Senin, Mei 19, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Amplop Duluan, Keadilan Belakangan

by Mata Banua
16 April 2025
in Opini
0
D:\2025\April 2025\17 April 2025\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar, S.H. (Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)

Skandal suap hakim kembali mengguncang dunia peradilan Indonesia. Dengan jumlah fantastis yang melibatkan pejabat tinggi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, publik dipaksa menelan lagi pil pahit: bahwa ruang sidang yang seharusnya menjadi tempat menegakkan keadilan, justru menjadi panggung sandiwara hukum yang tak lucu. Di tengah sorotan media dan janji investigasi dari lembaga pengawas,pertanyaannya tetap sama: benarkah hukum masih bisa dipercaya?

Lagi-lagi, panggung megah peradilan Indonesia diramaikan oleh aksi aktor utamanya: Yang Mulia (para hakim). Bukan karena prestasi atau ketegasan mereka dalam menegakkan hukum, melainkan karena penampilan luar biasa mereka dalam adegan klasik: suap berjamaah. Kali ini, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, termasuk Ketua PN sendiri, Muhammad Arif Nuryanta, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlah uang yang terlibat? Sekitar Rp 60 miliar. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para hakim Indonesia, tapi sayangnya justru berakhir di kantong toga.

Artikel Lainnya

D:\2025\Mei 2025\19 Mei 2025\8\8\master opini.jpg

Ketika Emoji Menjadi kekerasan

18 Mei 2025
D:\2025\Mei 2025\19 Mei 2025\8\8\kharismanaumia Wulandari.jpg

Peran Kampus dalam Gerakan Merawat Bumi

18 Mei 2025
Load More

Kasus ini seakan mengukuhkan satu hal: bahwa sebagian aparat hukum kita memang lebih piawai menghitung transferan dibandingkan menimbang pasal. Di negara hukum yang katanya menjunjung tinggi keadilan, kejadian semacam ini bukan lagi insiden, tapi seolah sudah menjadi bagian dari SOP tak tertulis dalam sistem peradilan kita.

Ketua DPR RI, Puan Maharani, langsung angkat bicara. Ia mengatakan bahwa “perlu ada evaluasi terhadap penegak hukum.” Selamat datang di kenyataan, Bu Puan! Pernyataan ini bisa jadi terdengar seperti panggilan sadar dari tidur panjang, meski kita semua tahu, rakyat sudah lama terjaga dan muak menyaksikan plot cerita hukum yang itu-itu saja: para penegak hukum yang justru jadi pelanggar hukum.

Sistem peradilan kita kini tampak seperti panggung drama yang apik di depan, tapi kusut di belakang layar. Dengan motto tak resmi: “Bersih di depan kamera, lancar di belakang meja.” Dan jangan salah, para aktor dalam drama ini sangat profesional—hakim, pengacara, panitera, hingga pegawai administrasi. Seperti orkestra korupsi yang harmonis dalam nada sumbang, mereka tampil kompak, mengatur ritme kejahatan dengan indah, nyaris tanpa cela.

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung adalah dua lembaga yang mestinya jadi garda pengawas etik dan moral para hakim—tentu akan mengeluarkan pernyataan tegas. Mungkin juga membentuk tim investigasi. Namun kita tahu, dalam banyak kasus sebelumnya, hasilnya nyaris tak pernah benar-benar mengguncang. Tim dibentuk, dokumen disusun, rekomendasi dibuat, lalu tenggelam di lautan birokrasi. Mungkin akan lebih menarik jika mereka sekalian membuka sayembara nasional: “Tangkap Hakim Nakal, Dapat Sertifikat Integritas!”

Apa yang terjadi ini bukan sekadar aib personal, tapi refleksi dari sistem yang keropos. Ketika lembaga peradilan dijadikan lahan bermain para mafia hukum, keadilan bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang bisa membayar lebih mahal. Ironisnya, rakyat kecil masih berharap pada sistem ini. Mereka datang ke pengadilan membawa keyakinan bahwa kebenaran akan menang, meskipun sering kali pulang dengan rasa pahit—dan putusan yang ganjil.

Seperti menonton sinetron dengan plot klise, kita tetap penasaran meski tahu ending-nya tidak akan jauh berbeda. Kali ini, pertanyaannya bukan lagi “apakah hukum akan ditegakkan?”, tapi “berapa harganya untuk menegakkan hukum?”

Barangkali, inilah cara lembaga peradilan kita merayakan eksistensinya: bukan dengan menegakkan keadilan, tapi dengan menciptakan kejutan demi kejutan. Alih-alih membuat rakyat percaya, mereka justru melatih kita menjadi skeptis. Dan parahnya, skeptisisme itu kini terasa sangat masuk akal.

Yang paling menyedihkan, praktik semacam ini perlahan membunuh semangat reformasi hukum yang sudah digagas sejak dua dekade lalu. Ketika keadilan dikomodifikasi, maka hukum berubah jadi pasar gelap. Bukan kebenaran yang menang, tapi kesepakatan di balik layar yang menentukan arah putusan.

Ketua PN Jakarta Selatan diduga tak tahan godaan suap Rp60 miliar—dan publik diminta maklum, karena siapa juga yang bisa menolak rezeki nomplok sebesar itu, bukan? Toh, integritas kini tampaknya hanya sekadar syarat administratif, bukan karakter. Uang tunai berserakan dalam berbagai mata uang, mobil mewah berjajar—bukan bukti kejahatan, tapi pencapaian karier. Legislator pun angkat bicara, pura-pura terkejut, seolah baru sadar bahwa sistem hukum kita sudah lama berubah fungsi: dari penegak keadilan menjadi manajemen portofolio. Barangkali, sebentar lagi Mahkamah Agung akan meluncurkan program loyalitas: makin banyak vonis yang bisa dinegosiasikan, makin besar cashback-nya.

Oleh karena itu, mari kita beri tepuk tangan paling meriah untuk babak terbaru dalam drama pengadilan kita. Sebuah episode penuh intrik, tokoh-tokoh flamboyan berseragam resmi, dan tentu saja: amplop-amplop yang datang lebih dulu sebelum kebenaran sempat berbicara.Judulnya sudah jelas:Tuhan Maha Melihat, Tapi Amplopnya Sampai Duluan.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA