
Oleh: Bunda Khalis (Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan)
Kerusakan infrastruktur jalan di berbagai daerah bukan lagi hal baru, namun tetap menyisakan kerisauan yang sama. Di ruas jalan Baulin, Batalas, hingga Teluk Haur, misalnya, kondisi jalan yang rusak parah sudah berlangsung lama. Jalanan berlubang, tergenang air saat hujan, dan becek ketika kemarau. Tak sedikit pengendara sepeda motor yang terjatuh, kendaraan yang terperosok, bahkan ambulans pun harus ekstra hati-hati ketika melintasi. Kondisi ini bukan hanya menghambat aktivitas warga, tapi juga mengancam keselamatan jiwa.
Akses masyarakat menuju pusat kota, rumah sakit, hingga pasar terganggu. Warga harus menghabiskan waktu lebih lama di jalan, biaya transportasi pun meningkat karena kendaraan cepat rusak. Ironisnya, jalan yang rusak ini seolah dibiarkan tanpa kepedulian. Perbaikan baru dilakukan jika viral di media sosial, atau setelah ada sorotan tajam dari media. Artinya, pelayanan publik tidak berjalan secara sistematis dan preventif, tetapi reaktif dan tambal sulam. Ini adalah cermin dari lemahnya fungsi negara sebagai pelayan rakyat, dan bukti bahwa sistem yang ada telah abai terhadap kebutuhan mendasar masyarakat.
Infrastruktur Dalam Islam Sebagai Bentuk Pelayanan
Islam memandang persoalan infrastruktur bukan sebagai proyek atau ajang keuntungan segelintir pihak. Dalam Islam, pembangunan infrastruktur merupakan bentuk pelayanan nyata negara kepada rakyat. Jalan yang rusak harus diperbaiki bukan karena tekanan publik, tetapi karena itu tanggung jawab negara dalam menjaga kemaslahatan umat. Dalam sistem Islam, negara tidak akan menunggu laporan warga, apalagi viralitas di media, untuk mengambil tindakan. Negara akan memantau dan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara langsung dan proaktif.
Islam memprioritaskan pembangunan yang dibutuhkan rakyat secara riil, bukan proyek-proyek mewah demi citra atau keuntungan para pemodal. Pembangunan infrastruktur dalam Islam tidak boleh dikuasai logika kapitalisme yang hanya mencari keuntungan dari proyek jalan, jembatan, atau pelabuhan. Negara Islam (khilafah) menjadikan kemaslahatan umat sebagai poros pembangunan. Inilah bedanya dengan sistem hari ini, di mana kepentingan rakyat sering dikalahkan oleh kepentingan korporasi atau elite politik.
Contoh nyata dapat kita lihat dari kepemimpinan Rasulullah SAW. Saat beliau membangun Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam, beliau tidak hanya menata masyarakat secara spiritual dan sosial, tetapi juga membangun infrastruktur seperti jalan-jalan umum dan pasar rakyat untuk mendukung kehidupan ekonomi dan mobilitas masyarakat. Para khalifah setelahnya, seperti Umar bin Khattab, bahkan membangun jalan-jalan antarwilayah, memperluas saluran air, serta membangun pos-pos penghubung antara kota-kota demi menjaga kestabilan distribusi barang dan kelancaran perjalanan rakyat. Di masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, pembangunan irigasi, jalan raya, dan jembatan dilakukan secara massif untuk kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir investor.
Dengan demikian,dapat dipahami bahwa solusi sejati atas persoalan infrastruktur bukan sekadar menuntut perbaikan atau proyek pembangunan, tetapi dengan penerapan sistem Islam secara kaffah (khilafah). Hanya dengan sistem ini, pelayanan terhadap rakyat tidak menjadi beban, tetapi bagian dari ibadah dan tanggung jawab amanah kekuasaan.
Jika negara mengabaikan jalan-jalan yang rusak dan membiarkan rakyat menderita, maka sudah saatnya kita bertanya: apakah sistem ini benar-benar melayani rakyat, atau justru melayani kepentingan segelintir pihak saja? Sesungguhnya, Islam telah menjawab pertanyaan ini dengan jelasdan menawarkan solusi yang hakiki dan menyeluruh.