran negara dan mendekat pada model liberal, maka yang terjadi bukanlah kemajuan, melainkan pelepasan tanggung jawab negara terhadap sektor vital. Islam menawarkan solusi komprehensif: negara yang mengelola sektor wisata dengan adil, menjaga nilai, dan berpihak pada rakyat.
Pengelolaan pariwisata dalam sistem Islam tidak hanya menjanjikan efisiensi, tapi juga keberkahan dan keberlanjutan. Inilah arah kebijakan yang semestinya diperjuangkan, bukan sekadar lembaga otonom yang berorientasi pasar.