Rabu, Juli 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Karisma, Otoritas, dan Krisis Nalar

by Mata Banua
10 April 2025
in Opini
0

Oleh: Rasyid Alhafizh, S.Ag. (Direktur Aliansi Kemanusiaan Humanity Freedom dan Founder AMBO Community yang bergerak pada isu-isu kemasyarakatan, sosial-agama, dan pendidikan)

Iftitah

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\16 Juli 2025\8\master opini.jpg

Ada Hukum Perlindungan Anak, Tapi Mengapa Perundungan Makin Brutal?

15 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Anak Tidak Sekolah Terus Bertambah,Bukti Kegagalan Sistemik Pendidikan

15 Juli 2025
Load More

Persoalan keumatan seakan tak pernah ada habisnya. Setiap hari, ada saja fenomena baru yang memantik diskusi, diskursus akademis, hingga mengilhami lahirnya berbagai produk komersil. Semisal film yang viral baru-baru ini,Bidaah garapan Ellie Suriaty, sutradara asalnegeri jiran, Malaysia. Serial tersebut ramai jadi buah bibir. Pasalnya, adu akting “walid” dengan aktor lainnya terasarelate dengan keadaan sosial: banyak oknum pemuka agama menjual nama Tuhan sebagai alat legitimasi tindakan amoral. Meminjam istilah Khaled Abou El Fadl, “wakil Tuhan” yang mestinya menyampaikan substansi ajaran agama justru memperkosa teks-teks suci dan menyalahi maksud-kehendak Tuhan.

Ali Syariatiturut menyoalkan hal ini melalui teologi pembebasan yang digagasnya. Menurutnya, agama seharusnya membebaskan, bukan mengukung umat dengan melanggengkan karisma-kuasa membabi buta.Secara esensial, Nabi Muhammad SAW amat menjunjung tinggi terciptanya keadilan dan keseteraan manusia.Khutbah terakhirnya pada Haji Wada’menjadi rekam jejak historis sakral bahwa tidak ada kelebihan antara Arab dengan ‘ajam(non-Arab), putih atau hitam, dan klasifikasi lainnya kecuali hanya takwa. Artinya, Islam tak mengenalotoritas mutlak yang berujung pada pengkultusan terhadap sosok individu seakan ia ma’sum (lepas dari kesalahan dan dosa) dan wajib ditaati tanpa kehadiran peran nalar.

Paradoks Karismatik

Dahulu, karisma seorang ulama dibangun lewat keteladanan, ilmu mendalam, dan akhlak hasanah. Kini, karisma lebih banyak dibangun melalui kebanggaan garis keturunan (nasab) atau jumlah pengikut di media sosial. Alih-alih mendistribusikan substansi ajaran Islam yang ramah dan rahmah, jauh panggang dari api. Singkatnya, dakwah tak lagisemata-mata untuk menyebarkan kebenaran. Jubah panjang, kalimat Arab, atau potongan ayat dipelintir sesuai selera sekedar untuk atribut memantapkan pengaruh. Dalam kondisi seperti ini, umatkian lapar spiritual. Nahasnya, tidak sekidit yang terjebak pada bias nalar sehinggamenjadi taqlid (baca: pengkultusan) buta.

Menyorot aspek teoritis, sebagaimana diungkap Weber, otoritassetidaknya dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis: tradisional, legal-rasional, dan karismatik. Otoritas karismatikmenurutnya, berakar dari persepsi adanya keistimewaan yang dimiliki oleh personal, absolut. Keyakinan semacam ini bermuara pada banalisme penganut agamadan menyuburkan tumbuhnya”ulama bodong”. Di pihak lain, mereka yang digelari itubebas bicara segala hal, meskipun di luar kapasitasnya.Bagai efek domino, masyarakat yang terlanjur terperangkap akan menelan semua ucapannya mentah-mentah tanpa verifikasi.

Krisis Nalar: Ketika Umat Tak Lagi Berpikir

Mengentasi persoalan ini berarti memperbaiki dari struktur dasar: nala-kritis. Literasi keagamaan yang rendah dan diperparah oleh pola konsumsi digital serba cepat menjadikan umat terlalu mudah percaya.Padahal, sejak awalIslam mendorong umatnya untuk berpikir, “afala ta’qilun” dan iqra’ (membaca). Bahkan, Iblis sajaketika menolak perintah sujud pada Adammelakukannya lewat argumentasi. Maka, jika umat Islam hari ini hanya “mengangguk-ngangguk” setuju saja dengan ucapan atau me-mema’sum-kan seseorang tanpa penilaian objektif, maka bukankah itu sebuah kemunduran berpikir?

Terdapat beberapa maka tawaran aplikatif yang penulis ajukan sebagai “obat penawar” dari penyakit ini, yakni:

Pertama, umat perlu diberdayakan melalui pendidikan dan literasi keagamaan yang kritis-reflektif. Sudah saatnya pola pengajian dan majelis taklim ditransformasi dari pola satu arah menjadi forum dialektis yang mendorong pertanyaan, perbandingan, serta pembacaan konteks zaman. Umat tidak boleh terus-menerus diposisikan sebagai pendengar pasif yang dicekoki dalil, tetapi mesti dipicu untuk memahami, mengkaji, dan mengkritisi. Kajian kitab klasik bukan untuk disakralkan secara buta, melainkan dipahami sebagai produk yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi kekinian.

Kedua, lembaga pendidikan Islam—baik pesantren, perguruan tinggi, maupun madrasahharus memperkuat kembali otoritas ilmiah ulama. Reputasi keulamaan tidak bisa dibangun hanya dengan popularitas di media sosial atau jumlah pengikutmedia sosial. Kredibilitas ulama mesti memenuhi tiga kriteria utama: sanad keilmuan yang jelas, kepakaran intelektual, serta akhlak-pengabdian sosial nyata. Seorang alim yang sungguh-sungguh pasti sadar bahwa otoritasnya bukan bersifat mutlak, melainkan terbuka untuk dialog dan dikoreksi. Ia tidak alergi terhadap kritikdan tidak merasa paling benar sendiri. Sebab kebenaran dalam Islam bukanlah barang privat, tapi hasil dari proses ijtihad kolektif yang menghormati perbedaan pandangan.

Ketiga, negara dan ormas Islam harus tegas dan progresif dalam menertibkan ruang publik keagamaan. Mimbar dakwah tidak boleh dibiarkan menjadi tempat propaganda kebencian, ujaran takfiri, atau pemujaan berlebihan terhadap figur tertentu. Ceramah-ceramah provokatif yang menjurus pada kekerasan simbolik, polarisasi sosial, atau anti-intelektualisme harus dikoreksi secara sistemik. Tidak cukup dengan imbauan atau klarifikasi, tapi perlu langkah konkret seperti kurikulum dakwah nasional yang menjunjung nilai-nilai kebangsaan, moderasi, dan etika publik. Atau barang perlu, pemerintah melalui Kementrian Agama membuat standarisasi dan sertifikasi pendakwah untuk berbicara sesuai dengan kompetensinya.

Khulasah

Agama hadir untuk menyelamatkan manusia, bukan memperalat. Karisma adalah anugerah, tapi bukan alat tipuan. Otoritas adalah amanah, bukan tiket mengkerdilkan pikiran umat. Umat Islam hari iniharus kembali pada nalar sehat dan iman jernih.Sudah saatnya kita memutus siklus feodalisme spiritual. Sebabmisi agama adalah membebaskan manusia dari belenggu ke-jahiliyah-an, memberi ruang berpikir, berdialog, dan menemukan kebenaran dengan pengetahuan.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA