
Oleh: Rasyid Alhafizh, S. Ag. (Direktur Humanity Freedom)
Tidak berselang lama usai gencatan senjata disepakati, Gaza kembali memerah. Tidak ada lagi langit biru yang menyegarkan mata, hanya gumpalan asap yang berganti melayang, jejak-jejak sisa bom yang menghujam bumi. Setiap hari, sisa-sisa kehidupan yang terhempas menjadi pemandangan “lumrah” bagi masyarakat setempat. Darah, reruntuhan, dan tubuh yang tak lagi utuh telah menjadi teman sehari-hari, menghantui dalam diam, tetapi seolah tidak ada pilihan selain: terus bertahan. Dalam kenyataan yang memilukan ini, tidak hanya warga sipil yang menjadi korban, namun jurnalis yang seharusnya menjadi saksi sejarah-pun turut jatuh sebagai korban genosida yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Mengutip Anadolu Agency, tercatat sejak Oktober 2023 hingga saat ini, serangan Israel ke Palestina telah memakan sebanyak 50.523 korban jiwa (aa.com.tr, 2025)
Tak kalah memilukan, dari sekian banyak nyawa melayang, jasad anak-anaklah yang paling menyayat hati. Mereka yang mestinya sedang tumbuh dan belajar untuk mengenal dunia, malah harus menghadapinya dalam bentuk kekerasan yang tak terperikan. Kepergian mereka bukan hanya meninggalkan luka bagi keluarga, tetapi juga sebuah ironi kemanusiaan yang memanggil kita untuk bertanya: Di mana hati nurani dunia?
Dunia internasional, khususnya negara-negara besar yang selalu mengklaim peduli pada hak asasi manusia, seolah hanya menjadi penonton pasif. Negara-negara besar, termasuk yang berada di wilayah Timur Tengah, meski secara retorika memprotes keras, pada kenyataannya hanya mampu melontarkan doa-doa dan kutukan lewat ucapan lisan. Mereka tidak bisa berbuat banyak, terhalang oleh pertimbangan politik, ekonomi, dan kekuatan militer yang mendominasi geopolitik kawasan tersebut. Menilik kenyataan ini, betapa besar ketidakberdayaan mereka untuk memberikan solusi nyata bagi penderitaan yang tak kunjung usai di Gaza.
Seiring berjalannya waktu, dukungan yang datang untuk “mengobati” luka-luka Palestina, meski penting, terasa sangat terbatas. Bantuan berupa logistik, pakaian, serta obat-obatan sering kali tidak lebih dari upaya untuk menutupi masalah, tanpa benar-benar mengatasi akar permasalahan yang ada. Gaza tidak hanya butuh bantuan darurat, tetapi juga sebuah penyelesaian yang adil dan mendalam terhadap konflik yang tak berkesudahan ini. Lebih dari sekadar pemberian bantuan kemanusiaan, yang dibutuhkan adalah sebuah tindakan yang dapat menghentikan kekerasan yang mendera penduduk Gaza dan memberi mereka hak untuk hidup dengan damai.
Keberlanjutan genosida di Gaza bukan lagi sekadar konflik agama atau sekadar bentrokan antara dua kelompok yang berbeda. Ini adalah kejahatan biadab terhadap kemanusiaan, sebuah upaya sistematis untuk menghancurkan sebuah peradaban, sebuah bangsa yang terjepit antara harapan dan kehancuran. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya berada di bawah perlindungan dan kasih sayang, justru menjadi sasaran serangan. Mereka yang tidak bersalah, yang hanya ingin merasakan kedamaian, malah hidup dalam bayang-bayang bom dan peluru yang mengancam setiap saat. Bukankah ini lebih kejam daripada kekejaman apapun yang pernah tercatat dalam sejarah manusia?
Dalam ketidakberdayaan dunia internasional, Gaza tetap berdiri sebagai saksi bisu akan pengkhianatan kemanusiaan. Mereka yang tinggal di sana, meskipun menderita dalam keterbatasan, masih menunjukkan daya tahan yang luar biasa. Keikhlasan mereka, yang tampak dari keberanian mereka untuk bertahan hidup meski harus merasakan penderitaan setiap hari, mungkin adalah bentuk keberanian terbesar yang bisa kita lihat. Keikhlasan itu bahkan menjadi simbol yang menunjukkan bahwa dalam kondisi terburuk sekalipun, manusia tetap berusaha untuk tetap hidup, untuk tetap menjaga api harapan.
Namun, pertanyaannya kini adalah: Sejauh mana kita, sebagai masyarakat dunia, mampu memahami dan merespons penderitaan yang dialami oleh rakyat Gaza? Sebagai manusia, apakah kita masih bisa berpangku tangan melihat penderitaan yang berlanjut tanpa henti? Keikhlasan yang tercermin dari sikap rakyat Gaza seharusnya menggugah kita untuk lebih banyak berbuat, lebih banyak memberikan perhatian pada sebuah tragedi kemanusiaan yang telah berlangsung terlalu lama. Kita tidak bisa terus menerus mengandalkan doa semata tanpa tindakan nyata. Tindakan nyata inilah yang kita butuhkan, tindakan yang tidak hanya berfokus pada pemulihan sementara, tetapi juga pada penyelesaian jangka panjang yang memberikan Gaza hak untuk hidup dalam kedamaian.
Tidak ada pembenaran bagi pembunuhan terhadap anak-anak, tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa kejamnya dunia yang membiarkan ini terjadi. Keikhlasan Gaza bukanlah hal yang patut disalahkan atau dijadikan alasan untuk berdiam diri. Sebaliknya, keikhlasan itu adalah panggilan bagi kita semua untuk berbicara lebih keras, untuk bertindak lebih cepat. Di saat dunia terpecah dan lemah, keikhlasan rakyat Gaza menjadi pengingat bahwa keadilan dan perdamaian bukan hanya hak mereka, tetapi juga hak setiap manusia di dunia ini.
Di tengah kesulitan dan penderitaan yang terus berlanjut, Gaza mengajarkan kita satu hal penting: keikhlasan sejati bukanlah tentang menyerah pada nasib, melainkan berjuang tanpa mengenal lelah meski dunia tampak tidak peduli. Gaza memberi kita pelajaran tentang daya tahan, tentang bagaimana kemanusiaan yang paling sederhana, yakni hidup dengan damai, seharusnya menjadi hak setiap anak di dunia ini, tanpa terkecuali.
Keikhlasan itu bernama Gaza. Dan, kita sebagai bagian dari umat manusia, harus bertanya pada diri sendiri, sampai kapan kita akan membiarkan keikhlasan itu tetap hanya menjadi simbol penderitaan yang tak kunjung berakhir? Kita harus memilih untuk berdiri di samping Gaza, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata yang mengutamakan keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian yang hakiki.