
Oleh: Tomy Michael (Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Pelantikan presiden dan wakil presiden sesaat lagi merupakan hal yang dinantikan. Harus terjadi dengan baik dan lancar karena negara bagaimanapun harus tetap ada. Kita tidak berbicara hukum tata negara darurat namun kemanakah ketika terjadi kedaruratan? Terkesan khayalan namun segalanya harus dipersiapkan karena kedaruratan tidak sekadar adanya alien tetapi kesulitan mata uang seperti di Zimbabwe. Secara normatif, Indonesia menganut ajaran trias politika namun praktiknya tidak murni lagi karena menyesuaikan perkembangan ketatanegaraan.
Trias politika yang dulunya dipisahkan maka saat ini dibagikan karena kekuasaan tetap saling mengecek dan menyeimbangkan. Butuh kolaborasi di masing-masing kekuasaan yang pada akhirnya semua elemen negara terkena dampak positifnya. Lantas trias politika seharusnya menjaditetras politikadimanakeberadaan media adalah alat propaganda terkuat. Contohnya ketika negara kesulitan pangan maka media bisa memberikan informasi kepada negara lain sehingga bantuan datang.
Media dalam opini adalah segala sesuatu yang bisa membuat pesan tersampaikan misalnya media cetak atau media online yang sangat banyak jenisnya. Kemudahan akan akses informasi menjadikan media sebagai sarana koreksi bagi negara. Contoh kecilnya ketika lembaga negara melakukan kesalahan maka para netizen akan memenuhi kolom komentar. Ini sebetulnya bagian mengecek dan menyeimbangkan langsung dari masyarakat. Pola demikian tidak pernah terpikirkan oleh Socrates karena ia hidup di era partisipasi masyarakat yang langsung.
Penambahan kekuasaan ini bagaimana jika dilihat dari sudut pandang negara? Apakah negara bisa menggunakan sifat alamiahnya untuk mengontrol media? Jawaban normatifnya ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Negara sifatnya hanya mengontrol namun ia tidak bisa membendung masifnya partisipasi netizen dalam mengkoreksinya. Selain adanya koreksi, netizen sering kali memberikan masukan untuk masa mendatang.
Pola demikian menunjukkan publik yang semakin melek hukum dan politik. Adakalanya masukan dari netizen terkesan di luar nalar namun negara sebaiknya juga bisa menerima dan mencermatinya. Bukankah dulu Proklamasi disebarkan melalui media juga sehingga semua dunia mengetahui dan mengakuinya. Contoh lainnya waktu panjat tebing memenang medali emas Olimpiade, banyak negara memberi dukungan dan pada akhirnya terjadi pengawasan akan mutu olahraga menuju kesempurnaan berikutnya. Konsistensi ini harus dijaga karena media menjadi alaram selamanya yang terus menerus memberikan hal baik.
Kemudian sejauh manakah media bisa mempengaruhi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial? Dalam mempengaruhi eksekutif yaitu adanya kontrol akan kebijakan yang dilakukan oleh presiden. Media bisa menjadi bagian untuk kritik dan mobilitas presiden sehingga bentuk pertanggungjawaban menjadi luwes. Contohnya waktu Covid-19, perkembangan sebaran virus dan korban menjadi penting untuk diketahui. Disini, media menjadi penyalur informasi yang diolah masyarakat menjadi respons.
Dalam kekuasaan legislatif sebetulnya esensi media sebagai penjaga kedaulatan telah lama terjadi. Salah satunya partisipasi publik. Dominasi partisipasi publik termasuk telusur risalah sidang beserta naskah akademik menjadi bagian penting karena disitulah asali asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Namun perlu disadari juga, kekuasaan legislatif juga memiliki jalur politiknya pada beragam hal misal pendidikan, kerjasamaluar negeri hingga pendapat tentang kinerja dari kekuasaan eksekutif dan yudisial.
Apabila membicarakan kekuasaan yudisial maka ia termasuk yang independen walaupun sifat independennya tetap dibatasi undang-undang. Media menjadi ajang untuk memformulasikan hasil kekuasaan yudisial terkait keadilan hukum, kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Yuliy A Nisnevic mengatakan bahwa dalam pemerintahan otoriter, keputusan penting menentukan tindakan masyarakat dan tindakan masyarakat merupakan bagian otoritas kecil yang disebut “innersanctums”. Pada akhirnya “innersanctums” identik dengan penguasa serta rekannya seperti yang terjadi di Burkina Faso atau Myanmar. Jika sudah demikian maka rekan setara kekuasaan yudisial adalah media.
Pada akhirnya semuanya saling melakukan pengawasan dan pembagian kekuasaan. Kekuasaan media bukanlah alat untuk memberikan informasi hoaks namun ia adalah kedaulatan digital yang harus dijalankan dengan baik. Mensosialisasikan kekuasaan media sebagai bagian dari tetras politika adalah cara terbaik sambil menunggu perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

