
Oleh Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd. (Dosen dan Wakil Rektor INISNU Temanggung)
Ribuan pelajar di Wamena, Papua Pegunungan, menggelar aksi demonstrasi pada Senin, 17 Februari 2025, menolak kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG). Mereka menuntut pendidikan gratis sebagai prioritas utama dibandingkan program MBG. Peristiwa ini mencerminkan dilema dalam kebijakan publik: apakah pemenuhan gizi lebih penting daripada pendidikan?
Makan Bergizi Gratis (MBG) maupun Pendidikan Bermutu Gratis (PBG) tak bisa dipertentangkan. Makan merupakan kebutuhan dasar manusia, sedangkan pendidikan secara luas menjadi alat untuk membangun manusia seutuhnya. Jadi kira-kira penting mana? Ya, tentu bergantung sudut pandang, angle, dan paradigma. Keduanya juga menjadi prioritas Sustainable Development Goals (SGDs) PBB tahun 2030. Kita harus mendudukkan masalah; pendidikan sangat penting untuk memajukan bangsa. Begitu pula dengan kesehatan yang sangat ditentukan dengan makanan bergizi. Pertanyaannya, lebih urgen mana dalam konteks Papua?
IPM Papua Pegunungan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Pegunungan tahun 2024 adalah 54,43 (BPS, 2/12/2024). Angka itu merupakan IPM terendah di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan IPM Provinsi Papua 73,83, Papua Barat 67,69, Papua Selatan 68,86, Papua Tengah 60,25, dan Papua Barat Daya 69,65 tahun 2024, ternyata IPM Papua Pegunungan terendah juga. Ironis. Artinya, secara logis di Papua Pegunungan dan di Papua lainnya sangat membutuhkan PBG daripada MBG.
Pasal 28C UUD 1945 menjamin hak pendidikan warga negara, yaitu “setiap orang berhak mendapatkan pendidikan”. Dalam konteks global, Education for All (EFA) atau Pendidikan untuk Semua (PUS) diluncurkan tahun 1990 di Jomtien, Thailand yang menjadi program pendidikan dengan tujuan agar setiap warga negara dapat mengakses layanan pendidikan.
PUS menekankan setiap individu, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan pendidikan berkualitas. UNESCO (2015) menyatakan pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar dan merupakan kunci pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Dalam konteks Papua, akses terhadap pendidikan masih menjadi tantangan utama, dengan banyak sekolah kekurangan tenaga pendidik, fasilitas tidak memadai, dan kondisi geografis sulit dijangkau. Tuntutan masyarakat Papua agar pendidikan gratis diprioritaskan dapat dipahami dalam konteks ketimpangan akses dan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi secara optimal.
Konteks Papua: MBG atau PBG?
Program MBG bertujuan k menanggulangi permasalahan gizi buruk, terutama di daerah terpencil seperti Papua. Dalam SDGs PBB, dua tujuan relevan dengan isu ini adalah SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan dan Meningkatkan Gizi) dan SDG 4 (Pendidikan Berkualitas). Kedua aspek ini saling berkaitan, sebab anak-anak yang mengalami malnutrisi akan kesulitan berkonsentrasi dalam belajar dan memiliki risiko tinggi mengalami putus sekolah.
Dalam kasus Papua, realitasnya menunjukkan permasalahan utama bukan hanya soal gizi, tetapi juga akses pendidikan yang sangat terbatas. Menurut BPS (2024), IPM Provinsi Papua Pegunungan sebesar 54,43 adalah angka terendah di Indonesia. Selain itu, angka partisipasi sekolah di Papua masih lebih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Jika kebijakan hanya berfokus pada gizi tanpa memperbaiki akses pendidikan, maka akan ada ketimpangan dalam pemenuhan hak dasar warga.
Masyarakat Papua memiliki kebutuhan kompleks dan beragam. Selain pendidikan dan gizi, mereka menghadapi tantangan di bidang kesehatan, infrastruktur, dan akses terhadap layanan dasar. Pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Tuntutan pelajar Wamena adalah cerminan dari kebutuhan mendesak akan pendidikan di Papua. Mereka tak sekadar membutuhkan makanan bergizi, tetapi pendidikan yang memberdayakan mereka untuk keluar dari kemiskinan dan membangun masa depan lebih baik.
Pembangunan di Papua membutuhkan pendekatan holistik dan terintegrasi. Program MBG dapat menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan gizi anak-anak, tetapi tak boleh mengabaikan kebutuhan mendesak akan pendidikan bermutu. Pemerintah perlu berinvestasi secara signifikan dalam sektor pendidikan di Papua, termasuk fasilitas sekolah, pelatihan guru, pengembangan kurikulum relevan, dan pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi. Dibutuhkan diplomasi untuk melibatkan masyarakat Papua dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, sehingga MBG sesuai kebutuhan.
MBG memang penting untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi memadai, tetapi kebijakan ini seharusnya berjalan beriringan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Prioritas utama bagi warga Papua adalah memastikan adanya fasilitas sekolah layak, tenaga pendidik cukup, serta kebijakan afirmatif yang benar-benar memperhatikan kebutuhan lokal.
Pemerintah seharusnya tak perlu memilih antara MBG dan PBG. Sebaliknya, pendekatan lebih holistik diperlukan dengan merancang kebijakan yang mengintegrasikan kedua aspek ini. Misalnya, melalui program MBG di sekolah-sekolah yang sekaligus meningkatkan fasilitas pendidikan dan akses internet untuk pembelajaran jarak jauh.
Debat antara MBG dan PBG tak seharusnya menjadi pilihan yang saling meniadakan. PUS dan SDGs menekankan hak atas pendidikan dan kesehatan harus berjalan bersamaan. Dalam konteks Papua, PBG menjadi kebutuhan mendesak yang harus diutamakan, tanpa mengabaikan pentingnya pemenuhan gizi anak-anak. Pemerintah perlu menyusun kebijakan lebih komprehensif dan berbasis kebutuhan lokal agar pembangunan manusia di Papua dapat berlangsung secara berkelanjutan. Jadi, menurut Anda penting mana antara MBG dan PBG?