Oleh: Tomy Michael (Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Kemiskinan menjadi salah satu nilai bagi negara dalam melaksanakan pelindungan hukumnya, ketika kemiskinan semakin bertambah maka negara gagal dan ketika kemiskinan berkurang maka negara berhasil. Pilihan demikian menghasilkan dilema setelah adanya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan Dan Penghapusan Kemiskinan Esktrem (Inpres No. 8-2025). Keberadaan Inpres No. 8-2025 membuat Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang berfokus pada pemuliaan masyarakat. Negara kesejahteraan bukan barang baru di Indonesia karena ia merupakan konsep yang muncul di Inggris dan Jerman. Salah satu contohnya keberadaan puskesmas yang digagas Gerrit Augustinus Siwabessy ataupun keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Dalam konsep ini terjadi kontrol akan kesejahteraan yang diterima oleh masyarakat, bisa dengan menguasai cabang-cabang produksi yang penting baginegara dan yang menguasai hajat hiduporang banyak ataupun mendeklarasikan bahwa kesejahteraan adalah bagian dari pemenuhan hak asasi. Apabila dicermati, isi Inpres No. 8-2025 memberikan tanggung jawab antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Kesemuanya memiliki tugas yang beragam tetapi keberadaan tugas tersebut bertentangan dengan pembagian kekuasaan yang diterapkan di Indonesia. Artinya untuk mencapai tujuan negara maka membutuhkan pembagian tugas yang tidak menyatukan permasalahan tetapi dikerjakan bersama dengan visi misi masing-masing. Tujuan negara harus diselesaikan dengan tugas yang jelas sesuai ranah kekuasaannya sehingga tidak terjadi penggabungan kekuasaan yang pada akhirnya melumat esensi pemisahan kekuasaan menuju pembagian kekuasaan.
Definisi menarik akan kemiskinan termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin bahwa penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Keterlibatan masyarakat adalah poin utama karena kemiskinan tidak bisa terjadi dari masyarakat saja melainkan bisa juga dari bias kebijakan yang kadangkala tidak mendukung pemenuhan hak asasi.
Cara lain yang lebih melibatkan masyarakat adalah pemenuhan fasilitas akan perolehan hak asasi dalam Konstitusi. Selain itu, negara kesejahteraan berbasis digital harus diperkuat lagi dengan ramuan dari Menteri Komunikasi dan Digital. Kembali ke tahun 2019 akan adanya laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangasa bahwa dampak signifikan dari pemerintah di seluruh dunia yang merangkul digitalisasi, otomatisasi, dan datafikasi sistem perlindungan sosial masyarakat. Sebutannya pun sungguh ekstrem “stumbling zombie-like into a digital welfare dystopia”, artinya negara kesejahteraan digital bukanlah mitos melainkan faktual yang harus diselesaikan. Pengumpulan data dalam membentuk negara kesejahteraan digital tetap harus berlindung pada kerahasiaan data sehingga tidak timbul sikap berlebihan dari negara dalam mewujudkan negara itu.
Tidak harus dengan pembentukan norma hukum yang baru namun paling utama adalah literasi digital bagi semua masyarakat dan akses digital dimanapun. Daerah sulit teknologi adalah masalah nasional yang harus cepat selesai. Selain itu kejelasan tugas dari masing-masing lembaga negara adalah kepastian hukum yang hakiki. Oleh karena itu, kita harus siap siaga sehingga negara kesejahteraan digital tidak menuju minarkisme. Keterbukaan data, akses publik dan konstitusi digital adalah bagian utama bernegara yang harus diperkuat terus menerus. Dari sini semua, yang untung adalah masyarakat karena mereka penggerak kedaulatan tradisional maupun kedaulatan digital.