
Kantor media Tempo menjadi sasaran teror beruntun mulai dari kiriman kepala babi hingga bangkai tikus dengan kepala terpotong. Kejadian ini bukan hanya menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, tetapi juga memperlihatkan potret buram komunikasi pemerintahan kita dalam merespons peristiwa ini –bahkan cenderung meremehkan. Saya melihat ada kecenderungan yang sangat berbahaya dalam cara pemerintah berkomunikasi, terutama ketika berhadapan dengan media yang kritis.
Kasus tanggapan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi terhadap teror kepala babi di kantor Tempo adalah contoh nyata bagaimana komunikasi publik pejabat tinggi negara telah menyimpang jauh dari prinsip-prinsip dasar komunikasi krisis yang seharusnya mengedepankan empati.
Kata “memasak kepala babi” yang dilontarkan spontan di hadapan puluhan jurnalis bukan hanya mencerminkan ketiadaan empati, tetapi juga mengandung unsur penghinaan terhadap profesi jurnalistik. Mengapa? Sebagai seorang juru bicara pemerintahan seharusnya memahami bahwa teror terhadap media merupakan ancaman serius bagi demokrasi yang perlu disikapi dengan keseriusan dan kehati-hatian, bukan dengan candaan yang tidak pada tempatnya.
Publik tentu menaruh harapan kepada pemerintah agar dapat menjadi pelindung atas segala hak warga negara.
Memerlukan Pernyataan Resmi
Tak lama berselang, Tempo kembali mendapat kiriman bangkai tikus dengan kepala terpotong. Kondisi-kondisi yang kian masif seperti ini memerlukan pernyataan resmi pemerintah seharusnya menunjukkan komitmen untuk melindungi kebebasan pers dan mengusut tuntas kasus tersebut. Alih-alih demikian, yang terjadi justru sikap defensif dan arogansi yang semakin menjauhkan dari prinsip-prinsip komunikasi publik yang efektif.
Dilihat dari perspektif komunikasi krisis, ada tiga aspek yang sangat menonjol dalam kegagalan komunikasi pemerintah dalam merespon kasus ini. Pertama, absennya empati. Empati adalah komponen fundamental dalam komunikasi krisis. Kejadian teror yang menimpa Tempo seharusnya menempatkan pemerintah menjadi pihak pertama yang menunjukkan keprihatinan dan dukungan, bukan malah memberikan tanggapan yang merendahkan.
Kedua, dengan sikap yang demikian, semakin mempertebal sikap antipati terhadap kelompok jurnalis dan media kritis. Hal ini dapat dilihat dari tone dan pilihan kata yang digunakan, yang cenderung meremehkan keseriusan ancaman yang diterima oleh pers. Sikap semacam ini berbahaya karena bisa diinterpretasikan sebagai pembenaran tidak langsung terhadap tindakan intimidasi kepada media.
Ketiga, komunikasi yang dilakukan oleh seorang juru bicara resmi pemerintah lebih mengedepankan emosi pribadi dibandingkan sikap kenegarawanan. Di mana seharusnya mampu memisahkan perasaan pribadi dari tanggung jawab profesionalnya. Komentar yang dikeluarkan seharusnya mencerminkan kebijaksanaan dan kehati-hatian, bukan emosi sesaat.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul desakan publik yang luas, mulai dari kritik di media sosial hingga pernyataan resmi Dewan Pers yang mendesak Hasan Nasbi untuk meminta maaf. Masyarakat dengan jelas melihat bahwa pernyataan tersebut tidak mencerminkan sikap negara yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan pers sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Berdampak Jangka Panjang
Kegagalan komunikasi ini bisa berdampak jangka panjang terhadap hubungan pemerintah dengan media dan masyarakat sipil. Ketika pemerintah gagal menunjukkan empati dan komitmen untuk melindungi kebebasan pers, kepercayaan publik bisa tererosi dan menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antara pemerintah dan warganya.
Kasus serangan atau tindakan represif tidak sekali atau dua kali dialami oleh jurnalis. Pada 2024 menurut laporan AJI, tercatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Tindakannya meliputi kekerasan fisik, teror, intimidasi, pelarangan liputan, ancaman, serangan digital, perusakan alat hingga pembunuhan. Masyarakat sangat berharap besar pada pemerintahan baru saat ini dapat menghadirkan supremasi sipil yang baik bagi seluruh hak warga negara –termasuk kebebasan pers.
Pemerintah harus segera melakukan evaluasi dan mengubah pendekatan komunikasinya. Terkait kasus Tempo, pemerintah perlu menunjukkan komitmen dan keberpihakannya dengan mendorong kepolisian untuk mengusut tuntas kasus teror ini sehingga motif pengirim dapat terungkap dengan jelas.
Informasi terkini, Kapolri telah meminta Kabareskrim untuk menyelidiki kiriman kepala babi dan bangkai tikus ke Tempo tersebut. Kesigapan dan transparansi dalam penanganan kasus ini penting untuk mencegah persepsi publik yang semakin liar dan berpotensi memecah belah.
Di era informasi seperti sekarang, komunikasi pemerintah bukan sekadar tentang menyampaikan pesan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan. Sikap arogan dan defensif hanya akan memperburuk situasi dan menciptakan polarisasi yang tidak perlu dalam masyarakat.
Dalam negara demokrasi, kebebasan pers adalah salah satu pilar yang harus dilindungi dengan segala cara. Respons serius pemerintah diperlukan untuk menyikapi berbagai tindakan intimidasi terhadap media, dalam bentuk apa pun. Hal lain yang tidak kalah penting, komunikasi publik pejabat negara harus mencerminkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip ini.
Pada akhirnya, kualitas komunikasi pemerintah adalah cerminan dari kualitas demokrasi itu sendiri. Peristiwa teror ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah tentang seberapa besar peran mereka dalam menjaga kebebasan pers dan memastikan bahwa media dapat beroperasi tanpa rasa takut atau terintimidasi. (detikNews)