Oleh: Yoga Pratama, M.Ag. (Aktifis Sosial dan Pengamat Pendidikan)
Problematika pendidikan seakan tidak pernah habisnya jikadilempar ke ruang diskusi kritis. Meskipun pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam rangkaian kehidupan manusia. Masalah inti dari bobroknya pendidikan adalah pada sistem pendidikan itu sendiri, termasuksistem pendidikan Islam.Dari aspek historis, sistem pendidikan Islam memiliki akar sejarah yang panjang, berakar pada tradisi keilmuan yang kaya dan universal. Namun, seiring perkembangan zaman, sistem pendidikan ini menghadapi tantangan signifikan guna menguji relevansi dan efektivitasnya. Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, pendidikan Islam acapkalidipandang kaku, non adaptifterhadap perubahan sosial, serta terlalu fokus pada aspek normatif, sehingga kehilangan daya saing dalam membentuk generasi yang kritis dan kreatif.
Di samping itu, sistem pendidikan Islam juga menghadapi sejumlah masalah mendasar. Salah satunya adalah keterbatasan pendekatan pedagogis yang digunakan. Banyak lembaga pendidikan Islam masih menerapkan metode pengajaran tradisional berbasis hafalan (rote learning) dan otoritarianisme. Guru dianggap sebagai otoritas absolut yang tak bisa digugat, sementara siswa diposisikan sebagai penerima pasif dari pengetahuan. Pola ini tak ubahnya seperti kolonialisasi yang tidak hanya menghambat perkembangan kemampuan berpikir kritis, tetapi juga membuat siswa sulit untuk relevan dengan dinamika kehidupan modern.
Tak cukup sampai di situ, kurikulum pendidikan Islam sering kali kurang integratif, memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Tampaknya, filsafat positivistik yang dipopulerkan oleh Auguste Comte pada abad ke-19 di Eropa juga turut mengambil peran dalam proses ini.Tentunya hal ini mengakibatkan adanya dikotomi ilmu yang menciptakan kesenjangan pemahaman antara nilai-nilai spiritual dan realitas pragmatis. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, pendekatan seperti ini menjadikan lulusan lembaga pendidikan Islam sulit bersaing di pasar kerja yang membutuhkan keterampilan abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan literasi digital.
Risiko Mempertahankan Status Quo
Seperti kata pepatah “jangan mengukur baju pada bayang-bayang” maka jika sistem pendidikan Islam tetap bertahan pada paradigma tradisional, risikonya sangat besar. Sistem ini akan semakin kehilangan daya tarik di mata generasi muda. Anak-anak Muslim, terutama yang tinggal di kawasan urban dan terpapar budaya global, cenderung merasa bahwa pendidikan Islam tidak relevan dengan kebutuhan hidup mereka. Akibatnya, minat terhadap lembaga pendidikan Islam akan terus menurun.
Pendidikan Islam yang tidak mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat menciptakan generasi yang kurang mampu menghadapi tantangan kontemporer, seperti polarisasi sosial, disinformasi, dan perubahan teknologi yang cepat. Dalam konteks ini, sistem pendidikan Islam justru berisiko menjadi alat untuk melanggengkan ketidaktahuan dan stagnasi, bukannya membebaskan dan mencerahkan.Kekhawatiran di atas sudah cukup menunjukkan perlunya reformasi pendidikan Islam agar lebih relevan, kritis, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan zaman modern.
Critical Pedagogy: Sebuah Alternatif
Bukanlah sebuah kritik jika tidak memberikan solusi alternatif yang sifatnya konstruktif. Tawaran dalam konteks ini adalah konsep criticalpedagogy yang dipopulerkan oleh Paulo Freire, yakni sebuah pendekatan pendidikan yang berfokus pada pembebasan dan pemberdayaan individu melalui kesadaran kritis (criticalconsciousness). Pendekatan ini mendorong siswa untuk memahami struktur kekuasaan, ketidakadilan, dan bagaimana mereka dapat berkontribusi untuk menciptakan perubahan sosial.
Dalam konteks pendidikan Islam, critical pedagogy dapat menjadi alternatif untuk mengatasi tantangan yang ada. Karena critical pedagogy memungkinkan terciptanya ruang dialog antara guru dan siswa. Guru bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswa mengeksplorasi pengetahuan dan memaknai pengalaman hidup mereka. Dalam konteks pendidikan Islam, hal ini dapat diterjemahkan ke dalam pembelajaran yang mendorong siswa untuk memahami teks-teks agama secara kontekstual, bukan sekadar menghafalnya.
Di samping itu, pendekatan ini juga dapat mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Caranya dengan mengajarkan siswa untuk berpikir kritis, sehingga mereka tidak hanya memahami ajaran agama sebagai sesuatu yang normatif, tetapi juga sebagai panduan yang relevan dalam menghadapi tantangan dunia nyata. Misalnya, nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial dapat dihubungkan dengan isu-isu global seperti perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, dan keberlanjutan.Criticalpedagogymengajarkan siswa untuk menjadi agen perubahan. Dalam Islam, konsep khalifah atau kepemimpinan manusia di muka bumi menekankan tanggung jawab individu untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya ilmu sebagai alat untuk memerangi kebodohan dan ketidakadilan.
Tentu saja adopsi criticalpedagogydalam sistem pendidikan Islam penting karena beberapa alasan logis. Pertama, pendekatan ini menjawab kebutuhan akan sistem pendidikan yang lebih relevan dan kontekstual. Di era di mana informasi begitu mudah diakses, peran pendidikan bukan lagi sekadar memberikan pengetahuan, tetapi juga membantu siswa memilah informasi, berpikir kritis, dan mengambil keputusan yang bijak berdasarkan nilai-nilai moral dan agama.Kedua, critical pedagogy mempromosikan inklusivitas. Dalam tradisi Islam, pendidikan adalah hak setiap individu, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi mereka. Dengan menciptakan ruang pembelajaran yang dialogis dan partisipatif, criticalpedagogy mendorong inklusivitas dalam pendidikan Islam.Ketiga, pendekatan ini berpotensi menghasilkan generasi Muslim yang mampu bersaing secara global, tanpa kehilangan identitas religiusnya. Dengan berpikir kritis, siswa dapat mempertahankan nilai-nilai Islam sambil aktif berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat modern.
Kesimpulan
Sistem pendidikan Islam, meskipun memiliki fondasi yang kuat, memerlukan reformasi untuk tetap relevan di era modern. Pendekatan tradisional yang kaku dan normatif telah terbukti tidak cukup untuk menghadapi tantangan globalisasi, digitalisasi, dan perubahan sosial. Dalam konteks ini, criticalpedagogy menawarkan alternatif yang progresif dan relevan. Meskipun demikian, juga perlu digaris-bawahi bahwa adopsi criticalpedagogy bukan berarti meninggalkan tradisi Islam, tetapi justru memperkaya dan mengontekstualisasikannya. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat kembali menjadi sarana pembebasan dan pencerahan, sesuai dengan semangat Islam sebagai agama yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan keadilan sosial.