Selasa, Juli 15, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Quo Vadis Buanglah Sampah Pada Tempatnya

by Mata Banua
6 Mei 2025
in Opini
0
D:\2025\Mei 2025\7 Mei 2027\8\8\Kharismana Umia Wulandari.jpg
Kharismana Umia Wulandari, S.Tr.Kes (Pegawai Poltekkes Kemenkes Semarang, Praktisi Kesehatan)

Kalimat “buanglah sampah pada tempatnya” tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Sejak usia dini, orangtua kerap menanamkan pesan ini melalui ucapan yang sering diulang. Kebiasaan tersebut secara tidak langsung membentuk kesadaran lingkungan dalam diri kita untuk selalu membuang sampah pada tempat yang semestinya. Setiap kali hendak membuang sampah, kita cenderung teringat untuk melakukannya di tempat sampah atau wadah yang telah disediakan di sekitar kita.

Namun, secara tidak sadar sebenarnya kita telah melestarikan suatu pola pikir yang bisa menimbulkan efek jangka panjang yang berbahaya bagi kelangsungan kelestarian lingkungan hidup itu sendiri. Ada dua hal yang mungkin bisa muncul sebagai pemahaman yang melenceng dari ungkapan “buanglah sampah pada tempatnya”.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Huru-Hara Konstitusi

14 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\palestina.jpg

Palestina dan Fajar Kebangkitan Umat di Depan Mata

14 Juli 2025
Load More

Pertama, kita merasa setelah membuang sampah pada tempatnya maka masalah sampah kita pun telah selesai.

Kedua, ketika kita membuang sampah pada tempatnya maka kita pun merasa “bebas” untuk kembali menghasilkan sampah.

Pada kenyataannya, seperti kita ketahui, baik melalui media massa maupun lewat pengamatan secara langsung di lingkungan sekitar, bahwa sampah semakin hari semakin tidak terkendali dan cenderung menjadi tak terkontrol. Masyarakat menjadi apatis dan lepas tangan dalam mengamati kerusakan lingkungan yang terjadi di depan mata.

Tidakkah terpikir bahwa setelah kita membuang sampah pada tempatnya, kemudian akan dibawa ke mana sampah-sampah tersebut? Apakah masih cukup ruang lahan untuk menampung jutaan ton sampah sebelum diproses? Apakah semua sampah tersebut dapat didaur ulang secara cepat? Dan dalam proses daur ulang tersebut, tidakkah kita akan kehilangan jutaan liter minyak bumi untuk mendukung prosesnya? Sementara kita tahu bersama bahwa cadangan minyak bumi kita semakin menipis dari hari ke hari.

Sampah Plastik

Sebagai contoh, mari kita soroti sampah plastik yang merupakan salah satu jenis sampah paling banyak dibuang oleh masyarakat. Karena tidak berasal dari senyawa biologis, plastik memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable). Plastik diperkirakan membutuhkan waktu 100–500 tahun untuk dapat terurai sempurna.

Adapun kantong plastik terbuat dari penyulingan gas dan minyak yang disebut ethylene. Minyak dan gas adalah dua sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Semakin banyak penggunaan plastik berarti semakin cepat kita menghabiskan sumber daya tersebut. Dan untuk menanggulangi plastik yang menumpuk, jalan pintas yang kerap diambil adalah dengan membakarnya.

Namun, proses pembakaran yang tidak sempurna bisa menghasilkan partikel dioksin di udara. Dioksin ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan berbagai penyakit serius, seperti kanker, gangguan sistem saraf, hepatitis, pembengkakan hati, dan bahkan depresi.

Individual hingga Sistemik

Setelah memahami kompleksitas ini, apa yang bisa kita lakukan? Secara umum kita mengenal prinsip 3R: Reduce (mengurangi), Reuse (memakai ulang), dan Recycle (mendaur ulang). Prinsip ini dapat diterapkan baik oleh individu maupun didorong melalui kebijakan pemerintah. Sebagai langkah kecil tapi signifikan, kita bisa: Lebih teliti sebelum mencetak dokumen, untuk menghindari kesalahan cetak dan mengurangi penggunaan kertas. Memakai kembali plastik yang masih layak guna dan mengganti kemasan makanan dengan bahan yang mudah terurai, seperti daun pisang atau bahan organik lainnya.

Dari refleksi singkat di atas, kita perlu menanamkan pemahaman yang lebih dalam tentang makna sebenarnya dari “Buanglah Sampah pada Tempatnya”. Ungkapan itu seharusnya bukan hanya soal kebersihan visual, tapi juga disertai dengan pemikiran ulang tentang produksi dan nasib akhir dari sampah yang kita hasilkan.

Karena, bumi kita tidak bertambah besar. Dan bumi kita juga tidak akan bertambah sehat jika kita hanya sekadar membuang sampah pada tempatnya, tanpa sadar ke mana dan bagaimana sampah tersebut berakhir.

Fenomena darurat sampah bukanlah isu yang terbatas pada satu wilayah saja. Di berbagai daerah di Indonesia, dari kota-kota metropolitan hingga kawasan pinggiran, persoalan sampah telah menjadi tantangan serius yang belum terselesaikan. Kota-kota besar maupun di beberapa daerah di Indonesia menghadapi tekanan yang sama—TPA yang kelebihan kapasitas, pengelolaan sampah yang tidak optimal, dan minimnya kesadaran masyarakat dalam memilah dan mengurangi sampah sejak dari sumbernya.

Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya, nilai-nilai kearifan lokal, serta semangat gotong royong yang seharusnya mampu menjadi fondasi kuat dalam mengatasi krisis ini. Namun realitas berkata lain—tumpukan sampah sering kali lebih mencolok dibandingkan upaya kolektif untuk menanganinya. Dimanakah praktik “hidup selaras dengan alam” yang selama ini dijunjung tinggi oleh berbagai komunitas adat dan masyarakat lokal?

Meski begitu, harapan masih ada. Di sejumlah daerah, sudah mulai tumbuh inisiatif lokal yang patut diapresiasi. Program bank sampah berbasis komunitas, edukasi pengelolaan sampah di sekolah-sekolah, serta kampanye zero waste yang digerakkan oleh generasi muda menjadi titik terang di tengah kegelapan sistemik. Sayangnya, berbagai inisiatif tersebut masih berjalan terpisah-pisah, belum terintegrasi dalam sistem yang kuat dan berkelanjutan.

Diperlukan kolaborasi lintas sektor dan dukungan kebijakan yang berpihak pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Tanpa itu, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran krisis yang sama—dimana sampah bukan hanya soal tumpukan fisik, tetapi juga cerminan dari kegagalan kita menjaga rumah bersama.

Gerakan Sadar

Oleh karena itu, lebih dari sekadar himbauan atau kampanye sesaat, Indonesia membutuhkan sebuah gerakan—gerakan sadar sampah yang melibatkan kesadaran kolektif, bukan hanya mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA) semata. Gerakan ini harus dimulai dari individu, dari rumah tangga, dari keputusan-keputusan kecil sehari-hari: berpikir sebelum membeli, memilah sebelum membuang, dan bertanggung jawab atas setiap produk yang kita konsumsi dan hasilkan.

Sebagai bangsa dengan warisan budaya yang kaya, semangat gotong royong yang kuat, serta potensi intelektual dan komunitas yang luas di berbagai daerah, Indonesia sejatinya memiliki modal besar untuk melakukan transformasi dalam pengelolaan sampah. Namun, semua potensi itu perlu digerakkan secara serempak dan terorganisir.

Kini saatnya kita bersama-sama menjawab pertanyaan besar: ke mana arah pengelolaan sampah kita? Karena pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan lebih banyak tempat sampah—bumi membutuhkan lebih banyak manusia yang berpikir sebelum membuang.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA