Selasa, Juli 15, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Gebrakan Anak Muda dan Tanggung Jawab Pembuat Kebijakan

by Mata Banua
14 April 2025
in Opini
0
D:\2025\April 2025\15 April 2025\8\Nicholas Martua Siagian.jpg
Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, (Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK)

 

“Kalau bukan anak bangsa ini yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan saudara mengharapkan orang lain yang datang membangun bangsa kita.” Pernyataan ini datang dari seorang Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie. Beliau menegaskan pentingnya kontribusi anak muda dalam pembangunan bangsa. BJ Habibie tidak hanya mengajak pemuda untuk terlibat, tetapi juga menekankan bahwa tanggung jawab tersebut ada di tangan mereka sendiri. Semangat inilah yang tampak dalam berbagai gerakan pemuda, yang bergerak dari aksi protes di jalanan menuju perlawanan sistemik di ranah hukum dan kebijakan.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Huru-Hara Konstitusi

14 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\15 Juli 2025\8\8\palestina.jpg

Palestina dan Fajar Kebangkitan Umat di Depan Mata

14 Juli 2025
Load More

Pada berbagai momentum sejarah, kita bisa melihat kembali bahwa orang muda selalu memainkan peran penting dalam membawa perubahan. Di Indonesia, aktivisme kaum muda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa, mulai dari aksi heroik Peringatan Hari Sumpah Pemuda 1928 hingga Reformasi 1998. Era Reformasi tahun 1998 menjadi bukti nyata bahwa pemuda memiliki kekuatan besar. Dari mahasiswa yang turun ke jalan, menduduki gedung MPR/DPR di Senayan, hingga memaksa rezim orde baru tumbang.

Aksi orang muda saat itu tidak hanya mengubah kepemimpinan nasional, tetapi juga membuka jalan bagi demokratisasi, kebebasan pers, desentralisasi kekuasaan, hingga perbaikan sistem secara keseluruhan. Kini, semangat reformasi itu masih tetap ada pada orang muda, namun menjadi pertanyaan bagi para pemangku kekuasaan: “Apakah dalam menjalankan negara ini masih didasari semangat reformasi? atau justru reformasi menjadi hal yang ‘dianaktirikan’ demi bagi-bagi kue kekuasaan hingga menjalankan hasrat segelintir kelompok?”

Jika kurang lebih 30 tahun yang lalu, orang muda berjuang melawan otoritarianisme, ketidakadilan sosial, korupsi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), ternyata perlawanan orang muda di era sekarang tidak jauh dari apa yang terjadi sebelumnya. Bedanya, mereka tidak lagi hanya mengandalkan massa di jalan, tetapi juga menggunakan jalur hukum dan media sosial untuk menyuarakan kritik dan perubahan.

Era telah bergeser dan medan perjuangan kini tidak hanya berada di jalanan, melainkan juga merambah di ruang sidang, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung, Ombudsman, serta berbagai ranah formal lainnya. Perjuangan kaum muda semakin beragam, dengan strategi yang lebih cerdas dan terarah. Aktivisme ini menggambarkan transformasi gerakan pemuda yang begitu gigih memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Anak Muda dan Ruang Sidang MK

Transformasi dari aktivisme jalanan menuju advokasi hukum juga menunjukkan kesadaran baru bahwa perubahan tidak hanya bisa dicapai melalui tekanan massa, tetapi juga lewat jalur institusional, yang salah satunya adalah Judicial Review di MK. Memang mendorong perubahan di tingkat kebijakan dan hukum membutuhkan strategi, riset, dan kemampuan memahami mekanisme birokrasi. Jadi, bukan berarti meninggalkan aksi massa, tetapi memperkuat perjuangan dengan pendekatan yang lebih cerdas dan konstitusional.

Tingginya animo orang muda di ruang sidang MK juga didukung secara tegas dalam Pasal 24C ayat 1 Konstitusi Indonesia dan pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana disebutkan bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yang salah satunya adalah perorangan warga negara Indonesia.” Artinya, pasal ini secara tegas menjadi landasan hukum tidak hanya kepada orang muda, namun kepada seluruh Warga Negara Indonesia yang merasa bahwa produk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR tidak berpihak pada rakyat.

Adapun beberapa contoh konkret dari perjuangan orang muda di Mahkamah Konstitusi adalah aksi 18 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi menguji Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2019, aksi mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menguji materi Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2024.

Hingga yang terbaru yang menjadi apresiasi publik adalah Sembilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 21 Maret 2025. Bayangkan, orang muda yang selama ini dianggap masih ‘seumur jagung’, ternyata menjadi aktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan besar semakin berorientasi pada rakyat. Lantas, menjadi pertanyaan: “Masihkah menyepelekan keberadaan orang muda? Masihkah menyebut mereka sebagai orang yang masih ‘seumur jagung’ ?”

Desakralisasi Tanggung jawab

Dalam buku yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berjudul: “Better Regulation Practices across the European Union, OECD Publishing, Paris,” pada tahun 2019, di sana disebutkan bahwa penerapan Regulatory Impact Assessment (RIA) secara sistematis dapat meningkatkan kualitas undang-undang.

Pembuat undang-undang yang menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA) cenderung menghasilkan regulasi yang lebih terukur, efektif, dan minim dampak negatif. Artinya, dalam membuat undang-undang, perlu proses yang secara sistematik mengidentifikasi dan menilai dampak yang diinginkan dari suatu pengajuan undang-undang dengan metode analisis yang konsisten seperti benefit cost analysis.

Nyatanya, di Indonesia jangankan memikirkan secara matang konsep teknokratik dalam membuat undang-undang, justru lebih memilih mendalilkan pernyataan: “Jika merasa tidak setuju dan dirugikan, silakan mendatangi Mahkamah Konstitusi.” Apabila mentalitas ini tidak berubah, maka Indonesia akan terus terjebak dalam siklus hukum yang lemah, di mana undang-undang hanya menjadi alat kekuasaan, bukan perlindungan bagi rakyat.

Jadi, kesimpulan sementara, pembuat undang-undang di Indonesia dapat dikatakan sudah inkonstitusional sejak dari dalam pikiran, bahkan cacat formil karena tidak melihat tanggung jawab membuat undang-undang seharusnya dijalankan secara profesional sebagai amanah sakral yang diperoleh dari rakyat, bukan ‘asal-asalan’.

Dalam proses legislasi, cacat formil seringkali tampak dari minimnya partisipasi publik yang bermakna/substantif, uji kelayakan yang terburu-buru, hingga keputusan yang lebih mementingkan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan kolektif rakyat. Padahal, penyusunan undang-undang bukan sekadar soal menorehkan naskah hukum, melainkan tentang memastikan bahwa aturan tersebut tidak hanya sah secara prosedur, tetapi juga mencerminkan keadilan sosial.

Ketika pembuat undang-undang tidak lagi memegang teguh nilai-nilai demokrasi dan kepentingan rakyat, produk hukum yang dihasilkan berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan yang eksploitatif. Dengan kewenangan besar yang dimiliki para legislator, mereka dapat mengarahkan anggaran negara sesuai agenda politik terselubung, memberikan celah bagi korupsi, celah penyalahgunaan kekuasaan dan bahkan menciptakan kebijakan yang merugikan kelompok rentan. Akhirnya menjadi berbahaya, mengingat esensi utama undang-undang adalah untuk memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum.

Contoh nyatanya adalah Undang-Undang Cipta kerja yang pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai cacat prosedur, hingga revisi Undang-Undang KPK yang justru melemahkan lembaga antirasuah. Pembuat undang-undang sering kali tidak melakukan uji dampak (impact assessment) yang komprehensif termasuknya minimnya partisipasi publik yang bermakna, sehingga produk hukum yang dihasilkan justru menimbulkan masalah baru di masyarakat.

Anak Muda Bergeraklah!

Perjuangan orang muda tidak lepas dari tantangan. Di era digital ini, arus informasi mengalir begitu deras, dan tidak semua informasi memiliki keakuratan. Hoaks, disinformasi, dan narasi yang terpecah kerap membuat yang benar seolah salah, dan yang salah seolah benar. Hal ini membuat peran anak muda sebagai agen perubahan semakin penting.

Di tengah dinamika politik dan sosial Indonesia yang terus berkembang, peran anak muda semakin tak terbantahkan. Dari aksi demonstrasi di jalanan hingga mengawal proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK), generasi muda menunjukkan komitmennya untuk menjadi garda terdepan perubahan. Aktivisme mereka tidak hanya sekadar euforia semata, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab moral, sebagaimana diingatkan kembali dengan pernyataan BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia: “Kalau bukan anak bangsa ini yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan saudara mengharapkan orang lain yang datang membangun bangsa kita.”

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA